Seminar Kebangsaan dan Launching Buku :
Moderasi Keindonesiaan Dalam Pendidikan Islam: Telaah Kritis Pemikiran Haedar Nashir
Oleh: Rodiatun Mardiah
PC IMM Djasman Al-Kindi Kota Yogyakarta menyelenggarakan Seminar Kebangsaan dan Launching buku bertemakan Moderasi Keindonesiaan Dalam Pendidikan Islam: Telaah Kritis Pemikiran Haedar Nashir pada hari selasa tanggal 6 Desember 2023. Acara yang bertempat di DPD RI Kota Yogyakarta ini menghadirkan anggota DPD RI DIY M. Afnan Hadikusumo, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. KH Haedar Nashir, M.Si. , Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Irwan Akib, M.Pd, Kapolda DIY Irjen. Pol. Suwondo Nainggolan, S.I.K., M.H. dan Ketua Umum DPD IMM DIY Muh Akmal Ahsan S.Pd., M.Pd selaku penulis buku Moderasi Keindonesiaan Dalam Pendidikan Islam: Telaah Kritis Pemikiran Haedar Nashir.
M. Afnan Hadikusumo dalam sambutannya menyampaikan dukungan dan apresiasinya pada acara ini, baginya acara seperti ini dibutuhkan dalam rangka mengadvokasi dan mencerdaskan bangsa. “Yang penting tujuan kita sama, dalam rangka menuju masyarakat yang adil dan sejahtera. Semoga kita bisa terus bersinergi.” Kemudian dalam testimoninya, immawan AkmalAhsan memaparkan bahwa tujuan dari penulisan buku Moderasi Keindonesiaan Dalam Pendidikan Islam: Telaah Kritis Pemikiran Haedar Nashir adalah untuk mengobyektifikasi dan menerjemahkan pemikiran ayahanda Haedar Nashir secara lebih luas dan mendalam, terkhususnya dalam bidang Pendidikan. Ketertarikan beliau dalam menulis buku ini juga didukung oleh kekagumannya pada kemewahan kalam pemikiran ayahanda Haedar Nashir dalam kontribusi dan respon beliau guna menyelesaikan berbagai problematika kebangsaan dan Pendidikan yang tak jarang bertentangan dengan Pancasila.
Irjen. Pol. Suwondo Nainggolan, S.I.K., M.H. turut menanggapi “Beliau (ayahanda Haedar Nashir) bukan hanya milik Muhammadiyah, beliau adalah guru bagi seluruh bangsa Indonesia.” Irjen. Pol. Suwondo Nainggolan, S.I.K., M.H juga menegaskan bahwasanya pemuda itu harus terus disemangati, terlebih dalam hal berkarya. Bagaimanapun tak bisa kita pungkiri perjalanan pemikiran dalam mengukir peradaban hingga hari ini tidak lepas dari peranan penting pemuda didalamnya.
“Kita ngga pernah tau, kita akan jadi apa, tapi kita bisa memilih kita akan berbuat apa. Buku itu sebetulnya adalah sebuah dokumentasi, dari kepribadian, pemikiran bukan tujuan akan tetapi dokumenter dari apa yang sudah kita pikirkan maupun perbuatkan.” Paparnya. Tak lupa pula ia berpesan agar anak muda boleh menyukai tokh-tokoh besar, akan tetapi juga harus mampu mengkritisi, mengimplementasi pemikiran dan menjadi bagian dari
tokoh-tokoh besar itu pula. Terkhususnya bagi anak muda yang tengah menempuh masa menjadi mahasiswa, ia berharap anak muda ini tidak hanya numpang lewat , kuliah selesai-sarjana. Akan tetapi harus mampu memanfaatkan kesempatan dengan sebaik-baiknya, karena tidak semua anak muda bisa mendapat kesempatan untuk duduk di bangku mahasiswa.
Tentunya tak bisa kita lewatkan pidato utama dari ayahanda Haedar Nashir. Beliau menegaskan betapa pentingnya jiwa kritisisme, literasi dan belajar sejarah yang harus menjadi konsumsi anak muda, serta sangat diperlukannya kejernihan dalam membahas moderasi. Kerena kita tidak bisa memungkiri bahwasanya konstitusi kitapun merupakan hasil dari perdebatan antara sosialisme dan kapitalisme, akan tetapi pada nyatanya pemahaman sejarah negara kita saja masih sempit. “Jangan sensitif kalau ad dinamika, karena dinamika adalah sunatullah” tambah beliau.
Pada sesi bedah buku, Prof. Irwan Akib, M.Pd membuka dengan menceritakan sedikit biografi dari ayahanda Haedar Nashir, dan bagaimana cara berpikir beliau yang begitu birokratis dan strukturalis bisa muncul berawal dari cita-cita beliau untuk menjadi camat, sehingga menjadi sosok yang akademis, aktivis dan juga kulturalis.
Kemudian beliau melanjutkan membedah dengan memaparkan bahwasanya kita juga harus mampu menelaah berbagai persoalan pendidikian dari berbagai perspektif, karena Indonesia ini sangat adalah negara bhineka tunggal ika, sedangkan dalam pengalaman beliau pada zaman orde baru ke bhinekaan tidak begitu ditonjolkan ketimbang ke ika annya.
Beliau menjelaskan bahwasanya moderasi itu adalaj sikap kita, tentang bagaimana kita menghargai perbedaan-perbedaan yang ada itu. Di dalam pendidikan seharusnya peserta didik tidak sebagai objek tapi sebagai subjek secara utuh. Dalam hal pendidikan yang transformative beliau berharap peserta didik tidak hanya menguasai pengetahuan akan tetapi juga mampu mengimplementasikannya dalam kehidupan sosial dan mampu menghargai setiap perbedaan yang ada. Lembaga pendidikan harus mampu menjadi miniature masyarakat.
Prof. Irwan Akib, M.Pd juga menegaskan agar IPM dan IMM yang sebenar-benarnya, yaitu sebagai organisasi yang cinta akan ilmu. Beliau menekankan pentingnya literasi dan diskusi-diskusi terkait pengembangan keilmuan karena menulis bukupun tidak bisa tanpa membaca. Terkhususnya bagi mahasiswa aktivis demo. “Mengajak orang demo lebih mudah dari mengajak orang ke perpustakaan. Kalau mau demo, kita diskusikan dulu, kaji dulu secara mendalam, setelah itu mari kita turun bersama” tutur beliau.
Dalam hal pendidikan immawan Akmal Ahsan selaku penulis turut memaparkan agar bagaimana didalam dunia pendidikan itu sesuai dengan fungsi dan tujuannya, hal ini karena saat ini terjadi pergeseran fungsi yang seharusnya mengedepankan nilai-nilai akademik justru bergeser , bahkan semakin hari semakin terlihat seperti pasar.
Terakhir immawan Akmal Ahsan menerangkan bahwasanya kritis adalah mereka yang mampu melakukan Analisa terhadap seluruh pengetahuan yang didapatnya, dan krisis kritisisme terjai karena kita terbiasa berada di lingkungan kampus dengan teori-teori idealnya, sedangkan kritis itu adalah hasil dari bersentuhan dengan realitas sosial. “IMM harus terbiasa dengan pertengkaran dan perdebatan intelektual.” Ucapnya. (***)