Klepon : Antara Pembingkaian Pesan, dan Literasi Media
Oleh : Safrin Octora
KLEPON atau nama lain ada yang menyebunya kue malaka ataupun onde-onde, belakangan ini menjadi viral di media sosial. Kudapan yang berbentuk bulat dengan gula merah di dalam dan ditaburi dengan kelapa parut di luarnya, tiba-tiba menimbulkan banyak komentar para netizen. Ranah media sosial Twitter menjadi “war zone arena”. Ada yang pro, namun tidak sedikit yang kontra. Di antara komentar yang pro dan kontra, itu saya melihat banyak yang tidak rasional lagi. Bahkan dalam pandangan saya komentar komentar komentar dari kelompok yang pro dan kontra tentang klepon menunjukkan ketidak-fahaman kedua belah fihak terhadap pesan-pesan komunikasi dan meta komunikasi yang terdapat pada postingan kue klepon tersebut.
Postingan yang saya lihat pertama kali di Twitter dibuat oleh seseorang bernama Abu Ikhwan Aziz. Pada postingan tersebut ada gambar beberapa kue Klepon di dalam sebuah wadah dan dibawahnya ada tulisan menyatakan “KUE KLEPON TIDAK ISLAMI: Yuk tinggalkan jajanan yang tidak islami dengan dengan cara membeli jajanan islami, aneka kurma yang tersedia di toko syariah kami”.
Dari sudut komunikasi sepertinya postingan itu bertujuan untuk memasarkan kurma yang dijualnya. Ternyata tidak. Kalau kita perhatian baik- baik tidak ada nama dan alamat toko tempat menjual kurma yang dapat memudahkan konsumen untuk membeli, melainkan dia menawarkan untuk membeli di toko-toko syariah yang ada. Sehingga pesan komunikasi untuk menjual kurma dari toko Abu Ikhwan Azis tidak terpenuhi.
Dalam sejarah kuliner Indonesia, siapapun tahu klepon, kue malaka ataupun onde-onde adalah makanan yang sejak dahulu kala ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan dalam agama Islam tidak ada larangan untuk memakannya. Tidak ada kandungan yang terdapat pada kue klepon yang berasal dari unsur-unsur yang dilarang oleh Alquran dan hadist sehingga ummat Islam perlu menolak untuk mengkonsumsinya.
Selain itu agama Islam tidak pernah menggunakan kata Islami untuk menyebutkan sebuah makanan. Kata kata yang biasa dipakai adalah halalan thayiban. Halalan atau halal ialah suatu kondisi dimana makanan itu tidak mengandung unsur-unsur yang dilarang dalam Islam sesuai dengan pandangan Al-Quran dan hadist. Sementara thayyiban berarti makanan itu dibuat dari unsur-unsur yang baik sehingga dapat menyehatkan orang yang mengkonsumsi dan enak dimakan. Sehingga ketika ada yang membuat postingan bahwa “klepon itu tidak Islami”, muncul pertanyaan dalam diri kita, apa maksud dari postingan tersebut.
Artinya, kita harus bisa melihat postingan “klepon tidak Islami” tersebut dari sudut meta komunikasi. Meta komunikasi adalah kajian ilmu komunikasi yang melihat pesan-pesan yang tersirat dari sebuah aktivitas komunikasi. Dengan demikian dari sudut meta komunikasi, postingan tersebut sepertinya memiliki tujuan tertentu. Insinuasi atau menghasut, adalah kata yang tepat untuk postingan “klepon yang tidak islami ini”.
Insinuasi dalam kajian komunikasi dapat juga dimasukkan ke dalam teori framing (pembingkaian). Teori framing yang diperkenal oleh Erving Goffman tahun 1974 dan dikembangkan oleh Robert N Ettmann, pada awalnya adalah kajian tentang prilaku media yang membuat berita atas sebuah peristiwa, orang ataupun lembaga yang dibuat sedemikian rupa sehingga realitas peristiwa, orang ataupun lembaga itu berbeda dengan kenyataan yang ada. Melalui pemberitaan ataupun ulasan, media bisa membuat seorang memiliki citra yang positif, atau sebaliknya. Sehingga kajian analisis pembingkaian ini bila mengandung unsur positif, dalam bahasa awam disebut dengan pencitraan.
