QUO VADIS DEWAN KESENIAN SUMATERA UTARA
Oleh : Hafiztaadi
‘Bila Politik Membengkok. Kesenianlah yang Meluruskannya’
(Jika Politik kotor, puisi membersihkannya, jika politik bengkok sastra meluruskannya)
Kalimat itu buatku menjadi sangat penting. Pernah dituliskan dalam sebuah catatan tinta emas, oleh; J. F Kennedy, seorang Presiden Amerika dalam deretan yang ke-35 (1961-1963). Ujaran tersebut seolah-olah dunia Seni menjadi sebuah pilar yang Sakti. Dengan ke-sakti-annya, jari-jarinya punya kemampuan m e n j e w e r i telinga-telinga yang budek (dalam tanda kutip; tuli!)
Kata-kata itu juga sepertinya menjadi sebuah ‘denyutan’, harapan terakhir manusia atas sebuah ketertindasan. Ketimpangan yang dilakukan atas pemegang kekuasaan yang disetir oleh manusia. S e o l a h – o l a h juga, politik itu tubuhnya penuh dengan n o d a h i t a m (bila kepalanya di todong oleh kalimat diatas dan berujud dijadikan sebuah pistol.)
Bila berbicara dari sisi lain dari dunia seni. Dunia itu tak hanya sebatas untuk, pelipur lara saja. Dunia dalam lingkup kebudayaan manusia itu yang bersandar pada akal sehat itu. Mampu melahirkan kecerdasan, merefleksikan cipta, rasa dan karsa. Menjadi sebuah kebudayaan. Yang terus bergerak sesuai kebutuhan zamannya. Itulah Anugerah terbesar Tuhan. Yang selalu kusebut-sebut dengan anugerah ‘Langit’.
Nah, lantas bila manusia yang memiliki daya produktif itu dan kesenian yang ‘m e m b e n g k o k’, siapa yang meluruskannya? Pada hakikatnya, dalam hukum akal sehat; kesenian dan politik itu tidak pernah bersalah. Kedua wadah tumpangan manusia itu harus dirawat dengan baik. Kedua wadah itu selalu dijadikan kambing hitam. Sasaran tembak. Yang sebenar-benarnya Manusia-lah sebagai pelaku dari kejahatan itu. Menjadi biang keladi dan kebobrokan dari wadahwadah itu. Oksigen yang terhirup dan bertabur diatas ubun-ubun-pun ikut tercemari dan kotor.
Kemarin pada 23 – 24 Maret 2021. Disebuah ruang sejuk dan terbilang mewah;
Le Polonia Hotel di kota Medan. Tepat ditengah-tengah pusat kota ini. Berkumpul para Seniman dan Dinas Kebudayaan dari berbagai Kabupaten Kota sebagai perwakilan dan menjadi peserta. Kegiatan tersebut di inisiasi dan dikerjakan oleh Dewan Kesenian Sumatera Utara. Sebuah kelembagaan kesenian yang dibentuk Pemerintah Provinsi SU.
Ruangan yang sejuk itu tentu menjadi hangat. Ya, dalam kehidupan apapun kehangatan itu perlu terus disalurkan dengan niat positip tentunya. Tak hanya di wadah kesenian Indonesia yang terbilang dingin dan visualnya begitu beku.
Bungkus acara yang bertajuk; MUSYAWARAH SENIMAN SUMATERA UTARA 2021 itu menyimpulkan tanda tanya dan keanehan.? Perwakilan seniman kota ini hanya diwakili oleh seorang seniman tari, choreographer senior yang nota bene pengurus Majelis Kesenian Medan (MKM) ; Diundang sebagai peserta dan peninjau. Menyatakan bahwa kepengurusan mereka (MKM), b e r l a n g s u n g s e u m u r h i d u p terucap dalam forum Musyawarah Seniman Sumatera Utara. Sedapp……., tetapi jujur aku terjejut. Bertanya-tanya sendiri. Apa benar di zaman super canggih ini sistem itu terbentuk mengisyaratkan monopoli dan penganut kediktatoran?
Dalam sebuah standart musyawarah tata tertib layak untuk dibacakan. Lantas dalam laporan panitia dibacakan bahwa; seniman Sumut (Medan) ada 16 orang yang hadir dianggap hanya sebagai peninjau. Tetapi dalam surat undangan yang beredar tidak dinyatakan sebagai peninjau dan ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris kelembagaan itu.
