Hisab-Rukyat dan Sidang Isbat di Mesir (Referensi untuk Indonesia)
Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Dalam praktiknya, otoritas penetapan awal-awal bulan hijriah di Mesir berada di
bawah sebuah lembaga bernama “Darul Ifta’ al-Mishriyyah”. Dalam hierarkinya lembaga ini
bersifat dan bertaraf yudikatif sehingga keputusannya bersifat mengikat serta wajib dipatuhi.
“Darul Ifta’ al-Mishriyyah” adalah lembaga keagamaan (Islam) resmi dan representaif di
Mesir yang menjadi rujukan masyarakat. Ciri yang melekat dari lembaga ini adalah
keislaman dan keulamaannya, dimana orang-orang yang ada di dalamnya adalah para ulama
yang dipilih berdasarkan keilmuan dan keulamaan.
Adapun metode penetapan awal-awal bulan hijriah di Mesir secara formal adalah
menggunakan rukyat, namun dalam praktiknya juga menggunakan hisab. Informasi tentang
hal ini dapat disimak dalam buku saku berjudul "Kitâb ash-Shiyâm" yang diterbitkan “Dar
al-Ifta’ al-Mishriyyah”. Praktik rukyat yang dilakukan Mesir adalah dengan membentuk dan
menetapkan tim yang akan bertugas di lapanngan. Tim dan lokasi rukyat itu ditetapkan secara
resmi oleh Darul Ifta’ al-Mishriyyah dan jumlahnya terbatas. Tim rukyat terdiri dari unsur
Observatorium Helwan, Universitas Al-Azhar, Universitas Cairo, Observatorium Qatamea,
dan beberapa unsur lainnya. Sementara itu lokasi rukyat juga tertentu di beberapa titik yang
telah diuji sebelumnya yaitu Helwan, Qatamea, Wahat, Sitta Oktober, Sallum, dan Qina.
Praktis, diluar tim dan lokasi ini tidak ada praktik yang berlaku dan diperbolehkan, dan ini
telah berjalan sejak lama.
Dalam praktiknya, tim yang tersebar di berbagai titik ini melakukan pengamatan dan
sekaligus menginformasikan hasilnya kepada pihak Darul Ifta’ al-Mishriyyah. Teknis
pelaporannya adalah dengan menggunakan alat komunikasi secara langsung (handphone dan
handy talky). Tidak ada prosedur berupa isian google form, berita acara pengamatan, tanda
tangan dan absensi, dan lainnya. Demikian lagi tidak ada prosedur sumpah oleh hakim di
lapangan bagi tim (perukyat) di lapangan. Dalam praktiknya, keputusan yang akan diambil
dan akan ditetapkan oleh Darul Ifta’ al-Mishriyyah sepenuhnya berdasarkan laporan dari tim
di lapangan. Persoalan atau potensi yang memungkinkan muncul (misalnya potensi
perbedaan dengan Arab Saudi) sepenuhnya diputuskan oleh pihak Darul Ifta’ al-Mishriyyah.
Adapun mekanisme pengumuman masuknya awal bulan Ramadan ditetapkan dalam
sebuah seremoni besar yang bernama “Hafl Ru’yah al-Hilal” yang dihadiri berbagai lapisan
masyarakat, termasuk mahasiswa asing. Unsur penting yang hadir dalam seremoni ini yaitu
Mufti Mesir dan jajaran selaku penyelenggara, mantan Mufti Mesir, Menteri Keadilan,
Menteri Agama, dan Gubernur Cairo. Adapun teknis dan tentatif pengumumannya amat cepat
dan singkat, yaitu setelah qari membacakan ayat al-Qur’an, Mufti langsung membacakan
pengumuman (maklumat) apakah awal Ramadan tiba atau istikmal, seremonipun selesai,
sesederhana dan sesingkat itu.
Patut dicatat, sebelum maupun sesudah seremoni “Hafl’ Ru’yah al-Hilal” sama sekali
tidak ada sidang, tidak ada pemaparan dan tanya-jawab, tidak ada sambutan berbagai pihak,
dan tidak ada konferensi pers. Apa yang telah dibacakan Mufti sudah cukup menjadi panduan
semua pihak.
Dalam kenyataannya, seremoni “Hafl’ Ru’yah al-Hilal” ini selain dalam rangka
menunggu pengumuman oleh Mufti, juga dalam rangka bergembira dengan akan datangnya
bulan mulia Ramadan. Patut dicatat pula, seremoni “Hafl’ Ru’yah al-Hilal” ini hanya ada di
bulan Ramadan, tidak ada di bulan Syawal dan Zulhijah. Untuk penetapan awal Syawal dan
awal Zulhijah Mufti hanya mengumumkan melalui televisi, radio, dan informasi di webiste
resmi Darul Ifta’ al-Mishriyyah. Dalam konteks ini “Hafl’ Ru’yah al-Hilal” tidak dapat
dinyatakan sebagai Sidang Isbat sebagaimana di Indonesia, yang ada hanya isbat dari Mufti.
Dalam kenyataannya kepatuhan masyarakat Mesir atas keputusan Darul Ifta’ al-
Mishriyyah sangat tinggi. Ada beberapa hal yang melatarinya, antara lain karena tingkat
wawasan keagamaan masyarakatnya yang sudah sangat baik, lalu ditopang posisi lembaga
Darul Ifta’ al-Mishriyyah yang kuat secara konstitusi dan dipercayai pula oleh
masyarakatnya, dan tak kalah pentingnya karena sosok Muftinya yang berwibawa dan
dipercaya karena keilmuan dan keulamaannya, bukan karena jabatannya. Di Mesir, jabatan
Mufti sangat berbeda dan lebih istimewa dari jabatan Menteri.
Di Indonesia, penetapan awal-awal bulan hijriah ditetapkan oleh Kementerian Agama
RI yang notabenenya merupakan lembaga politik. Menteri Agama dipilih oleh Presiden
(bukan oleh ulama) dan merupakan hak prerogatif Presiden. Selain pertimbangan keagamaan,
Menteri Agama dipilih berdasarkan pertimbangan politik, dan adakalanya juga atas
pertimbangan transaksional, yang dalam perjalanannya tak jarang Menteri Agama RI terjerat
kasus politik dan korupsi dan berujung masuk bui.
Dalam hierarkinya lagi, lembaga Kemenag RI berada dalam level eksekutif, bukan
yudikatif. Karena itu pula keputusannya dalam masalah penetapan awal bulan hijriah tidak
bisa diberlakukan mengikat, apalagi wajib. Karena itu pula Kemenag RI tidak bisa memaksa,
yang jika itu dilakukan maka bertentangan dengan demokrasi dan konstitusi, juga
bertentangan dengan moderasi beragama. Karena itu pula dalam konteks Hukum Tata Negara
di Indonesia Fatwa MUI Nomor 2 tahun 2004 M tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,
bahkan dapat dikatakan paradoks.
Memang, kasus di Indonesia dengan Mesir tidak bisa digeneralisir, namun jika
Indonesia ingin seperti Mesir yang keputusan penetapan awal bulannya dipatuhi masyaraat
maka harus ada satu lembaga khusus yang menangani masalah-masalah keagamaan (Islam)
yang tidak bercampur dengan politik, dan ia berada di level yudikatif. Berikutnya harus ada
pula sosok ulama yang berwibawa, yang dipercaya, dan yang diterima, seperti halnya di
Mesir. Sosok Menteri Agama yang adakalanya berasal dari partai politik, adakalanya terjerat
kasus korupsi dan pidana, adakalanya kerap mengeluarkan pernyataan kontroversial, sosok
semacam ini tidak bisa dijadikan panutan bagi umat.
Realita di Indonesia lagi ada banyak ormas dan komunitas yang dalam praktiknya
memiliki metode dan mekanisme, yang tidak menyerahkan keputusannya kepada Pemerintah.
Terlebih dalam aktivitas rukyat, semua masyarakat Muslim (terutama satu ormas tertentu)
berkeharusan melaksanakannya. Kenyataan lagi semua ormas dan komunitas kerap
mengeluarkan Maklumat dan Ikhbar atau yang sejenisnya. Praktik semacam ini jelas
merupakan bentuk ‘ketidakpercayaan’ umat kepada Negara. Jika Indonesia ingin seperti
Mesir maka kegiatan rukyat harus dibatasi di tempat tertentu dan hanya dilaksanakan oleh
orang-orang tertentu pula, dan berikutnya keputusan hanya ditetapkan oleh Negara, tanpa
Maklumat dan Ikhbar. Kenyataan di Indonesia setiap tahunnya dalam penetapan awal
Ramadan-Syawal kerap jatuh pada hari/tanggal berbeda-beda yang mencapai beberapa hari.
Awal Syawal 1444 H tahun ini saja ada 5 hari yang berbeda yaitu tanggal 20-24 April 2023
M. Faktanya ada banyak kelompok Muslim di tanah air terutama kalangan tarekat yang
berbeda dan atau tidak mengikuti keputusan Pemerintah. Kelompok-kelompok ini tidak
pernah diusik dan terkesan dibiarkan. Karena itu seharusnya semua pihak instropeksi, tidak
semata menyorot dan memelototi Muhammadiyah. Wallahu a’lam[]
Penulis, rwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU