Ramadhan dan Idul Fitri Bentuk Insan Beriman Berkehidupan yang Moderat
Oleh: Drs. H.Talkisman Tanjung, Wakil Ketua PDM Mandailing Natal
Bulan Ramadhan sebagai bulan yang dimuliakan oleh Allah SWT begitu akrab dengan ummat islam terutama dalam hal ibadah-ibadah yang dikerjakan selama satu bulan tersebut. Dan karena begitu akrabnya, satu bulan tidak terasa, seolah berlangsung dengan cepat dan sebentar saja. Sesuai sunnatullah maka ramadhan pun segera berlalu. Selama Ramadhan insan yang beriman secara intensif melaksanakan amal-amal shaleh, dan jauh dari dosa-dosa. Kita tersadar setelah tadinya lalai, bangun setelah tadinya terlelap, dan seakan kita hadir setelah tadinya menghilang. Berbagai ritual ibadah kita lakukan dengan penuh kesadaran, keikhlasan dan ketulusan, baik ibadah-ibadah fardhu maupun berbagai ibadah sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Shalat-shalat fardhu kita jauh lebih khusyu’ dan tuma’ninah bila dibandingkan yang dilaksanakan pada bulan-bulan lain. Ibadah-ibadah sunnah seperti qiyamul lail, tadarrus Al-qur’an, infaq dan sedekah senantiasa didasari oleh sikap yang tawadhdhu’.
Demikian juga semangat kita untuk memakmurkan masjid-masjid terlihat begitu antusias, seolah kita ingin menunjukkan kepada dunia bahwa inilah profil inan muttaqin itu, yang senantiasa menempatkan Islam itu “ya’luu wa laa yu’laa ‘alaihi”.
Namun dibalik indahnya berbagai ritual ibadah yang kita lakukan, demikian juga semangat berbagi yang begitu tulus menghiasi hari-hari kita selama Ramadhan, secara implisit Ramadhan telah membentuk manusia beriman untuk bisa berkehidupan yang moderat. Puasa Ramadhan telah mendorong setiap orang beriman memiliki ketahanan diri yang kokoh dan kebal terhadap segala urusan duniawi yang serba berlebihan. Urusan dunia yang meliputi segala bentuk kebutuhan dan keinginan manusia mesti dipenuhi dengan baik dan dengan cara yang baik juga. Islam yang mendorong sikap hidup moderat telah mengajarkan dan membimbing setiap orang beriman untuk selalu bisa menahan diri dan tidak berlebihan apalagi melampaui batas. Selama Ramadhan insan beriman digiring seperti para jama’ah haji yang menunaikan manasik haji dengan seluruh rangkaiannya di tanah suci, tiada hari dan waktu, semuanya disiapkan untuk ibadah, dan sebahagian besar diselenggarakan di Masjid.
Sementara urusan dunia hanya ada pada urutan kesekian dari skala prioritas jama’ah haji. Sejarah perjalanan ummat manusia telah menggoreskan bahwa penyakit kehidupan manusia terjadi diantaranya disebabkan oleh sikap yang berlebihan , rakus, dan melampaui batas ini. Makan dan minum yang berlebihan apalagi tidak memenuhi kriteria “halaalan thayyiban” , telah menimbulkan berbagai penyakit didalam tubuh manusia. Penyimpangan, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, korupsi, manipulasi dan seterusnya selalu menjadi pemicu timbulnya prahara kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Nafsu ingin menang tanpa kendali menimbulkan sikap untuk menghalalkan segala cara dalam segala kontestasi kehidupan, dan akibat yang akan muncul sebagai hal yang berkait berkelindan dari sikap tersebut adalah lahirnya sikap benci, bahkan mengaharah kepada permusuhan dalam hubungan antar manusia.
Maka segala bentuk kebiasaan yang telah dilatih selama Ramadhan akan mendorong insan beriman untuk berkehidupan yang wasathiyah (moderat). Makan dan minum secara teratur baik diwaktu makan sahur, atau disaat berbuka puasa dengan tidak berlebih-lebihan apalagi cenderung mubazzir, yang penting terpenuhi kriteria asupan gizi yang dibutuhkan oleh fisik manusia.
Demikian juga dalam berbicara dan bertindak atau berprilaku selalu terkontrol terhindar dari perbuatan yang masuk dalam kategori “al-laghwi wa ar-rafats”. Sebuah kondisi yang dikritik langsung oleh Rasulullah SAW terhadap orang-orang yang tengah berpuasa, dikarenakan tidak mampu mengontrol diri mengakibatkan tidak ada yang diperolehnya dari ibadah puasa tersebut kecuali lapar dan haus saja. Aapalagi perbuatan-perbuatan yang bisa menyebabkan batalnya puasa orang yang berpuasa, sehingga Rasulullah menuntun orang berpuasa untuk mengatakan “ Innii Shaa-imun” (sesungguhnya aku sedang berpuasa), disaat menghadapi situasi genting yang mengarah kepada konflik. Dan Rasulullah juga mengajarkan semangat berbagi dengan mengutarakan : “barangsiapa yang memberikan/menyediakan perbukaan untuk orang yang tengah berpuasa, maka dia akan memperoleh ganjaran/pahala sama dengan pahala orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahalanya orang yang berpuasa tersebut”.