Sekaligus dalam sebuah sampul plastik peserta yang hadir menerima tanda pengenal tetap menyatakan sebagai peserta. Itu juga salah satu bentuk keanehan dalam musyawarah ramuan Dewan Kesenian Sumatera Utara (DKSU). Secara pasti ada interpretasiku, hal tersebut dilakukan untuk membatasi hak. Seniman yang berdomisili di kota ini hanya berlaku sebagai Peninjau dan memiliki batas, dan tak memiliki suara. Saran boleh. (Interpretasi itu sudah tentu, boleh diliarkan; Bahwa kehadiran seniman untuk menyuarakan kebenaran disengaja ‘dibungkam’).
Hal itu terjadi ketika sebagian seniman mendengar salah seorang pemakalah menyinggung tentang “PAYUNG HUKUM” kelembagaan kesenian. Dan hal itu sepertinya menjadi sebuah ‘momok’ bagi DKSU, tentu menjadi pertanyaan bagi peserta yang ikut hadir. Namun hal itu juga tak terbuka. Sengaja tak dijawab oleh kelembagaan kesenian Sumatera Utara.
Bila kesenian yang diucap ; Untuk me-manusiakan manusia. Hal itu terganjal oleh selembar tabir. Ada apa? Kenapa? Harusnya bila payung hukumnya kuncup. Harus berani dikembangkan. Artinya uruslah itu sebagai Kelembagaan yang Resmi. Bila ada pergantian pengurus didalamnya. Mekanisme pleno mungkin sudah dilakukan dengan sangat baik. Tetapi apakah mekanisme ditum. Pengajuan resapel kepengurusan sudah disetujui oleh Gubernur Sumatera Utara sebagai penanggung jawab yang menandatangani SK? Atau biro hukum atas nama kepala Pemerintahan Sumatera Utara? Ada kekhawatiran para seniman, SK sengaja dibelah dikotak-katik sendiri? (Ungkapan yang miris juga terjadi di forum itu, dalam sebuah organisasi dan kelembagaan ‘biasa’ itu terjadi.) ? Aku juga terkesiap untuk kesekian kalinya.
Terlontar dalam forum yang begitu terhormat itu.
Hal itulah salah satu bentuk yang untuk disebutkan sebagai sebuah kebekuan dalam kesenian atau lembaga kesenian. Yang pada akhirnya wadah atau kesenian tetap menjadi tudingan, sejarah kesenian yang terus terluka. Disitulah muncul sebuah pertanyaan yang berulang-ulang;
“Bila Manusianya dan Kesenian yang Bengkok, lantas siapa yang berani menjewernya?”
Tentu hal itu tidak boleh terjadi. Hal itu juga yang mungkin menjadi bentuk visual selektif Pemerintah kita. Karena wadah kesenian kita belum rapi secara management. Reaktif, ya. Tetapi kita masih ‘tersandung’ dengan mekanisme hukum, kejumawaan yang dianggap eksentrik dan terus dipertahankan tanpa ada rasa malu. Begitu ngotot tanpa konsep.
Niat berkesenian kita begitu besar dan begitu luhur. Tetap terucap. Seperti pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan itu, ber-hamburan pun tak juga ber-jawab. Apakah kelembagaan kesenian itu penting dikota ini? Atau di kota-kota Kabupaten lainnya sebagai harapan? Tidak hanya hidup, diperadaban kesenian pun tetap harus ‘memeluk’ kejernihan dalam berpikir dan adab yang tetap harus dijunjung.
Quo Vadis Dewan Kesenian Sumatera Utara?
Ada keinginan yang lebih besar dari pertemuan Musyawarah itu. Melempar wacana membangun “rumah” kesenian yang lebih luas, lebih lebar “ladang”nya dengan memasukan UU No.5/2017, tentang pemajuan Kebudayaan.
