Problematik Mustahik Zakat Fitri (Fitrah)
Oleh : Khairil Azmi Nasution, Sekretaris Majelis Tarjih PWM Sumut
Zakat dalam Islam tidak ditemukan padanannya di dalam agama agama lain atau sekte-sekte solidaritas sosial di dunia sepanjang sejarah. Allah telah menetapkan beberapa jenis zakat, yang masing-masing dikeluarkan dari jenis harta yang wajib dikeluarkannya. Salah satunya adalah zakat Fitri ( Fitrah) yang funsinya sebagai membersihkan bagi orang yang berpuasa dari perkataan kotor dan perbuatan keji, dengan memberikan makanan bagi orang-orang miskin.
Puasa adalah ibadah fisik, sedangkan perkataan kotor dan perbuatan keji adalah dosa-dosa jasmani, oleh karena itu zakat dikeluarkan berupa makanan yang berkaitan dengan tubuh. Dalam hadist Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma mengatakan: ” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan Zakat Fitri sebesar satu sha' dari kurma atau satu sha’ dari gandum, baik untuk budak maupun orang merdeka, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa di kalangan kaum muslimin”
Maka jika setiap Muslim menunaikan zakatnya , tidak akan ada seorangpun yang akan terlihat mengulurkan tangannya untuk meminta-minta, bayangkan jika sekitar 2 miliar umat Muslim di seluruh dunia pada saat yang bersamaan menyumbangkan sekitar 2,5 Kg makanan untuk orang miskin, ini keindahan dan kebesaran ajaran islam dalam zakat fitri kita sebagai umat islam dan akan tercatat sebagai upaya terbesar dalam memerangi kelaparan di dunia.
Ini belum termasuk dari aspek ekonomi, di mana akan terjadi pergerakan dan peningkatan pasar akibat produksi, penjualan, dan pembelian hampir 5 miliar kilogram makanan. Dari aspek psikologis, fakir miskinpun memaksakan dirinya untuk membayar zakat fitri , menyumbang dan merasakan keindahan memberi, meskipun hanya sekali setahun, dan menyadari bahwa selalu ada orang yang lebih membutuhkan dari pada mereka, sehingga
mereka bersyukur kepada Allah, secara bersamaan mereka menyadari sasaran zakat ini adalah fakir miskin.
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan fuqoha terkait kepada siapa zakat ini didistribusikan. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa zakat fitri ditunaikan kepada fakir Muslim berdasarkan Hadist Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: "Berikanlah kepada mereka…" (Al- Hadits). Namun Perbedaan pendapat terjadi mengenai fakir miskin dari kalangan non muslim. Mayoritas berpendapat bahwa tidak boleh diberikan kepada non muslim. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa boleh diberikan kepada non muslim. Perbedaan pendapat ini
disebabkan oleh apakah alasan bolehnya diberikan zakat fitri hanya karena kemiskinan saja, Ataukah karena kemiskinan dan Islam secara bersama-sama. Yang berpendapat bahwa bolehnya diberikan hanya karena kemiskinan, dan beberapa orang menetapkan syarat bagi non-Muslim yang boleh menerima bahwa mereka harus menjadi rahib (Bidayatul Mujtahid: 73/1). Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Abu Maisarah bahwa dia memberikan sedekah fitri kepada rahib (Al-Musannaf: 39/4), dan dari Amr bin Maimun, Amr bin Syarhabil, dan Mura Al-Hamdani bahwa mereka memberikan zakat fitri kepada rahib (Al-Mughni: 78/3).
Ini adalah gestur kemanusiaan yang mulia yang menunjukkan jiwa Islam yang toleran, yang tidak menghentikan kebaikan kepada orang-orang yang berbeda, yang tidak pernah berperang melawan umat Islam. Tidak mengherankan jika kebahagiaan hari raya mencakup semua orang yang tinggal dalam lingkungan umat Islam, meskipun mereka adalah non muslim. Namun, hal ini harus dilakukan setelah orang-orang miskin Muslim terlebih dahulu dicukupi kebutuhannya. Tidak hanya terbatas fakir miskin Pemberian zakat fitri , juga boleh diperluas kepada 8 golongan yang terdapat dalam surah At Tabah ayat 60.
