Jelajah Bumi Para Rasul dan Nabi (27)
Kami Berpisah dengan Masjidil Aqsho, Selamat Tinggal Palestine Negeri yang Kami Rindukan
Catatan : Syaiful Hadi JL, Jurnalis InfoMu.co
PALESTINE, Masjidil Aqsho. Akhirnya Kami harus berpisah. Subuh pada Sabtu pagi yang dingin, menjadi hari terakhir kami melaksanakan salat subuh di sini, Masjid yang dirindukan jutaan umat Islam untuk mengunjunginya. Semua umat Islam rindu dan ingin sujud di masjid dan tanah Palestina, tanah suci yang ke akhir zaman nanti diyakini akan kembali kepangkuan Umat Islam.
Seperti tiga subuh yang lalu, kali ini kami sedikit berlama-lama di kawasan Aqsho yang luasnya mencapai 140 hektar. Matahari diufuk timur memerah pecah pada dinding batu tua yang tampak mulai kusam. Kubah dua masjid, Masjid Kibli dan Masjid Shakra ( Dome of the Rock) yang berwarna kuning tampak begitu gagah. Jamaah mulai keluar satu persatu. Kaki kami masih lengket di masjid ini. Melirik berbagai sudut dengan rasa yang demikian haru. Kenapa kami demikian cepat harus berpisah sementara rindu belum tertuntaskan.
Burung merpati mulai berterbangan dihalaman menunggu ada jamaah yang melemparkan makanan. Daun zaitun masih tampak basah. Demikian juga dengan lantai batu yang bersusun kokoh tampak basah. Jamaah Almerah Plaza & Travel menyempatkan untuk berfoto terakhir kali ini.
Berpisah dengan Aqsho serasa berpisah dengan Masjid Nabawi (Madinah) dan Masjidil Haram (Makkah). Akhirnya, air mata menitik tak bisa ditahan.
Air Mata Mengalir Meninggalkan Aqsho
Air mata ini adalah air mata kerinduan untuk kebabasan Aqsho, kebebasan bangsa Palestina dari penindasan zionis yang kejam yang menguasai dan membunuh anak-anak Palestina. Tanah Palestina baik di Jerusalem, Tepi Barat dan Jalur Gaza adalah tanah yang memiliki jejak sejarah panjang dakwah pada rasul. Perang Palestina 1947-1949 dimana zionis melalui kekuatan super power menganeksasi negeri yang subur ini. Tahun 1948 zionis mendirikan Israel. Ketika itu Jalur Gaza dibawah kekuasaan Mesir sedangkan Tepi Barat diperintah oleh Yordania. Kemudian terjadi perang kedua di tahun 1967 yang menjadikan Israel meluaskan kekuasaannya. Dan akhirnya, jadilah Palestina yang tercabik-cabik, menjadikan bangsa Palestina anak asing dinegerinya sendiri. Lalu banyak dari mereka yang mengungsi keberbagai negara, seperti Yordanis, Suriah, Lebanon, Libya dan Iraq.
Palestina hari ini adalah Palestina yang terus berjuang kuat untuk mendapatkan kembali tanah mereka. Tapi Isareal dengan beberapa negara super power dibelakang masih terlalu kuat untuk dikalahkan dengan batu ketapel yang biasa digunakan anak-anak Palestina ketika melakukan perlawanan. Tapi satu saat nanti, Islam akan menguasai kembali negeri ini….
Ada pesan dari Kami setelah berkunjung 4 hari di Aqsho, bagi Umat Islam yang sudah menyelesaikan haji, sebaiknya bila ada kesempatan dan kemampuan, berkunjunglah ke sini, kenegeri yang dianjurkan untuk dikunjungi. Sungguh, Palestina merindukan kunjungan Anda. Semakin banyak umat Islam yang berkunjung akan semakin menegaskan bahwa bumi Palestina adalah milik umat Islam yang harus kita merdeka-kan. Ayo, Palestina menunggu kalian …
Kami pun perlahan meninggalkan Aqsho dan terus menelusuri lorong kecil yang mulai memperlihatkan tanda kehidupan Sabtu pagi itu. Kami menuju Hotel Internasional dimana kami telah beristirahat tiga malam. Kami pun sarapan kemudian mengemas barang-barang untuk diturunkan ke lobby hotel selanjutnya menaikkannya ke bus yang akan membawa Kami ke border perbatasan Israel – Yordania.