Kemudian dipenghujung ramadhan Rasulullah SAW memfardhukan kepada setiap muslim untuk menunaikan/membayarkan Zakat Fitri, yang salah satu tujuannya disebutkan didalam sabda rasulullah
itu adalah untuk menyejahterakan fakir dan miskin. Dengan bahasa isyarat dari rasulullah : “Aghniyaa-
uhum” (Kayakan mereka minimal dihari raya tersebut). Dan didalam sabdanya Rasulullah SAW
menyebutkan istilah “Thu’matan lil masaakiin” ( diperuntukkan bagi fakir dan miskin), berbeda dengan
zakat maal. Bahkan munas Tarjih Muhammadiyah XXXI tahun 2020 di Universitas Muhammadiyah Gresik
telah memberanikan diri mengambil sebuah ijtihad bahwa sisa zakat fitri yang telah didistribusikan itu
dapat dikelola secara professional yang sasarannya juga untuk mengayakan fakir miskin tersebut, tidak
hanya ada hari raya saja, tetapi jika bisa dikayakan sepanjang tahun.
Dengan berakhirnya Ramadhan, kemudian disambut oleh syawal yang ditandai oleh Idul Fitri dimana seluruh orang beriman merasakan sebuah kebahagiaan, bahkan didalam sabdanya Rasulullah menyebutkan untuk orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan (farhataani), yaitu kebahagiaan disa’at berbuka dan kebahagiaan akan berjumpa dengan Tuhannya nanti diakhirat. Secara bahasa Syawal diterjemahkan dengan “meningkat”, dalam kosakatanya deisebutkan “thabaqan ‘an thabaq”.Artinya meningkat dari satu tahapan ke tahapan berikutnya yang tentu saja harus lebih baik.
Nah, kehidupan yang washatiy atau moderat yang telah terlatih salama satu bulan Ramadhan itu semestinya harus diperkokoh dalam keperibadian dan tindakan setiap orang beriman sebagai wujud dari manivestasi predikat muttaqin yang diraih. Namun, jika kita tidak bisa mempertahankan sikap rohaniah yang sudah tertata dan terlatih tersebut maka hal ini akan menjadi preseden buruk bagi pertumbuhan dan perkembangan keimanan kita. Situasi demikian tak obahnya seperti seseorang yang berusaha menyusun bata demi bata sehingga berwujud sebuah bangunan yang indah dan megah, tetapi kemudian diruntuhkan kembali, sehingga hancur berkeping-keping. Didalam Al-qur’an pada surat An-Nahl : 92 dilukiskan bahwa sikapn yang inkonsistensi tersebut disamakan dengan seorang perempuan yang memintal benang dengan kokoh, namun setelah selesai kemudian benang tersebut dicerai beraikan kembali.
Sebagai contoh yang nyata bahwa puasa Ramadhan telah melatih kita untuk senantiasa berprilaku jujur, tidak berlebih-lebihan, menyadari kapasitas kebutuhannya tanpa harus rakus, tama’ dan mubazzir. Maka orang yang demikian jika puasanya benar, tidak akan mungkin tampil setelah Ramadhan berakhir, menjadi pendusta, pembohong (apalagi melakukan kebohongan public), pencuri, koruptor dan pengkhianat, termasuk mengkhianati masyarakat dan bangsa ini. Di bulan ramadhan kita telah dilatih untuk senantiasa berprilaku “ihsan”. Yang didalam sabdanya rasulullah SAW menyebutkan tentang defenisi ihsan itu : “an ta’budallaah kaannaka taraahu, fain lam takun taraahu, fainnahuu yaraaka”( Ihsan itu adalah, jika engkau menyembah Allah itu seakan-akan engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak dapat melihat-Nya, pasti Allah melihatmu”. Bahkan Imam Nawawi Al-bantani menyebutkan bahwa ihsan itu tidaklah engkau berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepadamu, sebab itu adalah mukaafaah (setimpal), tetapi ihsan itu adalah apabaila engkau mampu untuk berbuat baik kepada orang yang telah berbuat jahat kepadamu.
Dengan berakhirnya Ramadhan dan kita tengah berada dibulan Syawal, marilah kita itiqamah dengan sikap yag telah dilatihkan selama ramadhan tersebut untuk menjadi keperibadian kita bpada bulan syawal yang artinya meningkat, dan tentu saja akan berkesinambungan pada bulan-bulan yang lain. Wallahu a’lam.
Batahan, Syawal 1445 H/April 2024 M