Masjid “Amr bin ‘Ash”
Masjid Sahabat dan Masjid Pertama di Afrika
Catatan : Dr. Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, MA
Dosen FAI UMSU dan Kepala Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Masjid Amr bin Ash adalah masjid pertama dibangun di Mesir (bahkan di benua Afrika) dan memiliki nilai sejarah yang agung. Masjid ini terletak di kota Fusthat (yang saat ini disebut Cairo). Pilihan lokasi ini adalah karena posisinya yang strategis yaitu di pinggiran sungai Nil. Sungai Nil sendiri seperti diketahui adalah urat nadi kehidupan bangsa Mesir sejak dahulu sampai hari ini.
Masjid Amr bin ‘Ash dibangun pada tahun 21 H/642 M oleh sahabat Rasulullah Saw yang bernama Amr bin ‘Ash. Masjid ini diberi nama Amr bin ‘Ash sesuai nama sahabat yang membangunnya pertama kali. Seperti diketahui, masjid ini dibangun pertama kali tatkala sahabat Amr bin ‘Ash diutus oleh Khalifah Umar bin Khatab untuk menaklukkan Mesir. Sahabat Amr bin ‘Ash sendiri wafat pada tahun 43 H/663 M. Amr bin Ash adalah salah satu tokoh dari kalangan sahabat yang terkenal cerdik dalam taktik perang. Ia juga seorang pemberani, penunggang kuda yang mahir, dan negosiator ulung. Beliau juga dikenal sebagai orang yang memiliki kecerdasan luar biasa untuk keluar dari situasi yang sulit dengan tenang sekaligus menemukan solusinya.
Luas bangunan masjid ini saat dibangun pertama kali diperkirakan hanya sekitar 340 meter persegi atau sekitar 29 x 17 meter. Pada awalnya, masjid ini dibangun dengan material sangat sedehana yaitu dari bahan batu bata yang terbuat dari lumpur, dinding dan atapnya dari pohon kurma, sedangkan lantainya masih beralaskan tanah. Oleh karena kesederhanaan material bangunannya, masjid ini dalam perkembangannya sering terjadi kerusakan. Berikutnya, mihrab imam hanya ditandai dengan 4 tiang kayu. Sedangkan di era modern, setelah beberapa kali mengalami perbaikan, saat ini luasnya mencapai sekitar 11500 meter persegi. Namun hanya beberapa bagian saja dari arsitektur masjid ini saat ini yang bahan dan konstruksinya masih bertahan seperti bentuk aslinya.
Sejarah mencatat, pembangunan Masjid Amr bin ‘Ash dibantu oleh sejumlah orang sahabat utama seperti Zubair bin Awwam, Abu Darda’, Ubadah bin Shamit, Abu Bashrah, Mahmiyah bin Jaza’ az-Zubaidi, Nabih bin Shawab al-Bashrah, dan sahabat lainnya yang jumlahnya mencapai puluhan. Para sahabat yang membantu ini juga adalah yang menentukan arah kiblat masjid ini.
Dalam sejarahnya masjid ini pernah mengalami sejumlah renovasi sesuai kebutuhan dan keinginan khalifah atau raja yang berkuasa waktu itu. Beberapa renovasi itu antara lain pernah dilakukan di zaman Khalifah Utsman bin Affan, zaman Pemerintahan Umawiyah, zaman Pemerintahan Dinasti Abbasiyah, dan seterusnya. Sedangkan di Mesir, renovasi pernah dilakukan tahun 673 M masa Musallamah al-Anshari, Gubernur Mesir pada zaman Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Berikutnya di era Fatimiyah, dimana menara masjid ditambah menjadi lima buah, salah satunya diletakkan di pintu masuk masjid. Pada tahun 1169 M, kota Fustat (Cairo), termasuk masjid ini, dibakar oleh seorang menteri bernama Shawar untuk menghindari penyerangan oleh pasukan Salib. Namun setelah Shalahuddin al Ayyubi mengambil alih kekuasaan, tahun 1179 M masjid ini dibangun kembali .
