Jaga Akal Sehat
Oleh: Tgk. Adnan Yahya, Dosen Bimbingan dan Konseling Islam (BKI) IAIN Lhokseumawe, Aceh
Akal (‘aql, logic) merupakan satu komponen pembeda (distingsi) antara manusia dengan ciptaan lain di muka bumi, semisal fauna dan flora. Akal berfungsi sebagai perangkat untuk berpikir dan menalar secara sistematis dan konsisten (rasional), bukan tanpa alur dan nihil pertimbangan (irasional). Secara leksikal, kata akal (al-‘aql) selalu disebut dalam Alquran dalam bentuk kata kerja (fi’il), bukan kata benda (mashdar). Sebagai indikasi agar manusia selalu berpikir dan bernalar setiap saat. Diantara cara Alquran mengaktifkan daya pikir dan nalar manusia dengan bertanya: apakah kalian tidak berpikir? Apakah kalian tidak memahami?
Apakah kalian tidak bertafakkur? dan seumpamanya.
Prolog di atas menunjukkan bahwa keberadaan akal mesti difungsikan sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk berpikir dan rasional (zoon politicon, al-hayawan an-nathiq). Tanpa (penggunaan) akal manusia disejajarkan dengan binatang, bahkan lebih rendah daripada binatang ternak (Qs. al-A’raf: 179). Kemampuan berpikir rasional inilah yang menyebabkan manusia diangkat sebagai penjaga dan pengelola bumi (Qs. al-Baqarah: 30). Pun, seluruh syarat ritual ibadah dalam Islam, semisal shalat dan puasa, mesti berakal sehat. Ini indikasi bahwa dalam seluruh konteks kehidupan yang dikedepankan akal sehat, tanpa kecuali dalam konteks beribadah sekalipun.
Sebab itu, akal merupakan perangkat lunak yang amat vital pada manusia sempurna. Imam As-Syatibi (wafat 790 H), menyebutkan diantara tujuan syariat (maqashid syariah) diturunkan kepada umat manusia yaitu untuk merawat akal (hifz al-‘aql), agar akal tetap terawat dengan sempurna, supaya akal dapat difungsikan dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan sosial, baik menyangkut dalam mengharmonisasi hubungan transendental kepada Tuhan, membangun kualitas interaksi dengan sesama manusia, maupun berperilaku mulia kepada alam semesta (kosmologis). Maka, setiap manusia dituntut untuk merawat akal sehat dalam kehidupan tanpa melakukan sesuatu yang dapat merusak dan mengotorinya, sehingga dapat menurunkan derajat/
martabatnya sebagai manusia, semisal mengkomsumsi narkoba (Qs. al-Maidah: 90).
‘Logika tidak jalan tanpa logistik’
Realitas sosial menunjukkan bahwa banyak manusia yang berakal sehat, tapi tidak mengoptimalkan akal itu sesuai dengan fungsinya. Terkadang kesucian akal telah terkotori oleh sikap hedonis, pragmatis, dan materialistik, sehingga banyak orang berperilaku irasional, tidak sesuai nalar, dan bertentangan dengan fitrah akal yang sehat. Semisal, munculnya adagium: ‘logika tidak jalan tanpa logistik’, akibatnya seseorang akan menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan logistik biar jalan logikanya. Mestinya, fitrah akal itu tidak terpengaruh oleh apapun dan siapapun juga, tanpa kecuali harta/ materi dan kekuasaan. Ia mesti tunduk kepada Tuhan sebagai dzat yang menciptakannya. Jika tidak, maka akalnya telah dikuasai oleh keinginan hawa nafsunya (syahwat).
Idealnya, ketika seseorang bergelimang dengan harta melimpah, maka pikirannya tetap sehat meski akalnya dapat dipengaruhi oleh harta. Ketika seseorang memiliki kekuasaan, mestinya pola pikirnya tidak terpengaruh oleh kekuasaan yang sedang diembannya. Harta melimpah dan kekuasaan yang dimiliki tidak boleh mematikan daya pikir dan nalar kritis dalam bertindak. Berapa banyak hartawan dan penguasa yang mati nalar dan lenyap pikiran kritis dalam melakukan sesuatu disebabkan oleh harta dan kekuasaan? Mestinya kekayaan dan kekuasaan dapat menjadi medium untuk merawat akal sehat, bukan mematikan akal dan nalar kritis, semisal
Qarun, Fir’aun dan Hamman.
Disisi lain, penyakit yang mengidap pada kecerdasan akal dapat menghambatnya untuk berpikir rasional, semisal merasa hebat dari yang lain meliputi angkuh dan sombong dan beragam ciri superior lainnya, atau sebaliknya merasa bodoh, lemah, tidak punya kelebihan dan beragam ciri inferior lain. Iblis, menjadi perumpaman yang relevan sebagai makhluk Tuhan yang mengidap penyakit kecerdasan akal, yakni merasa superior dari Adam as, merasa asal usulnya (api) lebih mulia dari yang lain (tanah), merasa lebih suci dari yang lain (Qs. al-A’raf: 12), dan
berbagai pola pikir destruktif lainnya. Penyakit kecerdasan akal ini merupakan bagian daripada pola pikir irasional yang tidak sesuai fitrah nalar manusia.
Lebih lanjut, keangkuhan dan kesombongan merupakan pola pikir irasional yang mengidap pada kecerdasan akal. Maka akal mesti dirawat dari berbagai pola pikir yang irasional, sehingga dapat memunculkan perilaku negatif dalam kehidupan. Sebab, perilaku itu mencerminkan pikiran, dan pikiran mencerminkan hati. Artinya, jika seseorang berhati busuk, akan muncul nalar rusak, dan nalar rusak akan menimbulkan perilaku buruk. Sebaliknya, hati mulia akan melahirkan pola pikir positif, dan akan melahirkan perilaku bersahaja. Inilah yang digambarkan
oleh profetik: “dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Tapi, jika ia rusak, niscaya rusaklah seluruh tubuhnya, yakni hati” (HR. Bukhari – Muslim).
Albert Ellis (2007 – 1913), seorang psikolog berkebangsaan Amerika, dalam teorinya Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) mengungkapkan pentingnya menjaga keberlangsungan berpikir rasional, bukan irasional. Pikiran irasional dapat menghambat seseorang dalam membangun kualitas interaksi dan komunikasi dalam kehidupan pribadi dan sosial. Sebab itu, diperlukan ragam medium untuk mengaktifkan nalar berpikir rasional pada
manusia beriman, semisal mampu membentuk kesalehan pribadi dan sosial melalui ragam aktivitas ubudiyah dan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Semoga!
*** Tgk. Adnan Yahya, Dosen Bimbingan dan Konseling Islam (BKI) IAIN Lhokseumawe, Aceh.