Ilmu Falak dan Kontribusinya Dalam Fikih Islam
Oleh Dr. Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Ilmu falak adalah ilmu yang mempelajari tata lintas pergerakan benda-benda angkasa secara sistematis dan ilmiah dalam rangka kepentingan manusia. Fokus utama Ilmu Falak dalam Islam adalah membahas hal-hal berikut: Penentuan awal bulan, Penentuan waktu shalat, Penentuan arah kiblat, Penentuan terjadinya gerhana.
Di era Islam, ilmu falak mulai bercorak dan berkembang dimasa Dinasti Abbasiyah. Di masa ini, khususnya masa pemerintahan Ja’far al Mansur, ilmu falak mendapat posisi istimewa disamping ilmu Tauhid, Fikih, dan Kedokteran. Ketika itu ilmu falak tidak hanya dipelajari dan dilihat dalam perspektif keperluan praktis ibadah saja, namun lebih dikembangkan sebagai pondasi dasar terhadap ilmu pengetahuan.
Tidak tanggung-tanggung, Khalifah Al Manshur membelanjakan dana negara yang besar dalam rangka mengembangkan kajian Ilmu Falak.
Gerak falak dalam Islam ditandai dengan aktifitas penerjemahan literatur-literatur falak asing kedalam bahasa Arab khususnya buku ‘Sind Hind’ yang diterjemahkan oleh Ibrahim al Fazzary (w. ± 180 H) & Ya’qub bin Thariq (w. ± 2 H) pada tahun 154 H/ 771 M, kemudia tidak berapa lama diterjemahkan lagi buku ‘Almagest’ karya Ptolemeus oleh Tsabit bin Qurrah (w. 288 H). Ilmu falak Islam ketika itu bercorak dan bernuansa dua kitab ini.
Perkembangan berikutnya, Islam banyak melahirkan sarjana-sarjana berpengaruh di dunia, seperti: al Khawarizmi (w. 387 H) dengan “al Jabru wal Muqabalah”nya, al Biruni (w. 440 H) dengan karyanya “al Qanun al Mas’udi” yang terhitung sebagai buku ensiklopedia pertama dalam Islam. Al-Battani (w. 319 H), dengan “Zayj as Shabiy’ “nya yang banyak menginspirasi astronom sesudahnya. Ibnu Syathir (w. 777 H), dengan “Nihayatus Sul fi Tashih al Ushul” yang berhasil mengungkap teori Heliosentrik. Ibnul Majdi (w. 850 H), dengan karyanya “Ghunyatul Fahim wat Thariq ila Hallit Taqwim”. As-Suyuthi (w. 911 H), diantara karya astronominya “al Hay’ah as Sinniyyah”, dan lain-lain.
Secara khusus, ilmu falak dalam Islam berperan sebagai berikut: Waktu Shalat. Al Qur’an & al Hadits menegaskan waktu shalat punya limit (awal dan akhir) yang berarti shalat tidak bisa dilakukan dalam sembarang waktu. Namun al Qur’an maupun al Hadits tidak memberi limit pasti awal dan akhir waktu yang dimaksud, al Qur’an hanya menegaskan “kitaban mauquta” (waktu yang sudah ditentukan) tanpa ada penjelasan rinci terhadap kalimat tersebut. Hal ini membawa konsekuensi pada beragamnya penafsiran terhadap penetapan awal dan akhir waktu shalat, dan ilmu falak berperan besar dalam persoalan ini.
Arah Kiblat. Menghadap kiblat adalah satu keharusan (syarat) untuk sah dan berkualitasnya shalat yang dilakukan. Ulama berbeda pendapat tentang kriteria dan urutan penentuan arah kiblat yang berada jauh (tidak terlihat) dari Ka’bah. Apakah harus menghadap bangunan (‘ain) Ka’bah atau cukup dengan area (jihah) atau serta merta menghadap (tilqa’) saja. Secara lebih tegas sebagian kalangan Syafi’iyah menyatakan, berpalingnya arah kiblat meski sedikit saja (al inhiraf al yasir) berkonsekusensi pada batalnya shalat. Peranan ilmu falak sangat signifikan dalam penentuan arah kiblat ini.
Awal Bulan Qamariyah. Penetapan awal Ramadhan dan Syawal adalah persoalan ijtihad sehingga sangat memungkinkan terjadinya perbedaan pandangan dan pendapat. Dalam konteks Indonesia persoalan ini sudah sering terjadi bahkan kita rasakan berkali-kali. Jauh hari, Rasulullah S.a.w. menegaskan untuk memulai dan mengakhiri puasa & hari raya dengan rukyat hilal, yaitu melihat hilal secara langsung diakhir Sya’ban dan Ramadhan.
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, hadits Nabi S.a.w. tersebut mulai diperbincangkan bahkan ‘dikritik’. Diklaim, dalam aktifitas rukyat banyak kelemahan yang tidak bisa ditolerir oleh akal manusia seiring dengan majunya pengetahuan. Terdapat dua kubu berlawanan dalam hal ini, kubu rukyat dan kubu hisab, yang kerap berselisih dan terkadang hampir saja merobohkan persatuan dan kesatuan umat.
Gerhana. Gerhana (gerhana Bulan & gerhana Matahari) adalah fenomena alamiah yang jarang terjadi. Dalam fikih Islam dikenal/dianjurkan untuk melakukan shalat sunah Gerhana ketika terjadinya fenomena ini. Namun tidak banyak orang yang perhatian dan mengerti akan fenomena ini, sehingga ilmu falak berperan dalam menentukan kapan dan dimana terjadinya Gerhana ini, baik Gerhana Matahari maupun Gerhana Bulan. Sehingga seorang muslim bisa melakukan shalat sunat yang mu’akkad ini.
[] Penulis: Kepala Observatorium Ilmu Falak UMSU