Arti Penting Kehadiran Islam Bagi Kemajuan Ilmu Pengetahuan
Oleh : Dr. Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, MA
Sebelum Islam datang, orang-orang Arab sangat amat terbelakang, tradisi khurafat dan mistik demikian marak dalam kehidupan. Bangsa Arab kala itu terdiri dari banyak suku dan kerap saling bertikai antara satu dengan yang lain. Dalam kondisi ini sangat dimaklumi tradisi pencarian dan pengembangan ilmu tidak terlihat sama sekali.
Datangnya agama Islam sebagai dibawa oleh Nabi Muhammad Saw adalah anugerah luar biasa bagi bangsa Arab. Al-Qur’an dalam konstruksi universalnya mampu merubah seluruh tatanan kehidupan manusia menjadi lebih cerah. Tatanan kehidupan yang penuh nilai-nilai luhur Islam ini, yang telah di praktikkan oleh baginda Nabi Muhammad Saw dan para sahabat, selanjutnya mampu menebarkan cahayanya ke segenap penjuru jazirah Arab. Dalam batas ini, betapapun tradisi pengkajian ilmu belum terbilang mapan, namun setidaknya upaya terhadap pencarian dan pengembangan ilmu mendapat apresiasi dan perhatian maksimal dari al-Qur’an (Islam).
Pada sejumlah ayat-ayatnya, al-Qur’an senantiasa mengapresiasi pengkajian terhadap berbagai hal yang berhubungan dengan alam semesta. Bahwa perenungan dan pengkajian terhadap alam semesta sejatinya merupakan bagian dari upaya pengokohan keimanan. Dalam penjabarannya, al-Qur’an memang tidak memberi rincian secara detail mengenai berbagai fenomena alam yang ada, hal ini memberi pengertian (hikmah) agar manusia senantiasa mengoptimalkan akal fikiran yang dianugerahkan Allah kepadanya.
Al-Qur’an sangat banyak memberi stimulus (rangsangan) bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Dalam Q. 25: 53 misalnya dijelaskan mengenai fenomena dua laut yang airnya saling tidak bertemu (bercampur), yang dalam penelitian terkini diketahui bahwa dua jenis air ini memiliki perbedaan kadar garam dan kerapatan yang berbeda-beda, zona pemisah kedua air ini disebut ‘pycnocline’. Pada bidang yang lain, misalnya dalam Q. 67: 19 dikemukakan mengenai burung-burung yang terbang dan mengatupkan sayap-sayapnya, hal ini memberi isyarat ilham ditemukannya teknologi pesawat terbang.
Dalam sejarah dikenal tokoh bernama Abbas bin Firnas (abad 3/9) yang berasal dari Spanyol sebagai Muslim pertama yang menggagas cikal-bakal sebuah mesin pesawat terbang jauh sebelum Wright bersaudara atau Leonardo Da Vinci menemukan dan mendesain mesin pesawat modern. Dalam percobaan pertamanya (sekitar tahun 852 M) Ibn Firnas melakukannya dari atas menara Masjid Agung Kordova. Meski berkali-kali gagal dalam eksperimennya, namun pada akhirnya pada tahun 875 M, pada saat Ibn Firnas berusia 70 tahun, ia telah menyempurnakan sebuah mesin dari sutera dan bulu elang, dia mencoba lagi, melompat dari sebuah gunung. Ia berhasil terbang cukup tinggi dan bertahan selama beberapa menit.
Namun ketika mendarat ia masih jatuh karena pesawat tidak diberi perangkat ekor sehingga akan memperlambat saat mendarat. Untuk mengenang jasanya, salah satu bandara internasional di Bagdad (Irak) diberi nama “Bandara Internasional Abbas bin Firnas”.
Khusus dalam bidang astronomi, seperti dikemukakan Adnan Syarif dalam karyanya “Min ‘Ilm al-Falak al-Qur’any”, bahwa terdapat banyak sekali ayat-ayat yang menjadi landasan berbagai cabang ilmu, diantaranya adalah dasar-dasar ilmu astronomi. Dalam Q. 03: 190-191 dikemukakan mengenai seruan kepada umat Islam untuk merenungi ciptaan Allah baik di bumi maupun di langit. Perenungan dan pengamatan terhadap benda-benda langit sejatinya memang telah dilakukan oleh umat-umat (bangsa-bangsa) terdahulu. Tradisi mengamati benda-benda langit mengenai terbit dan tenggelam, perubahan posisi dan konstelasi benda-benda langit merupakan rutinitas yang rutin dilakukan.
Dalam praktiknya, selain bertujuan untuk kepentingan soisal sehari-hari, rutinitas pengamatan ini juga bertujuan dalam rangka memprediksi dan memosisikan benda-benda di langit sana dan menghubungkannya dengan kejadian di bumi, atau persisnya meramal nasib (karakter) seseorang maupun sekelompok orang di masa yang akan datang.
Perbedaannya dengan pengamatan yang dilakukan pada era peradaban Islam adalah lebih ditujukan pada perenungan akan kekuasaan dan ciptaan Allah, betapa benda-benda angkasa itu tidak mungkin diciptakan oleh manusia. Selain itu, aktifitas pengamatan benda-benda langit untuk kepentingan peramalan ini dalam peradaban Islam sejatinya telah mulai terkikis, meski tidak habis, sebab al-Qur’an secara tegas melarang hal ini. Selain itu, Nabi Muhammad Saw juga menyatakan ketidak legalan aktifitas astrologi ini. Nabi Saw menyatakan bahwa orang-orang yang mendatangi dan memercayai perkataan seorang peramal maka sesungguhnya ia telah mengingkari akan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.
Dalam Q. 36: 38-40, Q. Al-A’raf: 54, Q. Az-Zumar: 5, Q. Al-Anbiya’: 33 dikemukakan mengenai fenomena pergerakan benda-benda langit, khususnya bulan, bumi dan matahari. Sementara Q. An-Nazi’at: 31-32, Q. Al-Anbiya’: 30, Q. An-Nahl: 15, Q. Al-Baqarah: 29, masing-masing memberi gambaran umum mengenai teori awal mula alam semesta. Sementara Q. 18: 25 dimaknai sebagai perbandingan antara kalender Hijriah yang berbasis bulan dengan kelender Masehi yang berbasis matahari. Dalam ayat ini terdapat frasa “…tsalatsa mi’atin wazdadu tis’a” (…tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun).
Menurut sebagian ahli tafsir, penambahan sembilan tahun ini adalah akibat perbedaan penanggalan matahari dan bulan. Dimana kalender matahari atau kalender masehi ini berselisih sekitar 11 hari dari kalender bulan (hijriah), dengan demikian tambahan sembilan tahun itu adalah hasil akumulasi 300 tahun dikali 11 hari = 3.300 hari, atau sekitar sembilan tahun lamanya. Atas penafsiran ini, difahami bahwa sesungguhnya al-Qur’an mengapresiasi penggunaan dua sistem kalender ini dalam penjadwalan waktu.
Demikianlah, melalui ayat-ayat ini umat Islam, khususnya ulama yang mendalami bidang ini, menghasilkan inspirasi dan penemuan yang terus diperbarui. Berbagai penemuan ini selain mengokohkan keimanan, pada saat yang sama ia memberi sumbangan baru bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Karena itu, posisi strategis al-Qur’an menempati posisi teramat penting bagi berkembangnya ilmu pengetahuan di peradaban Islam.
Penulis adalah Dosen dan Kepala Observatorium Ilmu Falak (OIF) UMSU