Jarak dari Hotel Internasional di Jerusalem ke Border cuma 47 Km yang bisa kami tempuh sekitar satu jam saja. Tapi, Fairus, tour guide kami, kembali membawa jamaah ke Jericho karena ada kurma Moojol, kurma terbaik Palestina yang harus diambil. Kami tidak lama singgah di sini karena harus segera masuk ke dua imigrasi, yakni imigrasi Israel dan Yordania.
Israel memiliki tiga lintas batas. Pertama adalah border Seikh Husein ( perbatasan Israel dengan Yordinia Utara), kemudian Jembatan Raja Husein dan perbatasan Wadi Araba antara Israel dan Mesir di Teluk Aqaba.
Sampai diperbatasan Israel – Yordania, barang-barang kami diturunkan kemudian dibawa porter menuju border Yordania. Kembali kami memasuki Imigrasi Israel. Kali ini tidak seketat saat berbatasan dengan Israel – Mesir. Di border ini tampak banyak jamaah umrah dari Myanmar yang akan menuju Arab Saudi. Jadi sedikit antrean. Tapi border ini bisa kami lalui dengan mudah tanpa masalah. Kemdian kami lanjut ke imigrasi Yordania. Lewat imigrasi ini, kami pun bergerak menuju Laut Mati, laut yang sangat unik di dunia, laut yang kadar garamnya mencapai 30 -35 persen sehingga terasa pahit dan kental seperti oli mobil. Konon katanya, air laut Mati ini bagus untuk terapi kulit. Laut mati juga dikenal sebagai penghasil garam untuk bahan batu kosmetika.
Menjelang siang, Kami sampai di satu hotel di tepi Laut Mati. Kami istirahat, makan siang dan sholat Dzuhur dan Ashar. Sebelumnya, rombongan sempat turun jauh ke bawah ke pantai untuk merasakan seperti apa sensasi Laut Mati yang referensinya sudah sering kita baca. Untuk turun ke bawah tentu saja tidak mudah, karena jauh ke bawah. Rombongan nekad untuk turun untuk merasakan seperti apa asinnya air Laut Mati.
Airnya berbeda dengan air laut atau danau yang biasa kita temukan. Air Laut Mati lebih kental seperti oli dan asinnya tidak seperti asin biasa, asinnya malah terasa pahit.
Laut Mati Membujur antara Israel, Palestina dan Yordania
Merupakan Titik Terendah di Daratan
Pantai yang mengelilingi Laut Mati berada sekitar 1.400 kaki di bawah permukaan laut yang menjadikannya titik terendah di Bumi, yang dapat dilalui manusia dan memiliki udara terbuka yang cukup. Di bawah permukaannya, perairan danau itu turun lebih dari 1.000 kaki, menjadikannya danau hipersalin terdalam di dunia.
Berbeda dengan danau lain yang penuh dengan makhluk hidup, seperti tumbuhan dan hewan air. Di Laut Mati kamu tidak akan menemukan apa-apa.
Laut Mati adalah danau kosong yang tidak memiliki tumbuhan bawah air apalagi hewan laut seperti ikan. Ini karena kadar garam di Laut Mati yang terlampau tinggi sehingga airnya tidak cocok untuk mendukung kehidupan, bahkan berbahaya bagi makhluk hidup termasuk bagi manusia. Itu juga alasan kenapa tempat ini dinamakan Laut Mati karena tidak ada satu makhluk yang bisa bertahan hidup.
Terik matahari yang keras sangat menyengat. Kami tidak bisa berlama-lama di sini karena Kami harus melanjutkan perjalanan ke satu destinasi lainnya, yakni Wadi Rum…. (bersambung)