MENAKAR PANDEMI, MENAJA EKONOMI
Oleh Umar Zein
(Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara)
Hingga tulisan ini dibuat, kondisi pandemi covid 19 di Indonesia masih belum ada tanda-tanda penurunan jumlah kasus.
Pandemi Covid 19 yang melanda dunia, termasuk Indonesia, laksana kita di tengah badai di lautan dalam sebuah kapal. Badai itu tidak dapat kita hentikan, namun kita harus mampu bertahan sampai badai itu berhenti pada waktunya. Kapal kita harus kokoh dan kuat, nakhoda harus sigap dan cermat membaca laut dan membuat keputusan, para kelasi harus patuh pada perintah dan trampil sehingga penumpang boleh takut, tapi tidak panik dan mengambil tindakan sendiri-sendiri yang mungkin berakibat fatal bagi dirinya dan bagi keselamatan penumpang lainnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan tidak ada cara cepat untuk melawan virus corona COVID-19. Tapi, Indonesia berani membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid 19. Director for Europe WHO, Dr Hans Henri P. Kluge, menyatakan bahwa negara-negara di Eropa telah memasuki periode menyesuaikan langkah dengan cepat dan meredakan pembatasan secara bertahap. Negara-negara itu terus-menerus memantau keefektifan tindakan dan respons publik. Pada akhirnya, perilaku kita akan menentukan perilaku virus, bukan sebaliknya. Dibutuhkan ketekunan dan kesabaran, karena tidak ada jalur cepat untuk kembali normal.
WHO dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia berpeluang sangat besar menjadi negara dengan pusat wabah baru di dunia atau dengan angka jumlah penularan covid-19 tertinggi. Hal ini ditegaskan Direktur Jenderal WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus. Ia juga menyatakan, salah satu kunci untuk menjaga keamanan pasien adalah dengan menjaga keamanan tenaga kesehatan (18-09-2020).
James Massola, koresponden Asia Tenggara yang berbasis di Jakarta menulis di media Australia, The Sydney Morning Herald (SHM) 19 Juni 2020, mengeritik langkah Indonesia yang dinilai longgar dalam menangani pandemi Covid-19. The world’s next coronavirus hotspot is emerging next door, demikian judul artikel tersebut dengan ilustrasi kuburan massal di Jakarta. Kalimat awal artikel itu: “Most south-east Asian countries have successfully flattened their coronavirus infection rates, but Indonesia is losing its battle with COVID-19.” Selanjutnya disebutkan: Tetangga raksasa di utara Australia sekarang berada di tepi jurang terjal, dengan pemerintah nasional hanya menunjukkan sedikit tanda-tanda bersedia mengambil keputusan sulit yang diperlukan untuk menekan tingkat infeksi yang berkembang pesat. Sementara perhatian dunia terfokus pada Amerika Serikat, India, Rusia dan Brasil, yang mencatat tingkat infeksi harian dalam puluhan ribu, Indonesia saat ini bagai terbang di atas radar.
Hasil survei yang dilakukan lembaga survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) yang diketuai oleh Kunto Adi Wibowo, bahwa mayoritas publik (75,5%) ingin pemerintah segera merampungkan masalah pandemi agar penyelesaian mengutamakan sisi kesehatan dibanding ekonomi. Survei mereka dilakukan dengan mewawancarai 1.200 responden yang tersebar di 34 Provinsi di Indonesia pada 18 Agustus hingga 6 September.
Update terakhir angka Covid-19 jumlah kasus konfirmasi positip sudah lebih dari 220 ribu dan 8.544 meninggal.
