Interfaith Dialogue: Fight for one another
Oleh : Shamsi Ali
Pada Kamis malam, 5 Oktober, kantor Waikota New York kembali mengadakan malam ramah tamah antar tokoh agama di kota New York. Acara ini adalah acara rutin tahunan yang telah berlangsung sejak (kalau tidak salah) tahun 2005 silam. Ketika itu Walikota New York Michael Bloomberg memulainya dengan mengundang beberapa tokoh agama ke Gracie Mansion, kediaman resmi Walikota New York. Saya salah seorang dari 15 tokoh agama yang diundang ketika itu.
Sejak itu format acaranya dirubah menjadi kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing Komunitas agama dengan sponsor penuh dari kantor Walikota. Malam ini kebetulan yang menjadi tuan rumah adalah komunitas Yahudi yang juga sedang melangsungkan peringatan hari Sukkot. Acara berlangsung di Temple -Manuel, Sinagog terbesar di kota New York.
Sebagaimana beberapa kali sebelumnya, tahun ini saya kembali diminta memberikan ceramah singkat tentang urgensi kerjasama antar pemeluk agama. Kebetulan Rabbi Senior Sinagog Temple E-Manuel, Rabbi Joshua Davidson, adalah teman dekat dan duduk bersama di kepengurusan “Partnership of Faith”, sebuah organisasi antar agama di kota New York.
Kebetulan pula acara ini dilaksanakan bersamaan dengan hadirnya rombongan Ustadz-Ustadz muda Jawa aLBarat yang saat ini mengikuti program English for Ulama (Pemprov Jabar) atau Global Leadership Program (Nusantara Foundation). Mereka pun saya ajak hadir di acara tersebut dan mendapat perhatian besar (great attention) dari hadirin.
Dalam presentasi singkat itu saya menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:
Satu, saya menyampaikan bahwa sejarah Sukkot sesungguhnya ada dalam Al-Qur’an, tentu dengan perspective yang sedikit berbeda (slightly different). Al-Qur’an menyebutkan bahwa setelah Bani Israel diberikan kesempatan oleh Allah menyeberangi lautan luas, mereka tersesat di padang pasir selama 40 tahun. Al-Qur’an menyebutnya: يتيهون في الارض اربعين سنة (mereka tersesat di bumi selama 40 tahun).
Dua, perbedaan antara Islam dan Yahudi hanya ada pada “kenapa” sampai Bani Israil mengalami ketersesatan itu. Bagi mereka hal ini menjadi bagian dari cara Allah memperlihatkan “blessings”. Makanya mereka juga meyakini jika Allah menurunkan makanan Istimewa yang disebut “Manna”. Sebaliknya Al-Qur’an menyebutkan bahwa ketersesatan itu terjadi karena mereka membangkang kepada Musa. Dan makanan (Al-Manna) dan minuman Istimewa (As-Salwa) itu diturunkan sebagai mukjizat dan bukti kebenaran Musa. Apapun itu, perbedaan itu tidak mengurangi urgensi mengeksplor makna dan hikmah dari peristiwa “ketersesatan” di padang pasir itu.
Tiga, jika ketersesatan itu ditarik pada konteks dunia masa kini, khususnya dalam konteks hubungan antar manusia, (human relations) maka saya menyebutnya dengan “darkness” atau kegelapan. Dalam konteks hubungan antar manusia, kegelapan ini teruwjud dalam situasi di mana manusia mengalami cara pandang “ignorance” (ketidak tahuan) terhadap satu sama lain.
Empat, Karenanya sangat penting untuk keluar dari “ketersesatan” atau “ignorance” itu. Islam memberikan pintu keluar darinya di Surah Al-Hujurat ayat 13: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang ayah dan seorang ibu. Lalu menjadikan kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang termulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa”.
Lima, penekanan ayat ini ada pada 4 hal: 1). Bahwa manusia semuanya berada dalam satu keluarga kemanusiaan yang universal (Universal human family). 2). Tapi dalam keluarga itu juga ada keragaman yang menjadi sunnatullah. 3). Keragaman dihadirkan untuk tujuan mulia untuk saling mengenal. 4). Pada akhirnya kemuliaan manusia terletak pada “nilai kehidupannya” (life value) yang disebut ketakwaan.
Enam, kata kunci dari pemberantasan “ketidak tahuan” (ignorance) ada pada kata “ta’aruf”. Kata ini seringkali dipahami secara terbatas dengan “saling mengenal”. Padahal kata ini bermakna sangat dalam dengan cakupan yang sangat luas. Minimal ada 5 cakupan:
Satu, saling mengenal. Seperti siapa nama, dari mana asalnya, makanan pokoknya apa, dan seterusnya sebagai misal.
Dua, saling memahami. Hal ini lebih dalam dan luas dari sekedar saling mengenal. Biasanya saling memahami itu terbangun karena memang sudah saling mengenal. Saya kenal mereka sebagai orang India. Maka saya paham jika mereka memasak pastinya akan banyak memakai macam-macam bumbu. Walau saya tidak suka makanan itu, saya saya paham bahwa itulah makanan mereka.
Tiga, saling menyayangi. Dengan adanya mindset yang saling memahami akan terbentuk karakter yang “tarahum” saling menyayangi (being compassionate to one another).
Empat, membangun kerjasama. Dengan adanya kasih sayang di hati, akan lebih mudah terjalin kerjasama di tengah keragaman yang ada.
Lima, saling membela. Tingkatan tertinggi dari ta’aruf adalah “takaful”. Yaitu membangun rasa tanggung jawab untuk saling menopang dan membela.
Pada tahap Kelima inilah misalnya saya tawarkan kepada komunitas Yahudi untuk saling menopang dan membela dari musuh yang sama; Islamophobia dan anti Semitisme. Permusuhan kepada Islam dan Yahudi di Amerika sesungguhnya sama-sama tinggi. Dengan menguatnya “White Supremacy” (orang putih radikal) ancaman kepada kedua Komunitas ini menjadi sangat terbuka.
Karenanya saya akhiri dengan mengatakan: “anti Semitism is not your fight alone. It is my fight too. And Islamophobia is not my fight alone. It is your fight too. An attack on any is an attack on all. And it’s enough for evil thrive when the good people say to do nothing”.
Semoga kita diberikan kekuatan untuk menghadirkan harmoni dan perdamaian di antara manusia. Amin!
(New York, 6 Oktober 2023)