Spirit Al-Maun KH Ahmad Dahlan
Oleh: Tengku Adnan Yahya
KH Ahmad Dahlan merupakan satu ulama besar dan berpengaruh di Nusantara kelahiran tahun 1870 M. Persyarikatan Muhammadiyah merupakan organisasi keagamaan rintisannya yang lahir masa penjajahan pada tahun 1912. Ia bersahabat dekat dengan KH Hasyim Asy’ari kelahiran tahun 1871 M, pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama, sejak mengaji di Pulau Jawa pada KH Saleh Darat seorang ulama terkemuka di Pulau Jawa saat itu hingga belajar ke Makkah. Disana kedua ulama nusantara ini juga memiliki guru serupa diantaranya Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan Syaikh Abu Bakar Syatta (pengarah kitab I’anatuth Thalibin). Di sisi lain, Dahlan juga fokus mengkaji gerakan pembaharuan Islam pada ulama terkemuka, semisal Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Ragam kiprah ulama asal Kauman Yogyakarta itu wujud dari spirit pemaknaan terhadap Alquran surah al-ma’un. Yakni satu surah yang mengusung urgensi pemberdayaan kaum lemah dan marginal. Dalam perkembangannya dikenal teori pembebasan (liberation theology). Konon, surah ini berkali-kali dibacakan dan diceramahkan dihadapan para santrinya. Hingga Syuja’, seorang santri kritisnya, mengungkapkan rasa jengkel dan kesal kepada gurunya itu, sebab pengajian hanya berkutat pada surah yang sama. Rupanya, Dahlan tidak ingin surah itu hanya dibaca, dikaji dan dihapal semata tanpa pengamalan. Maka para santrinya dikerahkan untuk menelusuri dan berfilantropi kepada kaum lemah dan marginal (semisal gelandangan dan pengemis) di seputar Kauman.
Spirit inilah yang menginisiasi lahirnya ragam amal sosial di Muhammadiyah semisal Panti Asuhan dan Jompo, klinik kesehatan dan lembaga zakat. Kiprah Muhammadiyah dibawah kepemimpinan Dahlan fokus pada bidang healing (kesehatan), schooling (pendidikan) dan feeding (sosial) sejak 1912 hingga 1923. Kiprahnya mendapatkan penghargaan dari negara berupa ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Hingga kini, perkembangan amal sosial itu berkembang pesat di seluruh pelosok tanah air tanpa kecuali Aceh. Secara historis organisasi besutan Dahlan telah merambah ke Aceh sejak tahun 1923 yang dibawa oleh Djajasoekarta. Maka hingga kini kiprah Muhammadiyah di Aceh tidak bisa dipandang sebelah mata. Berapa banyak generasi Aceh yang sedang dan telah dididik dan bekerja di lembaga amal sosial Muhammadiyah sehingga mereka dapat berkiprah di masyarakat? Sebuah pertanyaan reflektif untuk pembaca.
Filantropi qurani
Al-Ma’un merupakan surah ke 107 berdasarkan urutan surah dalam mushaf Alquran (tartibul mushaf) berjumlah 7 ayat. Surah ini digolongkan ke dalam surah Makkiyah, meski ada pendapat yang menyatakan sebagai surah Madaniyah, disebabkan konten di dalamnnya menyinggung kaum munafik (hipokrit). Pokok ajaran dalam surah ini mengenai pendusta agama. Dalam surah ini digambarkan bahwa pendusta agama ialah orang-orang yang enggan berfilantropi, yakni orang yang menghardik (yadu’u) anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan (yahudz-dzu – tha’am) orang miskin (Qs. Al-Ma’un: 2-3). Spirit ayat ini adalah ajakan untuk setiap orang baik personal maupun kolektif, agar dapat memberdayakan dan memihak kepada anak yatim, fakir miskin, kaum lemah dan marginal (mustad’afin).
