Wawasan Manhaj Tarjih Muhammadiyah (bagian ke-5 habis)
Oleh : Dr. Sulidar, M.Ag
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara
Periode 2015-2020.
- Prosedur Tehnis (metode)
- Asumsi Metode
Metode adalah langkah-langkah prosedural dalam proses pemanfaatan sumber guna menemukan suatu petunjuk agama. Metode tarjih didasarkan kepada dua asumsi pokok, yaitu: (1) asumsi integralistik, dan (2) asumsi hirarkis.
- Asumsi integralistik mempostulasikan teori keabsahan koroboratif tentang norma, yakni suatu asumsi yang memandang adanya koroborasi dan saling mendukung di antara berbagai elemen sumber guna melahirkan suatu norma. Suatu norma yang didasarkan kepada satu elemen sumber tertentu sudah absah, hanya saja keabsahan itu bersifat zanni (probable). Namun kekuatan keabsahan tersebut akan meningkat manakala dapat dihadirkan lebih banyak elemen sumber yang saling menguatkan dan saling berkoroborasi untuk mendukung norma dimaksud, untuk pada suatu tingkat dalam kasus-kasus tertentu kekuatan keabsahan itu mencapai derajat qath’i. Ke-qath’ian tidak terdapat dalam dalil terpisah satu persatu, tetapi terdapat dalam koroborasi sejumlah dalil yang satu sama lain saling menguatkan dan menunjukkan satu pemaknaan yang sama. Sebagaimana dikatakan oleh asy-Syatibi, “Keseluruhan itu memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh bagian-bagian secara terpisah-pisah.”[1] Ke-qath’ian hukum wajibnya salat atau zakat serta puasa dicapai dengan cara integralistik ini. Cara pandangan integralistik itu mengharuskan proses operasionalisasi sum ber dapat dilakukan denah suatu metode induktif (istiqra’).
- Asumsi Hirarkis adalah suatu anggapan bahwa norma itu berjenjang dari norma yang paling bawah hingga norma paling atas. Apabila jenjang norma dilihat dari atas ke bawah, maka jenjang norma itu adalah prinsip-prinsip (nilai-nilai) dasar (al-qiyam al-asasiyyah), baik norma teologi maupun norma etik dan yuristik. Norma dasar ini diambil dari nilai-nilai universal Islam, seperti tauhid, akhlaq al-karimah, kemaslahatan, keadilan, persamaan, kebebasan, persaudaraan yang bersumber kepada Alquran dan as-Sunnah, atau dapat disimpulkan dari kenyata an hidup manusia di bawah sinar sumber-sumnber pokok-pokok tersebut. Norma daar ini memayungi norma di bawahnya yang berupa asas-asas (al-usul al-kulliyah) yang diambil dari kedua sumber pokok di atas atau di satu sisi merupakan abstraksi dari norma kongkret. Asas-sasas ini merupakan kongkretisasi dari nilai-nilai dasar. Lebih jauh asas-asas ini pada gilirannya memayungi norma paling bawah, yakni norma kongkret yang berupa ketentuan-ketentuan syar’i yang bersifat far’i (al-ahkam al-far’iyyah) yang langsung mengkualifikasi suatu peistiwa hukum syar’i. Struktur jenjang norma ini juga bisa dilihat dari bawah ke atas. Apabila dilihat dengan cara ini, maka norma dasar terletak pada bagian paling bawah yang berfungsi melandasi asas-asas. Asas-asas pada gilirannya melandasi norma-norma konkret yang merupakan norma paling atas yang berdiri di atas jenjang dua lapis norma lainnya yang lebih asasi.
Dengan asumsi dua asumsi metode di atas, maka respons terhadap permasalahan sosial atau kemanusiaan tidak selalu dilakukan dengan introduksi norma-norma kongkret (dilihat dari segi hukum taklifi seperti: halal, haram, wajib), tetapi juga di mana diperlukan, dilakukan dengan menggali asas-asas ajaran agama yang menjadi pedoman bertindak, bahkan juga melihat nilai-nilai dasarnya yang menyemangati aktivitas kehidupan. Penggunaan prosedur seperti ini dalam bertarjih telah banyak dilakukan dalam sejumlah keputusan tarjih seperti keputusan tentang Fikih Tata Kelola juga Fikih Air.