Adapun konstruksi modern masjid ini saat ini terdiri dari dua menara lancip berikut di dalamnya terdapat sejumlah desain dan dekorasi nan indah lagi menarik yang dibangun pada masa kekuasaan Murad Bey (1750-1801). Sebelum kedatangan pasukan Perancis dibawah pimpinan Napoleon, Sultan Murad Bay membongkar total lalu merenovasi masjid ini karena bangunannya yang sudah rapuh. Berikutnya tahun 1875 masjid direnovasi ulang. Dan terakhir tahun 1980 masjid mengalami rekonstruksi pada bagian pintu masuk. Pada bagian utara masjid ini terdapat sebuah makam yang menyatu dengan dinding masjid yaitu makam Abdullah bin Amr bin ‘Ash, yaitu putera ‘Amr bin ‘Ash.
Dalam sejarahnya, masjid ini memiliki banyak nama dan gelar yang mana hal ini menunjukkan keagungan dan keistimewaan masjid ini. Adapaun beberapa nama yang disematkan kepada masjid ini antara lain: “al-Jami’ al-‘Atiq” (Masjid yang Unik), “Jami’ Mishr” (Masjid Mesir), “Masjid Ahl ar-Rayah” (Masjid Ahli Surga), “Masjid Fath” (Masjid Pembuka), “Taj al Jawami’” (Mahkota Masjid), “Mathla’ al Anwar al Lawami’” (Sumber Sinar nan Terang), dan lain-lain.
Sampai hari ini, masjid Amr bin ‘Ash ramai dikunjungi oleh umat Muslim (bahkan para turis mancanegara) khususnya pada hari Jum’at dan hari-hari besar keagamaan Islam lainnya. Para wisatawan Muslim yang datang ke Mesir agaknya tidak pernah melewatkan kunjungan ke masjid ini betapapun hanya sekedar melihat-lihat, berfoto, ataupun sekedar shalat sunnah dua rakaat.
Bagi pelajar asing di Mesir (khususnya mahasiswa Indonesia yang mayoritas belajar di Universitas Al-Azhar), masjid Amr bin ‘Ash merupakan masjid yang teramat istimewa. Pada saat bulan Ramadhan tiba, masjid ini penuh dengan jamaah shalat tarawih dan jamaah iktikaf. Para mahasiswa Indonesia berduyun-duyun datang ke masjid ini untuk beribadah.
Puncak keramaian dan kemeriahan ibadah di masjid ini adalah tatkala di malam dua puluh tujuh Ramadhan. Seperti dikethaui, pada malam 27 Ramadhan merupakan salah satu malam istimewa dalam bulan Ramadhan yang diduga pada malam ini akan datang lailatul kadar yaitu malam lebih baik dari seribu bulan. Nah, pada malam 27 ini, setiap tahunnya Syaikh Muhammad Jibril, seorang qari` yang dikenal memiliki suara merdu, menjadi imam shalat Isya dan tarawih di masjid ini. Syaikh Jibril rutin menjadi imam shalat tarawih di masjid ini sejak tahun 1988. Selain keutamaan masjid, keberadaan Syaikh Jibril ini menjadi dayak tarik para jamaah yang datang.
Masjid Amr bin ‘Ash secara resmi digunakan dengan ditandai dengan melaksanakan shalat Jum’at pertama pada tanggal 6 Muharram 21 H/17 Desember 642 M. Masjid ini merupakan masjid pertama di Mesir dan Benua Afrika dan sekaligus menjadi masjid keempat di dunia setelah Masjid Nabawi, Masjid Bashrah, dan Masjid Kufah. Dalam konteks ruh dan ritualitas Islam, Masjid Amr bin ‘Ash bukan semata masjid untuk melaksanakan shalat atau ibadah lainnya, namun ia menjadi simbol ketaatan umat terhadap Allah dan Rasul-Nya.[]