Konklusi itu dapat dipahami dari tiga kata (mufradat) yang disebut dalam surah ini yakni: yadu’u, yahudz-zu, dan tha’am. Ketiga kata ini menarik dikaji secara holistik dalam konteks giat filantropi qurani. Jika menilik secara leksikal, kata yadu’u dalam surah ini bermakna mendorong dengan keras. Kata ini tidak hanya bermakna mendorong secara fisik, tapi juga psikis, semisal menganiaya, mencela, tidak senang dan tidak peduli (Shihab, 2002: 645). Kata yahudz-zu dalam surah ini bermakna mengajak, menganjurkan dan menggalakkan. Sebagai indikasi bahwa filantropi bukan hanya diperintahkan secara personal, tapi juga kolektif. Kedua kata itu diungkap dalam bentuk mudharik, bermakna mutakarrir (berulang-ulang). Sebagai indikasi bahwa filantropi harus dilakukan secara kontinu dan berkesinambungan.
Selain itu, Quraish Shihab mengurai bahwa penyebutan kata tha’am bukan ith’am dalam ayat tersebut, sebagai indikasi kepada para dermawan agar tidak menganggap telah memberi makan kepada orang yang butuh, tapi pemberian itu memang hak milik orang yang butuh itu. Hal ini menunjukkan bahwa giat filantropi bukan hanya sekadar suatu tindakan yang berpihak kepada kaum lemah, tapi suatu tindakan untuk memenuhi dan menunaikan hak-hak kaum lemah dan marginal. Hamim Ilyas dalam ‘Fikih Al-Ma’un’ menyebutkan bahwa empat prinsip berkhidmat kepada yatim dan miskin (penyandang masalah kesejahteraan) yakni, memuliakan (ikram), keberpihakan, memperlakukan dengan adil, dan kebaikan yang nyata (ihsan).
Maka berkhidmat kepada yatim dan miskin bukan hanya menyantuni secara fisik dan jasmani (biologis) semata, tapi juga psikologis dan spiritual (rohani). Hal ini menunjukkan bahwa filantropi meliputi berbagai aspek kehidupan, baik ekonomi, kesehatan, pendidikan, psikologis, politik, sosial budaya maupun agama.
Sebab itu, model pengkhidmatan kepada yatim dan miskin ini harus dilakukan oleh siapa saja agar tidak tergolong sebagai pendusta agama. Dahlan merupakan pribadi yang khawatir akan bahaya berita-berita besar (an-naba’ al-adhim) yang akan menimpa manusia di dunia dan akhirat, diantaranya labeling pendusta agama jika abai terhadap kaum lemah dan marginal.
Mendesak
Dalam konteks keacehan, gerakan filantropi mendesak untuk dilakukan secara massif dan intensif, baik secara personal maupun kolektif, semisal Pemerintah, Ormas, LSM, dan komunitas sosial. Sebab, kemiskinan di Aceh masih berada pada peringkat keenam di Indonesia dan pertama di Sumatera, pertumbuhan ekonomi Aceh masih berada di bawah rata-rata nasional dan bergantung pada APBA dan APBK, 25 persen penduduk Aceh mengalami keluhan kesehatan, 19, 22 persen rumah tangga di Aceh tidak punya sanitasi yang layak. Ini indikasi bahwa Aceh memerlukan gerakan filantropi yang terintegrasi, agar penyandang masalah kesejahteraan dapat ditangani secara optimal, bukan hanya menangani kasus-kasus yang viral di media sosial semata.
Sebab itu, surah Al-Ma’un bukan sekadar bacaan dan bahan kajian semata. Tapi pesan-pesan filantropi didalamnya juga harus dibumikan agar tidak dicap sebagai pendusta agama. Dahlan telah melakukan upaya pemaknaan terhadap teks-teks agama (nash quran) secara holistik dan membumi, khususnya surah al-ma’un, sehingga lahir ide dan tindakan besar dalam mengubah wajah Indonesia menjadi lebih berpihak dan peka kepada sesama.
Spirit Dahlan urgen untuk diketahui dan dilanjutkan oleh para pengikutnya dan setiap manusia yang mengakui beragama. Sehingga teks-teks agama bukan hanya untuk kepentingan retorika, tapi juga aksi nyata (man of action/ manusia amal). Berpihak kepada kaum lemah dan marginal bukan hanya naluri manusiawi dan amanat konstitusi, tapi juga perintah Tuhan dalam kitab suci. Jika dilakukan maka akan dicintai oleh penduduk langit dan penduduk bumi. Semoga!