- Ragam Metode
Untuk menemukan norma-norma kongkret (al-ahkam al-far’iyyah) terdapat tiga ragam metode yang secara tidak langsung dipraktikkan dalam pengambilan keputusan atau fatwa tarjih. Ragam metode dimaksud adalah:
- Ragam metode bayani (metode interpretasi).
- Ragam metode kausasi, baik kausasi berdasarkan kausa efisien maupun berdasarkan kausa finalis (maqashid as-syari’ah),
- Metode sinkronisasi dalam hal terjadi ta’a rudh.
- Ragam metode bayani (metode interpretasi).
Ragam metode bayani (istilah ini tidak sama dengan istilah bayani dalam pendekatan, sebagaimana dalam uraian tentang pendekatan) adalah suatu metode interpretasi yang ditujukan untuk menjelaskan nas-nas yang sudah ada. Ragam ini digunakan untuk menangani kasus-kasus yang sudah terdapat nas langsung mengenainya, hanya saja nas itu bersifat masih kabur sehingga perlu diperjelas.
- Ragam metode kausasi digunakan untuk memecahkan masalah yang tidak terdapat nas langsung mengenainya. Prosesnya dilakukan dengan cara menggali kausa, baik efisien maupun finalis, yang dapat memberikan landasan bagi hukum kasus tersebut.
- Ragam metode sinkronisasi digunakan untuk menemukan ketentuan hukum bagi ka sus-kasus yang untuknya terdapat dalil-dalil yang saling bertentangan (ta’arudh dalil).
Selanjutnya, jika terjadi ta’arud, diselesaikan dengan urutan cara-cara sebagai berikut:
- Al-jam‘u wa at-taufiq, yakni sikap menerima semua dalil yang walaupun zahirnya ta‘arrud. Sedangkan pada dataran pelaksanaan diberi kebebasan untuk memilihnya (takhyir).
- At-tarjih, yakni memilih dalil yang lebih kuat untuk diamalkan dan meninggalkan dalil yang lemah.
- An-naskh, yakni mengamalkan dalil yang munculnya lebih akhir.
- At-tawaqquf, yakni menghentikan penelitian terhadap dalil yang dipakai dengan cara mencari dalil baru.
Adapun kaedah pentarjihan terhadap nas dilihat dari beberapa segi:
- Segi Sanad
- Kualitas maupun kuantitas
- Bentuk dan sifat periwayatan.
- Segi Matan
- Matan yang menggunakan sighat nahyu lebih rajih dari sighat amr.
- Matan yang menggunakan sighat khas lebih rajih dari sighat ‘am.
- Segi Materi Hukum.
- Segi Eksternal.
Perlu diingat bahwa ada beberapa kaidah terkait masalah Hadis, yang sudah di putuskan secara Munas Tarjih, yaitu sebagai berikut.
- الْمَوْقُوْفُ الْمُجَرَّدُ لاَيُحْتَجُّ بِهِ
Hadis mauquf murni tidak dapat dijadikan hujjah.
- الْمَوْقُوْفُ الَّذِي فِى حُكْمِ الْمَرْفُوْعِ يُحْتَجُّ بِهِ
Hadis mauquf yang termasuk ke dalam kategori marfu‘ dapat dijadikan hujjah.
- الْمَوْقُوْفُ يَكُوْنُ فِى حُكْمِ الْمَرْفُوْعِ إِذَا كآنَ فِيْهِ قَرِيْنَةٌ يُفْهَمُ مِنْهَا رَفْعُهُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَقَوْلِ أُمِّ عَطِيَّةِ: كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نُخْرِجَ فِى اْلعِيْدِ الْحُيَّضَ. (َالْحَدِيْثُ وَنَحْوَهُ).