Kajian-kajian awal komunikasi tentang pembingkaian pesan ini selalu dikaitkan dengan peran media massa arus utama (mainstreaming). Namun pada media arus utama pembingkaian pesan, umumnya lebih elegan, smooth dan beradab. Ini disebabkan media arus utama itu hadir dengan aturan-aturan yang berlaku, dikenal penerbitnya dan diawasi oleh banyak pihak. Sehingga pembingkaian bersifat isinuasi selalu dihindari.
Namun tidak pada media sosial. Pembingkaian ataupun framing adalah bagian dari dinamika pesan media sosial. Setiap orang bisa membuat pesan apa saja. Bahkan yang menghasut dan memecah belah sekalipun Sehingga pembingkaian pesan bersifat insinuasi, tidak jarang menjadi bagian dari media sosial saat ini. Ini juga disebabkan juga karena sifat media sosial yang tidak memiliki aspek pengawasan dalam memilih media yang pantas ataupun tidak. Dengan kata lain, sebuah postingan yang dikirimkan ke sebuah platform media sosial, pada saat yang brsamaan bisa hadir dan dapat dibaca oleh banyak orang.
Meskipun demikian, tidak jarang pembingkaian yang bersifat menghasut dan memecah belah kehidupan anak bangsa, luput dari jerat hukum. Lihat saja kasus “Klepon Tidak Islami” itu, sampai saat ini kita tidak mendengar dampak hukum yang diberikan kepada pembuat postingan. Ini bisa jadi karena pembuat postingan menghilang begitu postingannya tersebar dan mengganti dengan nomor baru. Atau mungkin saja tidak ada kemauan dari aparat berwenang untuk mengatasi dengan segera.
Akibatnya postingan postingan yang memiliki unsur framing dan menghasut, terus saja bermunculan. Mau tidak mau, energi anak bangsa banyak tersedot pada hal remeh temeh seperti ini. Satu kelompok pro pada satu postingan. Sementara kelompok lain kontra. Itu berlangsung hampir setiap hari, dengan aneka postingan yang berbeda namun memiliki nuansa yang sama.
Kondisi ini jelas tidak sehat untuk perkembangan sebuah bangsa dan kepribadian orang yang ada di negara tersebut. Bila hal ini berlangsung terus, pada akhirnya dapat mempengaruhi struktur dan interaksi di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Untuk mengatasi hal tersebut, sudah seharusnya kita sebagai warga negara Indonesia memiliki keterampilan literasi media. Dikenalkan oleh Unesco pada tahun 1964, literasi media adalah keterampilan yang dimiliki oleh seorang dalam memilih dan memilah media dan pesan yang ada pada media massa. Adanya keterampilan literasi media, membuat setiap manusia Indonesia bisa dengan segera memahami pesan pesan yang mengandung unsur pembingkaian yang bernada menghasut ataupun tidak. Biarkan postingan-postingan yang menghasut mewarnai media, namun kita tidak terpengaruh untuk ikut di dalamnya.
Jadi, lebih baik kita menikmati secangkir kopi dengan kudapan klepon yang lezat, sambil belajar memahami media dan pesan yang ada, lalu memilih dan memilah media yang pas untuk kita ikuti. Dengan demikian pada akhirnya keterampilan bermedia akan menjadi bagian dalam dinamika kehidupan kita. Sehingga literasi media atau keterampilan bermedia merupakan bagian dari dinamika kehidupan bangsa Indonesia.
Bangsa yang warga negaranya memiliki literasi media, adalah wujud bangsa yang telah dewasa.
- Penulis, Dosen USU, Pengamat Media dan Marketing