Argumen Kalender Islam Global
Oleh Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Penulis: Dosen FAI UMSU & Kepala OIF UMSU
Kalender Islam Global (Arab: at-Taqwim al-islamy al-uhady) adalah kalender Islam dalam lintas kawasan yang berlaku untuk seluruh dunia (antar benua), tanpa terkecuali. Inisiasi kalender Islam global ini diantaranya adalah keprihatinan karena belum adanya kalender Islam yang definitif untuk seluruh umat Muslim di dunia, padahal peradaban Islam telah berusia 14 abad lebih. Sejatinya, pada tahun ke-17 H, Khalifah Umar bin Khatab telah mendeklarasikan tahap awal kalender Islam atas rumusan sejumlah sahabat, namun hingga kini belum ada rumusan definitif yang disepakati tentang kalender Islam dunia itu.
Secara historis, gagasan kalender Islam global di era modern pertama kali muncul di Asia Tenggara, yang di inisiasi oleh Mohamad Ilyas dari Malaysia. Belakangan, diskursus kalender Islam global menggelinding dan mendunia serta menemukan momentumnya di dunia Arab. Berbagai pertemuan tingkat dunia membicarakan hal ini telah berulang kali dilakukan, yang terkini dan paling masif adalah di Turki (Muktamar Turki), betapapun sekali lagi belum mampu diterapkan secara utuh.
Arti penting kalender Islam global adalah beranjak dari perlunya umat Muslim dunia memiliki satu sistem penjadwalan waktu yang terpadu dan terintegrasi, yang mencakup aspek ibadah (terutama puasa dan hari raya) dan aspek kehidupan sehari-hari (seperti bisnis, pendidikan, administrasi perkantoran, administrasi negara, dan lain-lain).
Adapun argumen yang dapat dikemukakan terhadap perlunya keberadaan kalender Islam global ini diantaranya adalah sebagai berikut: Pertama, prinsip kesatuan (unifikasi) sejatinya merupakan ruh beberapa ayat di dalam al-Qur’an. Dalam sejumlah ayat al-Qur’an didapati penekanan bahwa umat Islam adalah umat yang satu. Misalnya QS. Al-Anbiya’ [21] ayat 92 dan QS. Al-Mu’minun [23] ayat 52. Dua ayat ini secara tegas menekankan tetang kesatuan (ummah wahidah). Kedua, universalisme ajaran Islam, antara lain firman Allah dalam QS. Al-Anbiya’ (21) ayat 107 dan QS. Saba’ (34) ayat 28, yang menjelaskan bahwa Nabi Saw diutus untuk seluruh umat manusia (atau rahmah lil ‘alamin), artinya rahmat keberadaan Islam itu lintas budaya, lintas bangsa, dan lintas teritori. Ketiga, di dalam QS. Al-Baqarah (02) ayat 189, terdapat isyarat bahwa sistem waktu dalam Islam harus terpadu, mencakup aspek sipil dan aspek ibadah. Aspek sipil ditandai dengan kata “linnas” (untuk manusia). Kalimat ini bersifat umum, tanpa membedakan suku-bangsa, budaya, dan bahasa. Sedangkan aspek ibadah ditandai dengan kata “wal hajj” (dan ibadah haji). Penekanan pada haji adalah oleh karena haji merupakan puncak ibadah bagi setiap Muslim, ia merupakan rukun Islam yang kelima.
Keempat, ‘hutang’ peradaban Islam. Adalah kenyataan bahwa umat Islam hingga abad ini (14 abad lebih) belum memiliki kalender Islam yang bersifat unifikatif-global dan berlaku di seluruh dunia, padahal usia peradaban Islam sudah 1,5 milennium. Padahal, peradaban-peradaban pra-Islam, seperti peradaban Sumeria misalnya, mereka telah memiliki kalender yang bersifat unifikatif yang berlaku bagi suku-suku dan bangsa-bangsa ketika itu. Sementara itu yang paling tampak, dan berada di tengah-tengah kita adalah kalender Masehi. Secara teoretis, jika kalender Masehi dapat diterapkan dan diikuti oleh selurah manusia di muka Bumi ini, maka sejatinya demikian juga halnya dengan kalender hijriah, persoalannya adalah sejauh mana keinginan dan upaya umat Islam untuk hal ini. Kelima, isyarat-isyarat hadis-hadis baginda Nabi Saw terkait rukyatul hilal sejatinya banyak menunjukkan globalitas dan universalitas. Ini diantaranya ditunjukkan dengan penggunaan kata ganti plural (dhamir jam’) dalam beberapa penggalan hadis-hadis Nabi Saw, seperti pernyataan “shumu” (puasalah kamu sekalian) dan “wa afthiru” (dan berhari-raya lah kamu sekalian). Dalam hal ini konteks plural itu dimaknai menyeluruh bagi semua umat Muslim dimanapun berada, seiring dengan posisi dan keberadaan Nabi Saw sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Selain itu, interpretasi-interpretasi para ulama terdahulu terhadap hadis-hadis Nabi Saw juga banyak yang menerjemahkan secara global. Antara lain, seorang tokoh ulama dalam mazhab Syafii bernma Al-Imam an-Nawawi (w. 676 H/1277 M) dalam karyanya “Syarh Shahih Muslim” menghikayatkan pendapat sejumlah koleganya bahwa rukyat (keterlihatan hilal) di suatu tempat itu berlaku menyeluruh di berbagai belahan bumi (ta’umm ar-ru’yah fi maudhi’ jami’ ahl al-ardh). Selanjutnya Syaikh Zadah dalam “Majma’ al-Anhar” menyatakan manakala hilal terlihat di suatu tempat, maka keterlihatannya berlaku bagi semua manusia, dalam hal ini tidak ada perbedaan matlak. Tatkala hilal Ramadhan terlihat di belahan bumi bagian Barat misalnya, maka ia juga berlaku di belahan bumi bagian Timur. Sedangkan Ibn Nujaim al-Mishry (w. 971 H/1564 M), menyatakan tidak ada perbedaan matlak sama sekali, maka jika hilal terlihat di suatu negeri (dimana di negeri lain tidak terlihat) maka keterlihatan itu berlaku (wajib) bagi kawasan lain, dan mereka wajib untuk berpuasa dengan rukyat itu. Disini tampak bahwa keterlihatan hilal (rukyat) bagi penduduk Barat berlaku bagi penduduk bagian Timur.[]