“Turats” Peradaban Islam
Kolom Dr. Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Dalam literatur bahasa (kamus, mu’jam, ensiklopedi, dll.) kata turats masuk dibawah akar kata “wa ri tsa”, akar kata tersebut merujuk pada makna “tetap” atau “tinggal”. Warisan disebut mirats karena harta tersebut tetap dengan berpindah kepada yang berhak meski pemiliknya telah tiada. Karena itu turats dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang ditinggalkan oleh pendahulu, baik bersifat materi maupun non materi. Al Qur’an menggunakan kata “waritsa” dalam pengertian tersebut ketika mengkisahkan peninggalan harta, kekuasaan, ilmu dan hikmah yang diterima Nabi Sulaiman dari sang ayah, Nabi Daud ‘alaihima as salam (QS.An-Naml: 16).
Turats dimaksud disini adalah produk pemikiran yang ditinggalkan oleh ulama terdahulu (qudama’) berupa lembaran-lembaran kertas (warq), kulit (raqq), papyrus (bardi) dll. yang menjadi literatur ilmiah dalam kajian islam, baik berbentuk mathbu’ (sudah dicetak dan beredar serta telah ditahqiq) maupun masih berbentuk makhthuth (belum dicetak serta belum ditahqiq). Turats mathbu’ adalah buku (turats) yang sudah dicetak dan beredar luas dikalangan pelajar serta telah mengalami identifikasi dan modifikasi (pentahqiqkan) seperti kitab ar Risalah karya monumental Imam as Syafi’I tahqiq Ahmad Muhammad Syakir.
Adapun turats makhthuth adalah lembaran-lembaran karya ulama terdahulu yang masih berupa tulisan tangan dari sang pengarang (makhthuth al mu’allif), belum ditahqiq dan belum pula beredar, masih tersimpan di museum-museum (muthif) pemerintah, Perpustakaan Universitas dan tempat-tempat khusus lainnya, belum teridentifikasi baik bahan isntrumen maupun kandungan nashnya, disebut dengan istilah manuskrip. Literasi Arabnya makhthuth (bentuk singular) dan makhthuthaat (bentuk plural) yang secara etimologi berarti naskah yang ditulis menggunakan tangan bukan dengan alat percetakan.
Satu realitas yang tak terbantah bahwa turats terbanyak di dunia adalah turats ummat Islam, begitu banyak turats ummat ini yang sudah di cetak (mathbu’) dan beredar luas dikalangan penuntut ilmu, sebut saja sebagai misal; kitab-kitab hadits yang enam (kutub as sittah) bahkan sembilan (kutub at tis’ah), kitab-kitab tafsir (kutub at tafasir), kitab-kitab fiqih (kutub al fiqh), dan lain-lain. Akan tetapi satu fakta pula bahwa turats berbentuk makhthuth (manuskrip) jauh lebih banyak jumlahnya hingga mencapai sekitar 3.000.000 (tiga juta) manuskrip (makhthuthaath) yang kesemuanya belum teridentifikasi.
Akan tetapi dari naskah-naskah tersebut yang memungkinkan untuk ditahqiq dan cetak hanya sekitar mencapai setengah (1.500.000) dari total manuskrip yang ada. Di Mesir jumlah makhthuth mencapai 125.000 makhthuth merupakan jumlah terbesar kedua di dunia setelah Turki yang mencapai 250.000 makhthuth, 60.000 diantaranya terdapat di perpustakaan Darul kutub al Mishriyah.
Semua itu merupakan warisan ulama terdahulu buat para penerusnya (penuntut ilmu/muhaqqiq). Dengan semangat dan kreatifitasnya yang stabil para ulama terdahulu (qudama’) telah menghasilkan karya-karya monumental sepanjang zaman, menjadi khazanah ummat Islam yang harus dilestarikan dan dimunculkan kepermukaan untuk menjawab persoalan-persoalan kontemporer yang muncul. Tidak sedikit persoalan kekinian dapat dicari solusinya dalam turats. Dr.Mukhlis M.Hanafi, MA. (peraih predikat Mumtaz ma’a martabah al ula dalam desertasi doktoralnya di Universitas Al Azhar-Kairo) menuturkan; “Turats ibarat riwayat kesehatan seseorang, bilamana ia sakit dapat digunakan untuk mendiagnosa penyakitnya sehingga dapat diberikan obat yang tepat.”
Dalam tatanan selanjutnya turats (baik yang mathbu’ maupun makhthuth) mencerminkan proses transformasi dari pendahulu kegenerasi sesudahnya, ia merupakan satu kesatuan identitas keilmuan islam. Dalam riset kajian-kajian keislamanpun turats merupakan sumber data primer yang mendukung data-data skunder. Merujuk keturats merupakan satu keharusan agar data dan fakta yang diperbincangkan otentik dan tepat sasaran. Karena itu sangat tepatlah statemen klasik yang menyatakan; “likulli ummah judzurun wa judzur hadhi al-ummah turatsuha” (Segala sesuatu punya akar, akar ummat ini (Islam) adalah turatsnya).
[] Penulis: Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU