KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOPI GAYO
Oleh : Bardan Sahidi, M.Pd. Ph.D

Kopi memiliki peran vital dalam perekonomian Kabupaten Aceh Tengah, dari sensus pertanian tahun 2023, mencatat sekitar 65% penduduk Aceh Tengah adalah keluarga petani, yang didominasi oleh keluarga
petani kopi arabika Gayo. Harga kopi Gayo sangat dipengaruhi oleh pasar ekspor, terutama ke USA, Eropa, dan Jepang. Beberapa negara tujuan ekspor kopi Gayo mulai menerapkan regulasi ketat, mulai dari batasan residu pestisida hingga UU anti-deforestasi yang diberlakukan oleh Uni Eropa.
Perubahan regulasi ekspor akan berdampak pada pendapatan masyarakat Gayo, khususnya petani kopi di
Kabupaten Aceh Tengah. Oleh karena itu, langkah-langkah proaktif dan perlindungan diperlukan untuk melindungi petani dari potensi dampak negatif dari faktor eksternal.
Optimalisasi Peluang Kopi Gayo
Salah satu peluang yang belum dimanfaatkan sepenuhnya adalah pasar domestik untuk kopi Gayo. Menurut data Bank Dunia (https://wits.worldbank.org), Indonesia telah mengimpor rata-rata lebih dari 41 ribu ton kopi setiap tahun sejak tahun 2010, dengan nilai lebih dari US $149 juta (sekitar Rp. 2,2 triliun). Impor tersebut terutama mencakup produk kopi olahan seperti kopi instan (37%) dan biji hijau (60%), dengan sisanya terdiri dari berbagai bentuk olahan lainnya.
Di sisi lain, produk kopi UMKM yang dipasarkan di dalam negeri memiliki nilai penjualan rata-rata antara Rp. 10 hingga 12 milyar per tahun. Namun, impor Indonesia untuk produk kopi olahan mencapai Rp. 1,1 triliun per tahun. Dengan tetap mempertahankan pangsa pasar yang telah ada sekarang, peluang pasar produk turunan kopi Gayo perlu ditingkatkan. Untuk meminimalisir dampak negatif dari regulasi negara-negara tujuan ekspor kopi Gayo.
Sebagai besar produk kopi olahan yang diimpor adalah kopi low end dengan harga antara Rp. 500 hingga
20.000 per sachet atau Rp. 1000 hingga 5000 per gelas di warung-warung kopi. Meski harga per satuan sangat
murah namun jika ditotal bisa mencapai nilai Rp. 1,1 T/tahun. Saat ini, penjualan produk kopi Gayo dari UMKM hanya mencatatkan 1% dari pasar produk kopi olahan dalam negeri. Oleh karena itu, optimisasi pasar domestik pada berbagai tingkatan harga penting dilakukan, dengan memposisikan kopi Gayo sebagai pilihan utama, baik dihargai Rp. 500 per sachet maupun pada pilihan dengan harga tertinggi di pasar.
Optimalisasi pasar ini berpotensi meningkatkan penjualan produk UMKM hingga sepuluh kali lipat (sekitar Rp. 100 milyar), dengan menguasai setidaknya 10% pangsa pasar produk kopi olahan.
Metode Optimisasi
Produk kopi olahan seperti kopi instan diproduksi dengan dua metode: pembekuan (freeze dried) dan
semprotan (spray dried). Dengan teknik yang tepat, kedua metode ini dapat menurunkan harga jual tanpa
mengurangi cita rasa, sehingga meningkatkan daya saing produk di segmen produk dengan harga rendah.
Produk kelas menengah dikembangkan dengan metode hybrid yang menggabungkan pendekatan produk
dengan harga rendah dan tinggi. Sementara itu, teknologi produk dengan harga tinggi telah dikuasai dengan baik oleh para roaster kopi UMKM lokal.
Dengan menjaga integritas rasa, metode ini memungkinkan produk olahan kopi Gayo untuk masuk ke berbagai segmen pasar di Indonesia, tetap menjadi pilihan kopi utama. Dalam hal mengatasi persaingan harga jual, diperlukan strategi distribusi yang memastikan harga produk seragam di seluruh Indonesia. Pendekatan ini telah
berhasil diterapkan oleh berbagai produk lain secara nasional, seperti gula, diterjen dan mie instan.
Kebijakan pengembangan kopi Gayo salah satu langkah antisipatif untuk mencegah produk kopi petani tidak
terserap oleh pasar dengan harga yang optimal. Langkah-langkah strategi lain akan kami sampaikan dalam kesempatan berikutnya.
** Penulis, Bardan Sahidi, Anggota DPR-Aceh, Bakal Calon Bupati Aceh Tengah