Haji: kebersamaan, Persatuan dan Perdamaian Dunia
Oleh: Syahbana Daulay
Berhaji bukan sekedar rekreasi. Berhaji bukan berarti ikut-ikutan. Berhaji bukan untuk mendongkrak status sosial, prestise dan menyandang gelar haji. Berhaji adalah memenuhi panggilan Ilahi. Allah memanggil hamba-Nya lewat lisan Nabi Ibrahim as.:
وَأَذِّن فِى ٱلنَّاسِ بِٱلْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh”. (QS. Al-Hajj: 27)
Panggilan Allah kita sambut dengan melantunkan talbiyah:
لَبَّيْكَ ٱللَّٰهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ ٱلْحَمْدَ وَٱلنِّعْمَةَ لَكَ وَٱلْمُلْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ
Hamba-Mu datang menyahut panggilan-Mu ya Allah. Hamba-Mu datang menyahut panggilan-Mu. Hamba-Mu datang menyahut panggilan-Mu. Tuhan yang tiada sekutu bagi-Mu. Hamba-Mu datang menyahut panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan nikmat dan kerajaan adalah kepunyaan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu.
Seorang muslim akan terharu dan bahagia tak terhingga saat dapat memenuhi panggilan Tuhannya, setelah lama mendambakan, merindukan, berusaha, dan akhirnya terpenuhi juga, datang bertamu ke rumah Allah (Baitullah). Subhanallah, tak sedikit jamaah haji meneteskan air mata saat menginjakkan kakinya di tanah suci, apalagi saat melihat ka’bah yang sebelumnya hanya terlihat di gambar atau media lainnya. Ka’bah yang nun jauh di sana, yang selama ini jadi titik arah shalat dari seluruh penjuru dunia, hanya terbayang di benak, kini tampak jelas di depan mata, bahkan dapat menyentuh dan mengusap dengan penuh haru dan takjub sembari sadar akan keagunan Ilahi.
Selama pelaksanaan ibadah haji, selain magnet spiritual, jamaah juga merasakan kebersamaan, persatuan dan perdamaian pada setiap tahap ritual ibadah haji. Selama prosesi ibadah haji jamaah terdidik untuk mengaktualisasikan rasa bersama, bersatu, dan berdamai. Bahkan sejak bimbingan manasik haji, rasa ini sudah dibangun dan dibentuk untuk jadi bekal selama ibadah haji. Dibimbing bagaimana mematuhi ketua rombongan, berbagi tugas, menyepakati kebutuhan rombongan yang harus dibawa, menyetujui tanda pengenal kelompok, dan lain-lain.
Selama di tanah suci selalu dijaga bingkai kebersamaan agar tetap kompak dalam satu komando. Bila ada jamaah yang kehilangan maka rombongan akan bermufakat menemukan solusi. Jika ada jamaah yang sakit, akan dirawat dan dipenuhi kebutuhannya, walaupun ada petugas kesehatan yang bertanggung jawab. Kalau ada jamaah yang sudah berumur lansia yang terbatas kemapuan dan geraknya, maka jamaah yang lebih muda dengan ikhlas rela membantu selama prosesi ibadah haji tanpa pamrih.
Begitulah sebagian bentuk kebersamaan dan persaudaraan yang berjalan selama ibadah haji. Semua itu demi menjaga kebersamaan agar pelaksaan ibadah haji berjalan lancar dan tercapai harapan menjadi haji mabrur.
Islam dengan Semangat Kebersamaan dan Persatuan
Nilai kebersamaan itu memang sudah terbangun dalam semangat ajaran Islam bahwa orang mukmin adalah bersaudara,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Karena itu, damaikanlah kedua saudara kalian, dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapatkan rahmat.” (QS. Al-Hujurat Ayat 10)
Semangat Islam pun mengajarkan agar saling membantu sesama dalam kebaikan. Terkhusus selama prosesi haji, tampak bagaimana jamaah merawat kebersamaan sehingga tetap kompak. Untuk itu juga kenapa jamaah haji dilarang melakukan rafats, fusuq, dan jidal.
ٱلْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَٰتٌ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِى ٱلْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا۟ مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ ٱللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا۟ فَإِنَّ خَيْرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقْوَىٰ ۚ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. (QS. Al-Baqarah: 197)
Semangat ayat tersebut untuk membangun dan menjaga kebersamaan agar nilai spiritual ibadah haji dapat terinternalisasi dalam jiwa setiap jamaah.
Bila kebersamaan terbangun dan terpelihara, selanjutnya akan terkonstruksi persatuan. Bukan hanya persatuan dalam satu rombongan, tapi juga antar rombongan, bahkan lebih luas lagi antar suku bangsa dan negara asal.
Saat tawaf, sangat mungkin jamaah Indonesia bertemu dan jalan bersandingan dengan jamaah Jepang, Malaysia, Singapura, India, Belanda, Irak, Maroko, dan Negara lainnya. Dalam shaf shalat mereka duduk berdampingan, berbincang untuk saling mengenal sambil menunggu waktu shalat. Jamaah asal Mesir membantu jamaah dari Cina menunjukkan jalan saat mereka kehilangan arah pintu keluar atau jalan pulang ke hotel. Warga Mekkah dan Madinah kita saksikan dengan begitu intensif membagikan makanan dan minuman untuk saudaranya yang berhaji.
Begitulah tercipta kebersamaan dan persatuan tanpa membedakan suku dan bangsa yang tampak selama berada di tanah suci. Ini salah satu cara Allah agar di antara hamba-Nya tetap terbina kebersamaan dan persatuan. Allah mencintai persatuan, menyukai hamba-Nya yang merajut persaudaraan, tidak terpecah dan bercerai berai.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. al-Hujurat: 13)
Dalam al-Quran surat As-Shaff ayat 4 dijelaskan bagaimana Allah mencintai hamba-Nya yang membentuk barisan yang rapi saat menghadapi musuh, seolah-olah mereka adalah bangunan yang kokoh lagi kuat yang tidak dapat ditembus musuh.
Dalam hasdits riwayat al-Bukhari dan Muslim disebutkan:
اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya seperti satu bangunan yang tersusun rapi. Sebagiannya menguatkan sebagian yang lai
“Seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya seperti satu bangunan yang tersusun rapi. Sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.”
“Seorang mukmin dengan mukmin lainnya seperti satu bangunan yang tersusun rapi. Sebagiannya menguatkan sebagian yang lain”.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [QS. Al-Maa-idah: 2]
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran”. (QS. Al-Maidah: 2)
Setelah Rasulullah melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah, di antara kebijakan penting beliau adalah mempersaudarakan sahabat Anshar dengan Muhajirin.
Prinsip persaudaraan yang ditanamkan Rasulullah pada komunitas Islam di Madinah bukan sekadar slogan kosong yang diperbincangkan dari mulut ke mulut, melainkan dipraktikkan langsung dalam realita kehidupan kaum Muhajirin dan Anshar. Di Madinah awal mula terbangun persaudaraan, peradaban yang berkemajuan untuk kebangkitan Islam.
Ini indikator bahwa Rasulullah sangat serius dalam membangun persaudaraan dan persatuan sosial. Beliau tampil langsung sebagai teladan dalam mengaplikasikan tujuan mulia tersebut. Sejarah Islam menjadi bukti betapa pentingnya persatuan dan kerukunan baik di internal umat Islam maupun externalnya. Allah dan Rasul-Nya sangat membenci perpecahan dan permusuhan. Itulah kiranya mengapa Allah dan Rasul-Nya sangat menyukai umat Islam yang menghubungkan silaturahim dan membenci yang memutusnya.
Haji dan Perdamaian Dunia
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perdamaian adalah penghentian permusuhan atau persilisihan dan sebagainya. Perdamaian dunia diartikan sebagai gagasan perdamaian, kebebasan, dan kebahagiaan bagi seluruh negara. Perdamaian tidak akan terjuwud bila terjadi pertikaian, keributan dan perselisihan antar warga sampai ke antar bangsa.
Haji sebagai ritual ibadah yang memuat pesan perdamaian dengan berkumpulnya umat muslim dari seluruh dunia dalam satu tempat dan satu waktu untuk bersama-sama memenuhi panggilan Allah SWT tentu menjadi pesan krusial bagi dunia internasional tentang kebersamaan dan persatuan, berdamai dan beriringan sebagai manusia dan hamba Allah.
Ritual haji tidak membedakan suku, warna kulit, bangsa dan bahasa. Semangat haji mengikis sikap saling menyakiti, membedakan, mengunggulkan yang satu atas yang lain. Dalam kondisi ihram jamaah dilarang berburu binatang bahkan membunuh serangga, mencabut tanam-tanaman, berdebat berkelahi dan berprilaku buruk seperti berbohong, mencuri, memfitnah, dan sebagainya.
Jelas sekali betapa kegiatan ibadah haji dapat membentuk manusia yang cinta damai dan benci terhadap kekerasan yang tidak manusiawi.
Oleh karena itu, para jamaah haji, setelah kembali ke negaranya seyogyanya bisa menjadi Agent Of Peace bagi lingkungannya masing-masing. Mereka dapat mengejewantahkan nilai-nilai perdamaian dan persatuan demi mewujudkan dunia yang damai dan berkeadilan.
Dengan adanya perdamaian dunia, sebuah negara dapat berkembang dan memiliki persamaan hak asasi manusia, pendidikan, teknologi, dan kesehatan yang baik. Jika perdamaian dunia terwujud, setiap negara mampu melaksanakan tugasnya sendiri menjaga kestabilan ekonomi, politik, dan hubungan internasional yang baik, tanpa peperangan dan kekerasan.
Wallahu a’lam bish-shawab