Medan, InfoMu.co – Pemberian izin konsesi pengelolaan tambang oleh pemerintah kepada organisasi masa ( ormas ) seperti NU dan Muhammadiyah ramai menjadi perdebatan. Diskusi para pakar berbelah dua, antara setuju dan tidak. Nahdlatul Ulama (NU) sepertinya sudah meng-amini untuk menerima pemberian izin itu. Sementara Muhammadiyah masih wait and see, perlu melakukan kajian yang mendalam.
Berikut adalah pandangan mantan ketua umum PP Muhamamdiyah Din Syamsuddin yang kini menjadi Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pondok Labu terkait pemberian izin konsesi tambang itu.
1. Dengan husnuzon pemberian konsesi tambang batubara utk Ormas Keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah dapat dinilai positif sebagai bentuk perhatian pemerintah kepada mereka.
2. Namun, hal demikian sangat terlambat, dan motifnya terkesanuntuk mengambil hati. Maka, suuzon tak terhindarkan. Sebenarnya sewaktu diminta menjadi Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja sama Antar Agama dan Peradaban (yangg sempat ditolak dua kali), saya ada mempersyaratkan agar Presiden Joko Widodo menanggulangi ketakadilan ekonomi antara Kelompok Segelintiran yang menguasai aset nasional di atas 60% dan umat Islam yg terpuruk dalam bidang ekonomi. Tapi, Presiden menjawab bahwa hal itu tidak mudah. Saya katakan mudah seandainya ada kehendak politik (_political will_). Yang saya mintakan hanya pemerintah melakukan aksi keberpihakan (_affirmative actions_) dengan menciptakan keadilan ekonomi dan tidak hanya memberi konsesi kepada pihak tertentu. Juga, agar mau menaikkan derajat satu-dua pengusaha Muslim menjadi setara dengan taipan. Hal demikian perlu agar kesenjangan ekonomi yg berhimpit dengan agama dan etnik tidak menimbulkan bom waktu bagi Indonesia (itulah salah satu alasan mengapa saya mundur dari jabatan tsb).
3. Kini, tiba-tiba kehendak politik itu ada lewat Menteri Bahlil. Walau tidak ada kata terlambat, namun pemberian konsesi itu tidak dapat tidak mengandung masalah:
a. Pemberian konsesi tambang batubara kepada NU dan Muhammadiyah tetap tidak seimbang dengan jasa dan peran kedua Ormas Islam itu, dan tetap tidak seimbang dengan pemberian konsesi kepada perusahan-perusahaan yg dimiliki oleh Kelompok Segelintiran tadi. Luas diketahui satu perusahaan, seperti Sinarmas menguasai lahan (walau bukan semuanya batubara) seluas sekitar 5 juta hektar. Bahkan, Dunia Minerba Indonesia dikuasai oleh beberapa perusahaan saja. Sumber Daya Alam Indonesia sungguh “dijarah secara serakah” oleh segelintir orang yang patut diduga berkolusi dengan pejabat.
b. Pemberian tambang batubara dilakukan di tengah protes global terhadap energi fosil sebagai salah penyebab perubahan iklim dan pemanasan global (saya diminta mewakili Islam meletakkan petisi kepada Sekjen PBB agar pada 2050 tidak ada lagi energi fosil). Maka, besar kemungkinan yg akan diberikan kepada NU dan Muhammadiyah adalah sisa-sisa dari kekayaan negara (sila bandingkan dengan lahan yg dikuasai oleh para pengusaha).
c. Pemberian tambang “secara cuma-cuma” kepada NU dan Muhammadiyah potensial membawa jebakan. Menurut pakar, Sistem Tata Kelola Tambang dengan menggunakan sistem IUP dan Kontrak Karya adalah Sistem Zaman Kolonial berdasarkan UU Pertambangan Zaman Belanda (Indische Mijnwet) yg dilanggengkan dengan UU Minerba No.4/2009 dan UU Minerba No.3/2020. Sistem IUP ini tidak sesuai konstitusi tidak menjamin bhw Perolehan Negara/APBN harus lebih besar dari Keuntungsn Bersih Penambang. Selain sistem IUP ini selama bertahun-tahun terbukti disalah gunakan oleh Oknum Pejabat Negara yg diberi wewenang mulai dari Bupati, Gubernur, hingga Dirjen dlm mengeluarkan IUP untuk menjadikan Wewenang Pemberian IUP sebagai sumber korupsi. Jika Ormas Keagamaan masuk ke dalam lingkaran setan kemungkaran struktural tersebut maka siapa lagi yang diharapkan memberi solusi.
c. Pemberian konsesi tambang batubara kepada organisasi masyarakat dalam keadaan politik nasional yg kontroversial akibat Pemilu/Pilpres akan mudah dipahami sebagai upaya kooptasi, peredaman tuduhan ketakadilan, dan di baliknya akan memuluskan jalan penguasaan ekonomi oleh pihak tertentu dan kaum kleptokrat di pemerintahan. Harapannya, NU dan Muhammadiyah bungkam terhadap kemungkaran di depan mata.
4. Yang perlu dilakukan pemerintah adalah aksi afirmatif, yakni dengan menyilakan penguasaha besar maju, tapi rakyat kebanyakan diberdayakan (bukan diperdayakan).
5. Sebagai warga Muhammadiyah saya mengusulkan kepada PP Muhammadiyah untuk menolak tawaran Menteri Bahlil/Presiden Joko Widodo itu. Pemberian itu lebih banyak mudharat dari pada maslahatnya. Muhammadiyah harus menjadi penyelesai masalah bangsa (_problem maker_), bukan bagian dari masalah (_a part of the problem_).
Demikian pandangan tokoh Muhammadiyah M. Din Syamsuddin yang kini menjabat sebagai Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pondok Labu. (***)