Tak hanya sekedar memoles wajahnya dengan baluran Make-up, tak sekedar mengganti baju dari tetron menjadi rajutan Sutra. Tidak sesederhana itu. Sebagai pelaku kesenian. Tidakkah kita lebih baik ‘mengobati’ sejarah panjang luka tentang perjalanan kesenian Sumatera Utara? Mencari penyebab kenapa kesenian kita berjalan di tempat. Mengobati ‘pekong’ yang cukup lama meradang. Terlebih infrastruktur secara fisik saja kita belum mampu berdiri. Yang nantinya, secara pasti akan bersinggungan dengan infrastruktur sosial yang ada. Bukankah hal itu juga harus dipikirkan secara matang. Tanpa harus diburu.
Alasannya urusan persoalan management kesenian dan kelembagaan itupun belum selesai. Apalagi untuk mengarah konkrit?
Bagaimana kita ingin melangkah dan berlari ke rumah yang baru yang bernama;
Dewan Kebudayaan Sumatera Utara. Rumah itu terlalu lebar dan sangat luas Halamannya.
Kelembagaan kesenian itu sangat penting dan sangat dibutuhkan. Harus mampu difungsikan untuk masyarakat kesenian. Sekaligus memberikan feedback kritiskonstruktif dalam pelaksanaannya, tak harus memuja bendera yang dikibarkan bertuliskan visioner dan berpikir indah saja. Tetapi harus memikirkan konsep, kebutuhan, manfaat, strategi cerdas bagi kesenian serta masyarakat kesenian secara menyeluruh.
Kelembagaan yang kita maksud, memang menjadi hak preogatif Pemerintah Daerah. Musyawarah sebenarnya sebuah jalan peradaban guna mencapai titik atau jalan lain untuk kesepakatan yang baik. Tetapi tidak juga harus dipandang dari sudut pandang yang dangkal juga. Aku kira Pemerintah daerah ini juga sangat cerdas menyikapi, mampu mengambil sikapnya terhadap gejolak secara sosial; keinginan masyarakatnya.
Keoptimisan yang masih tersimpan masih dinyakini bahwa Pemegang kebijakan Daerah ini juga memiliki keariban terhadap Culture shock ; yaitu disorientasi individu ketika mengalami budaya yang tidak familiar dengannya.
Sangat mampu menangkap sinyal dengan budaya dan keberagaman yang ada dapat disatukan dan menyatu. Pemahaman dengan Culture lag sebagai sebuah fakta dalam sebuah unsur budaya dimana terdapat perubahan yang lebih cepat dibanding seharusnya sehingga terjadi semacam ketidaksiapan pada sistem budaya untuk menerima perubahan-perubahan atas perubahan itu secara sporadis. Bahkan memiliki potensi kegagalan yang lebih massal terhadap pertumbuhan dan perkembangannya dimasa datang.
Pada akhirnya setelah menyaksikan dan mengikuti geliat Musyawarah Seniman
Sumatera Utara yang dilaksanakan oleh DKSU, perhelatan itu meninggalkan jejak serta i n t e r p r e t a s i yang tak seharusnya dilakukan oleh kelembagaan kesenian. dimanapun, usaha mengaburkan jejak para seniman dengan ‘plaster’ dimulutnya. Bagaimana kalian mau berpikir indah, hal demikian terkesan dan terpola. Kelembagaan ini (DKSU) harus dibuatkan ‘p r o j e c t ‘ membuat replika telinga yang lebih tebal agar tak tersayat oleh kata-kata siapa pun yang datang untuk membangunkannya dari tidurnya yang cukup panjang.
aku mendengar suara, jerit hewan yang terluka.
Ada orang memanah rembulan Ada anak burung terjatuh dari sarangnya.
Orang-orang harus dibangunkan.
Kesaksian harus diberikan.
Agar kehidupan bisa terjaga
(kutipan: tulisan WS. Rendra.)
Penulis, Hafiztaadi, Pekerjaseni, Sutradara Teater.
Bersyukur sekaligus beruntung. Di Medan, Sumatra Utara sendiri kita masih punya orang seperti bang Hafiztaadi dan rekan2 seniman lainnya. Saya mengucapkan terimakasih banyak telah selalu sedia dan setia memberi ajar dan ujar perihal dunia yang semakin sesak dengan orang2 yang cenderung skeptik (kebanyakan), termasuk saya. Namun besar harapan kita semua bagi seniman Sumut untuk terus tumbuh dan berkembang meski terus dihantam dan dipaksa tumbang. Tetap sehat dan kuat bang Hafiztaadi. Allah memberkati.