Kolaborasi Berantas Mafia Migas di Sumatera Utara
Dalam Kajian Ekonomi Konstitusi
Oleh: Dr. Salman Nasution, SE.I.,MA
Baru-baru ini, tepat pada tanggal 23 Oktober 2023, DPD IMM Sumatera Utara telah melaksanakan dialog publik tentang mafia migas di aula Dispora Sumatera Utara. Ketua DPD IMM Sumut, Muhammad Arif Bone menyampaikan bahwa pelaksanaan dialog ini atas dasar kajian-kajian yang sering dilakukan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, selain itu sebagai bentuk kepedulian dan posisi mahasiswa sebagai agent of change dan social control terhadap kehidupan sosial masyarakat. Ketua panitia pelaksana Muqdial Amri Hasibuan menyebutkan
bahwa pelaksanaan dialog ini menjadi kebiasaan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dalam hal menimbah ilmu pengetahuan terkhusus dalam kajian migas.
Dalam dialog tersebut dihadiri narasumber dari berbagai pihak dan lembaga, diantaranya perwakilan PT. Pertamina yaitu Susanto August Satria, Perwakilan Dirreskrimum Polda Sumatera Utara oleh AKBP Malto Datuan, dan akademisi oleh Dr. Salman Nasution, SE.I.MA dengan keynote speaker H. Nasril Bahar, SE selaku anggota dewan dari fraksi PAN sekaligus anggota komisi VII DPR RI. Bapak Nasril menyampaikan bahwa dialog ini adalah
respon mahasiswa yang sudah muak dengan ulah mafia migas dan memerlukan peran mahasiswa untuk semua pihak dan lembaga telah melakukan minimalisasi bahkan zero tolerant terhadap mafia migas yang dianggap melakukan kejahatan masyarakat yang berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Tidak sedikit aduan-aduan masyarakat dialamatkan kepada PT. Pertamina dan Kepolisian Daerah Republik Indonesia dengan hal kelangkaan. Benar, mafia migas mengganggu hidup dan kehidupan masyarakat. Penulis menyampaikan bahwa, mudah mengetahui mafia migas bermain perannya, yaitu kelangkaan migas, harga cendrung naik dan
pemerintah selalu mengalami kerugian migas.
Jangan bilang tidak ada uang negara ini. Penjajahan yang dilakukan kolonial Belanda dengan VOC nya selama 350 tahun telah menguntungkan pemerintah Hindia Belanda. Menurut beberapa informasi yang valid menyebutkan bahwa VOC kala itu menghasilkan 78 juta gulden Belanda atau sekitar lebih dari USD7,9 triliun. Jika dikonversi dalam rupiah (USD1 = Rp14.000), maka kekayaan VOC bernilai Rp112.640.175.000.000.000 (Rp112,64
kuadriliun).
Keuntungan ini apakah netto atau bruto, namun jika kita lihat saat ini, negara Belanda memiliki kekayaan yang sangat besar bahkan parahnya, pemerintah Belanda masih menyimpan warisan sejarah nasional. Mencuri atau membeli, tentunya benda-benda tersebut harus dipulangkan dengan alasan warisan leluhur Indonesia. Belanda untung menjajah nusantara, termasuk Portugas dan Jepang walaupun hanya sebentar. Tidak mengalihkan informasi Belanda dan VOC nya, tapi Belanda kaya dari kolonialisasi terhadap Hindia Belanda (saat ini Indonesia). Migas sebagai pendapatan negara yang sangat besar yang mampu mengayakan para karyawan, pimpinan bahkan mafia migas itu sendiri.
Tentunya menyayat hati founding fathers bangsa Indonesia, karena cita-cita bangsa Indonesia (UUD 1945) terhadap hak-hak warga negara terhadap pendidikan belum tercapai. Sangat mudah melihat anak-anak di jalanan mencari nafkah dengan menjadi pengemis dan pengamen. Tidak terlepas bagi mahasiswa yang tersendat pembayaran SPP. Terbentuknya UUD 1945 pasal Pasal 31 Ayat 1 berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” indikasi adanya tanggung jawab negara terhadap warga negara terhadap pendidikan. Dari mana uangnya, tentunya dari sumber daya alam yang dimiliki negara Indonesia.
Bagi penulis, haram hukumnya membayar SPP disaat negara ini kaya dan sangat kaya. BUMN tidak dikorupsi. Bahkan mafia migas aja sangat untung dari mainan migas yang merugikan negara (anggaran negara). Menurut pengamat politik ekonomi Faisal Basri, bahwa keuntungan mafia migas dari impor migas lebih dari 1 triliun setiap bulan. Bahkan informasi media lainnya menyebut bahwa jaringan mafia minyak dan gas menguasai kontrak suplai minyak senilai US$ 18 miliar atau sekitar Rp 250 triliun selama tiga tahun. Nilai yang fantastis. Masih miskinkah kita? penulis pikir tidak.
Agak sulit menangkap mafia migas, dibalik bahasa yang tersirat yang disampaikan bapak Nasril Bahar dalam dialog publik tersebut. Banyak faktor migas masih eksis walaupun KPK, Kepolisian, masyarakat anti KKN dan Undang-undang sudah berdiri, diantaranya kedekatan yang akrab antara mafia migas oknum pemerintah, yang melanggengkan gerak gerik mafia migas. Mungkin bagi penulis, ada bagi-bagi nya, jadi sulit. Disaat banyaknya orang jahat bermain-main di negara ini, dimana orang baiknya yang membatasi peran mafia migas? Perlu dialog, apa masalah yang dihadapi PT. Pertamina dan Poldasu sehingga kelangkaan migas dan harga yang tinggi terjadi, sehingga membutuhkan kolaborasi dengan mahasiswa.
Emergency Response oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah termasuk bagi akademisi lainnya seperti dosen terhadap maraknya mafia migas. Bagi dosen, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI tidak multi tafsir sehingga dianggap kebenaran melakukan tindakan yang merugikan negara.
Benar, hukum terhadap mafia migas harus memiliki titik jerah sehingga kerugian negara tidak terus menerus terjadi. Menteri keuangan kakak Sri Mulyani selalu menyampaikan kondisi keuangan negara pada posisi devisit anggaran, tentunya ini bukan hanya pada permasalahan rakyat menjadi korban tetapi negara (pemerintah, rakyat, wilayah). Bahkan jika utang menjadi solusi, untuk apa ada pemerintah yang cerdas, pemerintah yang baik, pemerintah yang berilmu. Karena kebiasaan utang yang konsumtif indikasi negara miskin dan negara susah (failure state).
Akhir dari dialog publik, penulis sampaikan bahwa perlu ada pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terkhusus oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah untuk turun ke lapangan memantau aktifitas migas untuk rakyat (migas subsidi). Transparansi juga penting bagi perusahaan untuk menyampaikan posisi keuangan, data dan informasi posisi migas yang didistribusikan ke masyarakat sehingga rakyat tidak mengeluh dengan kelangkaan dan harga migas yang tinggi disaat pendapatan masyarakat pas-pasan. (***)