Tidak dipungkiri adanya perbedaan pendapat mengenai masalah ini. Menurut pendapat masyhur dari kalangan mazhab Syafi’i, zakat fitri wajib diberikan kepada golongan yang juga menerima zakat harta, yaitu golongan yang disebutkan dalam ayat: “Sesungguhnya zakat-zakat……..” (At-Taubah: 60), dan wajib dibagi secara merata di antara mereka (Al-Majmu’ 144/6). Ini juga merupakan pendapat dari Ibnu Hazm (Al-Muhalla: 143/6-145). Ibnu Qayyim menanggapi pendapat ini dengan mengatakan: "Rasulullah biasa mengkhususkan para fakir miskin untuk menerima zakat ini, beliau tidak membaginya untuk delapan golongan secara setengah-setengah dan tidak memerintahkan hal itu, juga tidak ada yang melakukannya dari para sahabatnya atau generasi setelah mereka. Pendapat ini lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan wajib membaginya untuk delapan golongan" (Zadul Ma'ad: 315/1).
Menurut Mazhab Maliki: zakat fitri ini hanya diberikan kepada orang miskin dan fakir, tidak diberikan kepada pekerja yang menerima upah, orang yang memiliki harta, budak, orang yang berhutang, pejuang, atau orang yang sedang dalam perjalanan dan menggunakan sedekah untuk perjalanannya. Zakat hanya diberikan kepada orang yang benar-benar miskin, dan jika tidak ada orang miskin di kota tersebut, maka zakat akan dipindahkan ke kota terdekat dengan biaya dari dana zakat itu sendiri, agar tak terjadi penurunan nilai zakat (Al-Sharh Al-Kabir: 508/1-509).
Dari uraian diatas jelas bahwa ada tiga pendapat: Pertama, Pendapat tentang kewajiban membaginya kepada delapan golongan -atau siapa saja yang termasuk di dalamnya- secara merata, yang merupakan pendapat yang terkenal di kalangan Syafi’i. Kedua, Pendapat tentang bolehnya membaginya kepada golongan-golongan tertentu, dan bolehnya mengkhususkan untuk fakir miskin, yang merupakan pendapat mayoritas, karena zakat fitri adalah sedekah yang masuk dalam kategori umum dari firman Allah: "Sesungguhnya sedekah itu hanya untuk fakir miskin" (At-Taubah: 60). Dan ketiga, – Pendapat tentang kewajiban mengkhususkan zakat fitri untuk fakir miskin, yang merupakan mazhab Maliki -seperti yang telah disebutkan- dan salah satu pendapat Menurut Imam Ahmad. Ibnu Qayyim juga cenderung kepada pendapat ini, begitu juga gurunya, Ibnu Taimiyah.
Menurut pendapat ini, al-Hadi, al-Qasim, dan Abu Thalib berpendapat bahwa zakat fitri harus diberikan kepada fakir miskin secara khusus, tidak seperti pengeluaran zakat pada delapan golongan lainnya, karena hadis-hadis yang menyebutkan bahwa zakat fitri adalah ” makanan bagi orang-orang miskin" dan hadis yang menyebutkan "berilah mereka kecukupan pada hari itu” (Nailul Authar: 195/4).
Meskipun pendapat ini kuat dan sesuai dengan tujuan utama zakat fitri , tapi tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan zakat fitri untuk membaginya kepada delapan golongan jika diperlukan, sebagaimana hadis-hadis yang menyatakan bahwa yang utama adalah memberi kecukupan kepada fakir miskin pada hari itu. Oleh karena itu, sebaiknya memberikan prioritas kepada fakir maskin. Namun hal ini tidak menghalangi penggunaannya untuk untuk keperluan lain sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan, sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dalam zakat harta: “Diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang miskin mereka”, namun hal ini tidak menghalangi penggunaannya untuk keperluan lain sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan, yang ditunjukkan dalam ayat suci Al-Qur’ an. Dan tidak dibenarkan zakat fitri kepada orang yang tidak berhak menerima zakat harta, seperti kafir yang memusuhi Islam, murtad, orang berdosa yang menantang kaum muslimin dengan dosanya, orang kaya dengan harta atau usahanya, orang yang mampu
bekerja tetapi malas bekerja, orang tua, anak, atau istri.
Pembagian zakat fitri diutamakan di mana muzakki tersebut bertempat tinggal, karena zakat fitri khusus sebagai bantuan cepat dalam kesempatan khusus, yaitu kesempatan hari raya, maka yang lebih berhak menerimanya adalah tetangga dan penduduk negara tersebut. Kecuali jika tidak ada orang miskin ditempat tinggal muzakki, maka dapat dipindahkan ke tempat yang dekat seperti yang telah disebutkan menurut mazhab Maliki. (***)