Hadis mauquf termasuk kategori marfu‘ apabila terdapat karinah yang daripadanya dapat difahami kemarfu‘annya kepada Rasulullah saw, seperti pernyataan Ummu ‘Athiyyah: “Kita diperintahkan supaya mengajak keluar wanita-wanita yang sedang haid pada Hari Raya” dan seterusnya bunyi hadis itu, dan sebagainya.
- مُرْسَلُ التَّابِعِيِّ الْمُجَرَّدُ لاَيُحْتَجُّ بِهِ
Hadis mursal Tabi‘i murni tidak dapat dijadikan hujjah.
- مُرْسَلُ التَّابِعِيِّ يُحْتَجُّ بِهِ إِذَا كآنَتْ ثَمَّ قَرِيْنَةٌ تَدُلُّ عَلَى إتِّصَالِهِ.
Hadis mursal Tabi‘i dapat dijadikan hujjah apabila besertanya terdapat karinah yang menunjukkan kebersambungannya.
- مُرْسَلُ الصَّحَابِبِّى يُحْتَجُّ بِهِ إِذَا كآنَتْ ثَمَّ قَرِيْنَةٌ تَدُلُّ عَلَى إتِّصَالِه.
Hadis mursal Sahabi dapat dijadikan hujjah apabila padanya terdapat karinah yang menunjukkan kebersambungannya.
7-اْلأَحَادِيْثُ الضَّعِيفَةُ يَعْضَدُ بَعْضُهَا بَعْضًا لاَيُحْتَجُّ بِهَا إِلاَّ مَعَ كَثْرَةِ طُرُقِهَا وَفِيْهَا قَرِيْنَةٌ تَدُلُّ عَلَى ثبُوُتِ اَصْلِهَا وَلَمْ تُعَارِضِ الْقُرْآنَ وَالْحَدِيْثَ الصَّحِيْحَ.
Hadis-hadis da‘if yang satu sama lain saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah kecuali apabila banyak jalannya dan padanya terdapat karinah yang menunjukkan keotentikan asalnya serta tidak bertentangan dengan Alquran dan hadis sahih.
- الْجَرْحُ مُقَدَّمٌ عَلَى التَّعْدِيْلِ بَعْدَ الْبَيَانِ الشَّافِى الْمُعْتَبَرِ شَرْعًا.
Jarah (cela) didahulukan atas ta‘dil setelah adanya keterangan yang jelas dan sah secara syara‘.
- تُقْبَلُ مِمَّنِ اشْتَهَرَ باِلتَّدْلِيْسِ رِوَايَتِهِ إِذَا صَرَّحَ بِمَا ظَاهِرُهُ اْلإتِّصَالُ وَكَانَ تَدْلِيْسُهُ غَيْرَ قَادِجٍ فِى عَدَالَتِهِ.
Riwayat orang yang terkenal suka melakukan tadlis dapat diterima apabila ia menegaskan bahwa apa yang ia riwayatkan itu bersambung dan tadlisnya tidak sam pai merusak keadilannya.
- حَمْلُ الصَّحَابِىِّ اللَفْظَ الْمُشْتَرَكَ عَلَى أَحَدِ مَعْنَيَيْهِ وَاجِب الْقَبُوْلِ.
Penafsiran Sahabat terhadap lafal (pernyataan) musyta rak dengan salah satu maknanya wajib diterima.
- حَمْلُ الصَّحَابِىِّ الظَّاهِرَ عَلَى غَيْرِهِ الْعَمَلُ بِالظَّاهِرِ
Penafsiran Sahabat terhadap lafal (pernyataan) zahir dengan makna lain, maka yang diamalkan adalah makna zahir tersebut.
Kaidah Perubahan Hukum
Dalam fikih telah diterima asas kebolehan terja dinya perubahan hukum bahkan ini telah dirumuskan dalam kaidah fikih dan diterima oleh para ulama, yaitu kaidah:
لاَ يُنْكَرَ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ
Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman, tempat dan keadaan.[2]
` Menurut Syamsul Anwar (ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Periode 2015-2020), ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk suatu hukum dapat berubah yaitu:
- Adanya tuntutan kemaslahatan untuk berubah, berarti bahwa apabila tidak ada tuntutan dan keperluan untuk berubah, maka hukum tidak dapat diubah.
- Hukum itu tidak mengenai pokok ibadah mahdah, melainkan di luar ibadah mahdah, yang berarti ketentuan-ketentuan ibadah mahdah tidak dapat diubah karena pada dasarnya hukum ibadah itu bersifat tidak bebas makna.
- Hukum itu tidak bersifat qat’i, apabila hukum itu qat’i, maka tidak dapat diubah seperti ketentuan larangan makan riba, makan harta sesama dengan jalan batil, larangan membunuh, larangan berzina, wajibnya puasa Ramadan, wajibnya salat lima waktu, dan sebagainya.
- Perubahan baru dari hukum itu harus berlandaskan kepada suatu dalil syar’i juga, sehingga perubahan hukum itu tidak lain adalah perpindahan dari suatu dalil kepada dalil yang lain.[3]
Penutup
Muhammadiyah dalam faham agamanya, sesuai dengan manhaj tarjih, tidak berorientasi pada mazhab tertentu, baik dalam aqidah maupun fikih. Namun, Mu hammadiyah tidak anti mazhab, mazhab bagi Muhammadiyah menjadi bahan telaahan, bila dalil yang digunakannya rajih (berdasarkan Alquran dan as-Sunnah al-Maqbulah), maka Muhammadiyah mengambil dalil tersebut sebagai pegangan bukan mazhabnya. Bagi seluruh warga persyarikatan Muhammadiyah mesti memiliki komitmen sebagai seorang Muslim. Adapun komitmen seorang Muslim yaitu:
- Mengimani Islam.
- Menguasai ilmu tentang Islam.
- Mengamalkan Islam.
- Mendakwahkan Islam.
- Memperjuangkan Islam.
Dengan terealisasinya komitmen Islam tersebut, maka diharapkan dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya berdasarkan Alquran dan as-Sunnah al-Maqbulah. Wallahu a’lam bissawab. ( habis)
Bibliografi
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muham madiyah, Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 2002.
Berita Resmi Muhammadiyah,Nomor 06/2010-2015/Rama dhan 1435 H/Juli 2014 M.
Berita Resmi Muhammadiyah, Nomor 08/2010-2015/Sya wal 1436 H/Agustus 2015 M.
Berita Resmi Muhammadiyah, Nomor 03/2015-2020/Ra biul Akhir 1439 H/Januari 2018 M.
Haedar Nashir, Memahami Ideologi Muhammadiyah, Yog yakarta : Suara Muhammadiyah, 2015.
Imam Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, T.Tp: Maktabah Al Kulliyat Al Azhariyah: 1968M-1388H. 1/344.
Junus Salam,K.H.Ahmad Dahlan Amal dan Pejuangan nya, Banten: Al-Wasat Publishing House, 2009.
Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Kepu tusan Munas Tarjih ke XXV tahun 2000 di Jakarta.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, Yogyakarta : Suara Muham madiyah, Nopember 2011.
Majelis Tarjih dan Tajdid, Pimpinan Pusat Muhamma diyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadi yah 3,Yogyakarta:Suara Muhammadiyah,2018.
Syamsul Anwar, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Ma jelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muham madiyah 1439 H/2018 M.Yogyakarta, Rabiula khir 1439 H/ Januari 2018.
Syaikh Zakariya bin Ghulam Qadir Al Bakistani, Ushul Al Fiqh ‘Ala Manhaj Ahli Al Hadits, T.Tp : Darul Kharaz, cet. 1. 2002 M – 1423H.
[1] Asy-Syatibi, al-Muwafaqat, disunting oleh Abu ‘Ubaidah Masy hur Ibn Hasan as-Salman (al-Kubar: Dar Ibn ‘Affan li an-Nasyr wa at-Tau zi’, 1417 H/1997 M), I, h. 28, dan II, h. 82.
[2]Syamsul Anwar, Manhaj Tarjih Muhammadiyah,h.34. Lihat juga. As-Sadlan, al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Kubra (Riyad: Dar Balansiyyah li Nasy wa at-Tauzi’, 1417), h. 426.
[3]Syamsul Anwar, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, h. 35-36.