Covid-19 berdampak sistemik dari sisi kesehatan dan perekonomian. Ketika miliaran orang di seluruh dunia menghabiskan hampir dari seluruh waktunya di rumah, maka roda ekonomi pun melambat. Kita pun dipaksa untuk memiliki kebiasaan baru; yang dulunya menggunakan handphone hanya untuk berkomunikasi, kini mulai fasih berbelanja online. Jika sebelumnya menggunakan laptop hanya untuk membuka aplikasi perkantoran, kini mulai lancar menuntun anak belajar kelas daring dan konferensi video. Bahkan dalam hal transaksi yang sebelumnya menggunakan uang tunai, kini lazim memanfaatkan dompet elektronik. Covid-19 berhasil membuat mengubah gaptek jadi fasih berdigital, mengurung diri secara sukarela menjadi traveler dengan berselancar di dunia maya. Kebiasaan-kebiasaan baru ini disebut new normal, yaitu kebiasaan tidak biasa, kemudian diadaptasi atau dibudayakan menjadi kenormalan baru. Berbagai pemikiran dan prediksi new normal baru fase 2 akan datang setelah new normal fase 1. Pandemi akan mereda bila manusia menjadikan Protokol Kesehatan sebagai budaya, bukan keharusan, apalagi keterpaksaan. Kebiasaan baru menjadi budaya baru, dan tentu saja beriringan dengan etos kerja dan harapan baru.
WHO, sebagai induk organisasi kesehatan dunia mengingatkan, setiap negara yang hendak melakukan transisi, pelonggaran pembatasan, dengan tujuan mencapai budaya baru kesehatan, harus memerhatikan dan melaksanakan hal-hal berikut ini:
1. Bukti yang menunjukkan bahwa transmisi COVID-19 dapat dikendalikan, yaitu grafik penemuan kasus baru sudah menunjukkan penurunan, dengan Angka Reproduktif penyebaran kasus lebih kecil atau sama dengan 1, yang artinya, satu kasus hanya menularkan kepada satu orang sehat.
2. Kapasitas sistem kesehatan masyarakat termasuk rumah sakit tersedia untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak, dan mengkarantina. Ini artinya kesiapan sumberdaya kesehatan yang optimal dari segi preventif, promotif dan kuratif.
3. Risiko terinfeksi virus corona diminimalkan pada komunitas kerentanan tinggi, terutama di panti jompo, fasilitas kesehatan mental, dan orang-orang yang tinggal di tempat-tempat ramai.
4. Langkah-langkah pencegahan di tempat kerja ditetapkan – dengan jarak fisik, fasilitas mencuci tangan, dan kebersihan udara pernapasan.
5. Risiko kasus impor dapat dikelola. Artinya, jangan ada kasus baru yang masuk dari luar daerah. Kembali berkaitan dengan PSBB.
6. Masyarakat memiliki hak suara dan dilibatkan dalam kehidupan menuju budaya baru.
Kalau di Indonesia tentunya pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) harus menyeluruh dan efektif dengan mendahulukan menakar pandemi dari sisi Kesehatan baru diikuti menaja ekonomi.
Bila negara tidak dapat memastikan kriteria tersebut dapat terlaksana dengan baik sebelum mengurangi batasan, maka sebaiknya pikirkan kembali sebelum membuat keputusan yang sangat penting dan genting ini. Covid-19 tidak mungkin diajak berdamai. Perilaku virus tidak dapat kita ubah, perilaku manusia Indonesia yang harus diubah. Manusia memiliki kemampuan untuk menghambat perkembangan dan penyebaran virus Corona, Virus Corona juga memiliki kemampuan yang tangguh untuk membanjiri sistem kesehatan negara terkuat sekalipun di dunia dengan cepat.
Jika negara tidak memiliki kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah untuk merespon serentak dan menyeluruh, jika tenaga kesehatan tidak dilatih, dilengkapi dan dilindungi, jika warga negara tidak diberi informasi yang cepat, benar dan kontinu berbasis bukti, jika informasi non ilmiah masih dipercaya, jika jumlah tenaga kesehatan semakin tergerus, maka badai pandemi akan menyapu komunitas manusia sebagai inang virus. Bahtera Sistem Kesehatan porak poranda dan berdampak ke sistim lainnya dalam suatu negara, utamanya sistem ekonomi, sosial dan ketahanan pangan. Pemerintah harus mendengar dan mempertimbangkan masukan dari masyarakat sesuai dengan kompetensinya.
Penulis, Dokter, Dosen FK-UISI, Pegiat Budaya Sumatera Utara