Meningkatkan Kapasitas Kepemimpinan bagi Pimpinan Muhammadiyah.
Oleh: Drs.H.Talkisman Tanjung
Satu Tahun sudah perhelatan muktamar muhammadiyah ke-48 selesai, diikuti pelaksanaan musywil, musyda dan musycab serta musyran, bahkan sampai hari ini masih ada yang musyran. Agenda wajib Persyarikatan ini terus bergulir, dan masing-masing Pimpinan di setiap level kepemimpinan merasakan bahwa penyelenggaraan musyawarah persyarikatan yang terjadwal sekali lima tahun ini merupakan marwah kepemimpinan pada masa itu. Maksudnya, meskipun selama satu periodesasi itu tdk banyak agenda program kerja yang bisa dilaksanakan, namun agenda musyawarah periodesasi ini adalah sesuatu yang wajib untuk dilaksanakan, apalagi ada surat edaran dari Pimpinan diatasnya yang memberikan rentang waktu untuk pelaksanaan musyawarah tersebut.
Seiring dengan hal tersebut, secara ril pada saat ini persoalan-persoalan yang akan dihadapi oleh setiap kepemimpinan persyarikatan semakin kompleks dan njlimet. Butuh kemampuan-kemampuan tertentu untuk menyikapinya. Disamping itu agenda Pimpinan disemua tingkatan saat ini adalah bagaimana memimpinkan pelaksanaan program-program yang telah ditanfidzkan oleh setiap tingkatan pimpinan.
Dan dari akumulasi permasalahan ummat saat ini, yang menjadi garapan (obyek dakwah) muhammadiyah, ‘Aisyiyah dan seluruh ortomnya adalah dinamika zaman yang sangat kompleks, baik ditingkat lokal, nasional maupun global. Dan hal itu terjadi pada semua aspek kehidupan.
Disisi yang lain kita juga menemukan bahwa diantara personil Pimpinan yang terpilih didalam kepemimpinan Muhammadiyah itu tidak memiliki kompetensi kepemimpinan yang siap pakai untuk menghadapi berbagai persoalan ummat. Bahkan tidak jarang ada yang terpilih menjadi salah satu Pimpinan yang tidak pernah mengikuti program kaderisasi di Persyarikatan. Khususnya kepemimpinan ditingkat Cabang dan Ranting. Yang penting mau bergabung dengan muhammadiyah, dan atau menjadi jama’ah di masjid muhammadiyah. Hanya berbekal itu saja seseorang diserahi amanah untuk menjadi Pimpinan di Muhammadiyah.
Berangkat dari realiata tersebut rasanya diperlukan pelaksanaan sebuah program peningkatan kapasitas kepemimpinan bagi Pimpinan Muhammadiyah, yang dilaksanakan secara khusus, disamping melalui materi pengajian pimpinan tentunya. Mengapa hal itu menjadi urgen ? Ada beberapa kondisi dilapangan yang sering ditemukan :
1. Adanya sikap dan kebijakan yang diambil oleh Pimpinan Muhammadiyah tidak sejalan dengan berbagai keputusan, qaidah dan aturan yang telah ada di Muhammadiyah. Misalnya, persoalan pelaksanaan HPT disebuah Ranting. Program pengajian anggota selalu diadakan rutin, namun nara sumber dan materi pengajiannya adalah materi pengajian jama’ah yang mengaku salafi, sehingga banyak yg tidak sesuai dengan Himpunan Putusan Tarjih. Manhaj beragamanya mengikuti manhaj kelompok salafi, tidak lagi manhaj tarjih muhammadiyah. Aspek organisasi bagi mereka tidak penting, tetapi yang menjadi tujuan bagi mereka bagaimana agar seluruh ritual ibadah yang mereka lakukan berdasarkan pendapat ulama-ulama yang mereka sebut sebagai salafus shalih, dan yang tidak sehaluan dengan itu dianggap salah, bid’ah, sesat dan sebagainya, termasuk produk Putusan Tarjih.
2. Adanya sikap Pimpinan Muhammadiyah yang merasa lebih superior, baik pengetahuannya, pengamalan Agamanya, pemahamannya tentang organisasi dibandingkan dengan unsur Pimpinan yang lain, sehingga membuat Persyarikatan yang dipimpinnya ibarat katak dibawah tempurung. Akibat yang fatal dari fenomena ini adalah lahirnya kepemimpinan yang arogan, mau menang sendiri, dan merasa lebih berjasa dalam pengembangan Muhammadiyah bila dibandingkan dengan yang lain. Pola kepemimpinannya lebih dominan pola kepemimpinan birokratis ketimbang musyawarah mufakat dan mencapai kemaslahatan bersama, atau yang sering di Persyarikatan disebut dengan istilah kolektif kolegial. Dan bahaya laten yang ditimbulkan kepemimpinan seperti ini adalah tergerusnya rasa keikhlasan didalam berbuat dan beramal didalam Muhammadiyah. Baik bagi yang bersangkutan, maupun bagi personalia Pimpinan yang lain karena tidak nyaman mengabdi dan menjalankan program persyarikatan atas dasar perintah-perintah dari Pimpinan yang mengaku superior, sementsra yang lsin pasti dianggap inferior. Perintah dari seorang atasan kepada yang dianggap bawahan, dan seterusnya.
3. Adanya fenomena Pimpinan, dimana jabatan dalam Persyarikatan hanya dijadikan sebagai batu loncatan untuk meraih kesuksesan diberbagai jabatan publik diluar persyarikatan, termasuk didalam struktur pemerintahan. Dengan terpilihnya menjadi pimpinan Persyarikatan, menyebabkan seseorang menjadi lebih populer dan terkenal, sehingga memudahkan bagi yang bersangkutan untuk promosi jabatan-jabatan tertentu baik di pemerintahan atau disektor-sektor strategis lainnya, termasuk dibidang bisnis, seperti promosi untuk jabatan komisaris disebuah BUMN/BUMD dan lain sebagainya.
4. Adanya fenomena Pimpinan Persyarikatan yang tidak berbasis kepada jama’ah. Ada yang diangkat menjadi Pimpinan di Persyarikatan tetapi tidak jelas dimana jama’ahnya. Kalaupun dia direkomendasikan oleh Pimpinan Ranting tempat domisilinya, tetapi dia sendiri tidaklah menjadi jama’ah tetap di Masjid yang ada di Ranting tersebut. Rekomendasi Pimpinan Ranting hanya sebatas persyaratan administrasi bagi yang bersangkutan. Nah, muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam, gerakan tajdid, adakah mungkin bisa bergerak menggembirakan dakwah tersebut sementara Pimpinannya tidak menjadi bagian dari gerakan dakwah dimaksud ? Jama’ah masjid muhammadiyah tidak ada ikatan emosional dengan Pimpinan Muhammadiyah. Muhammadiyah dibuat sama dengan organisasi-organisasi yang lain, padahal muhammadiyah sebagai organisasi dakwah tentu harus berpusat di masjid. Bahkan untuk dalam keputusan muktamar muhammadiyah ke-48 di Surakarta satu tahun yang lalu, ada salah satu program unggulan dari Lembaga Pemberdayaan Cabang dan Ranting periode ini yaitu mendirikan ranting berbasis masjid.
Dan banyak lagi fenomena yang ditemukan didalam realitas kepemimpinan Muhammadiyah hari ini khususnya ditingkat cabang dan ranting.
Untuk mengatasi atau mendapatkan jalan keluar bagi persoalan seperti tersebut diatas, tidak lain kita harus kembali kepada seluruh aturan, qaidah, rumusan dan yang sering diistilahkan idiologi muhammadiyah. Dan untuk meningkatkan kapasitas kepemimpinan bagi Pimpinan Muhammadiyah kedepan, tidak cukup hanya dengan mengandalkan latar belakang akademik saja, tetapi harus ada kemauan untuk belajar dan mempelajari semua rumusan-rumusan idiologis Muhammadiyah sebagai prasyarat yang harus dimiliki untuk menjadi seorang Pimpinan Muhammadiyah. Diantaranya didalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) telah dituangkan beberapa kapasitas yang harus dimiliki, baik secara pribadi, keluarga dan masyarakat, atau sebagai anggota maupun pimpinan, yang apabila dikuasai dan diamalkan, insya Allah berbagai fenomena seperti tersebut diatas akan terhindar dari kita selaku Pimpinan Persyarikatan.
Diantaranya dapat diuraikan disini, yaitu :
1. Setiap warga Muhammadiyah harus memiliki kesadaran imani yaitu bertauhid kepada Allah swt. Dan tauhid itu harus dijadikan sebagai sumber seluruh kegiatan hidup, serta tegas untuk menolak syirik, takhayul, dan khurafat.
Semua gerak kita harus berpusat pada satu titik yaitu loyalitas tunggal hanya kepada Allah Swt., bukan kepada seseorang, apalagi kepada hawa nafsu. Dan hal itu tegas diingatkan oleh Allah Swt didalam Al-qur’an surat Al-jatsiyah : 23 :
افراءيت من اتخذالهه هواه واضله الله على علم وختم على سمعه وقلبه وجعل عاى بصره غشاوة فمن يهديه من بعد الله افلا تذكرون .
“Apakah sudah kau perhatikan orang yang mempertuhankan hawa nafsunya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya, dan Dia telah mengunci mati pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutup pada penglihatannya. Maka siapakah yang mampu untuk memberinya petunjuk setelah Allah membiarkannya sesat ? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran ?”
Mengikuti hawa nafsu itu pangkal segala kebusukan, dan siapa saja yang mengikuti hawa nafsunya sama artinya dia telah mengubah statusnya sebagai ‘abdullah atau hamba Allah menjadi _abdul butun_, _abdul fulus_, _abdul farji_, _abdul mayhur_, _abdul kursi_, dan lain-lain. Dan kita tidak akan bahagia di dunia dan akhirat jika tidak mampu mengendalikan hawa nafsu dibawah ajaran Islam.
2. Keikhlasan.
Ikhlas adalah benteng manusia yang tidak bisa ditembus syaithan.
قال رب بما اغويتني لاءزينن لهم فى الارض ولاءغوينهم اجمعين. الا عبادك منهم المخلصين
“Iblis berkata : Tuhanku, karena Engkau telah memutuskan aku sesat, maka akan kujadikan maksiyat nampak indah bagi manusia di bumi dan akan aku sesatkan mereka semua, kecuali (yang tidak mapu aku sesatkan) orang-orang yang ikhlas” (QS.: Al Hijr : 39-40).
Orang yang berlatar akademik (pandai) , atau orang yang bodoh, orang yang kaya atau miskin, orang yang tekun beribadah, orang yang dermawan atau kikir, semua dapat ditaklukkan iblis, kecuali orang yang ikhlas.
Orang yang ikhlas melakukan sesuatu dengan gembira, kalau menggerutu tandanya kurang ikhlas. Kemudian orang yang ikhlas itu menikmati yang dimiliki, bukan yang diinginkan. Bukan kebagiaan membuat kita bersyukur, tetapi justru syukur akan membuat kita bahagia. Dan tanpa sabar, tidak mungkin bisa ikhlas. Cinta merupakan kekuatan terpenting dalam ikhlas. Karena cinta maka yang sulit bisa jadi mudah, yang berat berubah jadi ringan, rasa takut bisa berubah menjadi berani.
3. Menjadi ‘Ibadur Rahman ( hamba yang disayangi oleh Sang Maha Penyayang).
وعباد الرحمان الذين يمشون على الاءرض هوناواذا خاطبهم الجاهلونقالوا سلاما. و الذين يبيتون لربهم سجدا وقياما
“Dan hamba-hamba Allah yang (disayang ) Maha Pengadih ialah orang-orang yang berjalan diatas bumi dengan rendah hati. Apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka menjawab dengan bahasa yang santun(baik). Yaitu mereka yang pada malam harinya bersujud dan berdiri menghadap Tuhannya ( QS.: Alfurqan : 63-64).
Diantara ciri ‘ibadur rahman itu adalah :
a. Selalu rendah hati (tawadhdhu’), ramah, suka senyum, tidak pemarah.
b. Tidak meladeni omongan yang kurang baik
c. Malam hari tekun shalat malam, danseterusnya.
Dari segelintir pemaparan diatas, maka tugas kita sebagai pemimpin adalah : Melayani, Memberi Solusi, Memajukan Kehidupan agar Islam terasa sebagai “Rahmatan lil’alamin”. Dan untuk itu kita selalu ingat sebuah statemen bahwa : Orang cerdas (fathanah) adalah orang yang dapat menyelesaikan masalah yang sulit dengan cara yang mudah. Sedangkan orang bodoh adalah orang yang menyelesaikan masalah yang mudah dengan cara sulit. Wallahu a’lam.
** Drs. Talkisman Tanjung, Wakil Ketua PDM Madina, tinggal di Batahan