Blunder Iuran BPJS
Oleh: Dr. Abdul Hakim Siagian,SH., M.Hum, Dosen Fak. Hukum UMSU
Peraturan untuk menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) dinilai sebagai blunder. Pun tidak populis, alih-alih humanis. Pasalnya, rakyat sedang dalam keprihatinan terdampak pandemic covid-19. Belum lagi dengan harga BBM yang enggan turun dan tarif listrik yang juga sempat berlipat-lipat. Otomatis beban ekonomi rakyat kian bertambah. Padahal keamanan mereka dari aspek kesehatan juga tak sepenuhnya terjamin akibat miskoordinasi penanganan wabah di sana-sini.
Sekalipun kenaikan diberlakukan kepada peserta mandiri kelas I dan II, namun kenaikan ini dirasa tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia saat ini. Membebani rakyat dengan menaikkan iuran di tengah lemahnya daya beli masyarakat akibat pelambatan perekonomian global, apalagi di sisi lain pelayanan BPJS Kesehatan belum membaik merupakan substansi putusan Mahkamah Agung tatkala membatalkan peraturan kenaikan iuran BPJS.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyebutkan ekonomi Indonesia di tengah pandemi Covid-19 akan tumbuh sangat rendah. Dampak tekanan ekonomi pandemi corona menyasar ke berbagai lapisan masyarakat, termasuk para kelompok menengah dan kaya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, garis kemiskinan nasional per September 2019 tercatat Rp440.538 per kapita per bulan atau Rp2.017.64 per rumah tangga miskin per bulan. Artinya, kelompok yang pendapatan sudah di atas garis kemiskinan sudah masuk kelas menengah. Seharusnya pemerintah juga memberi perhatian kepada kelas menengah ‘tanggung’ karena mereka berada di ruang yang serba salah. Bukan malah membebankan iuran BPJS yang naik hingga 100 persen.
Sementara itu, ancaman kemiskinan, kelaparan, bahkan kematian di tengah wabah, setiap detik membayangi rakyat. Tekornya ekonomi keluarga, peningkatan angka pencurian akibat mereka yang lapar, ancaman kriminalitas pasca asimilasi napi, badai PHK, dsb, itu hanya sekelumit beban kehidupan masyarakat akar rumput di tengah pandemi. Yang pemerintah pun bahkan maldata untuk distribusi bantuan sosial (bansos), hingga banyak yang tidak tepat sasaran. Dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, sebenarnya itu statusnya dari rakyat sebagai bentuk infak, atau hanya bentuk lain agar rakyat dapat terus dipalak?
Kenaikan iuran BPJS hampir 100 persen tersebut tertuang dalam Perpres 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang diteken Presiden Jokowi pada (5/5/2020) akan dimulai dimulai pada Juli 2020. Adapun kenaikan iuran BPJS ini tertuang dalam Pasal 34 bahwa kenaikan iuran terjadi pada Kelas I dan Kelas II mandiri. Dalam Perpres tersebut, pada Juli-Desember 2020 iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 150.000, dari saat ini Rp 80.000. Iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp 100.000, dari saat ini sebesar Rp 51.000. Iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000. Namun, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 untuk kelas III sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500. Kendati demikian, pada 2021, subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp 7.000, sehingga yang harus dibayarkan peserta (dari Rp 42.000 tersebut) adalah Rp 35.000.
Polemik defisit BPJS yang bertendensi menjadi salah satu alasan kenaikan iuran tersebut. Alih-alih mendapatkan keuntungan hasil iuran dari masyarakat ditambah dengan subsidi yang diberikan tetap tidak memberikan dampak yang signifikan. Dampaknya, segala upaya terus dilakukan untuk menambal defisit neraca pembayaran BPJS. Paling sering terdengar langkah yang dilakukan pemerintah ialah dengan menaikan besaran peremi iuran. Padahal hal tersebut tetap tidak akan berpengaruh pada defisit laporan arus kas dari BPJS. Alasannya cukup sederahana, jaminan kesehatan yang dijalankan dengan skema-skema seperti BPJS memang tidak berpotensi profit.
Seberapa pun besaran iuran yang ditetapkan pemerintah, tetap saja sulit untuk menambal kekurangan yang didapatkannya. Sementara aturan baru yang di keluarkan pemerintah dan menjadi dasar hukum kenaikan iuran BPJS Kesehatan tentu menimbulkan polemik. Mengingat jika kita buka kembali amar putusan MA Nomor 7P/HUM/2020. Disana tertulis hanya membatalkan pasal 34, ayat (1) dan (2) karena bertentangan dengan peraturan di atasnya yaitu Pasal 2, Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Pasal 2, Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sementara pasal lain masih berlaku. Walhasil, aturan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah tentu akan menjadi bola liar tumpang tindihnya landasan hukum yang dikeluarkan.
Permasalahan defisit pun tak melulu karena iuran. Salah kelola juga diduga turut andil dalam kenaikan iuran BPJS ini. Bahkan pemerintah pun sudah menyadari sehingga adanya Inpres 8/2017 dengan orientasi mengatasi defisit 2018 dan 2019. Faktanya, bukan turun, malah naik defisitnya. Namun anehnya direksi BPJS tak kunjung diganti. Akibat dari problem salah kelola itu membuat disparitas iuran tinggi, sehingga jumlah peserta yang tidak aktif membayarkan iuran alias menunggak bertambah.
Sebelumnya, Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 7/P/HUM/2020 membatalkan kenaikan iuran jaminan kesehatan bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Peserta Bukan Pekerja (BP). Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan kenaikan tarif tersebut setelah mengabulkan uji materi atau judicial review atas Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Batalnya kenaikan iuran membuat besaran iuran akan kembali seperti besaran yang dibayarkan peserta sebelumnya. Namun dengan Perpres No.64/2020 kini, iuran BPJS Kesehatan kembali naik. Hal ini menunjukan inkonsistensi pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya.
Sebagaimana diketahui MA menyatakan putusan pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini seharunya berlaku sejak tanggal diputuskan pada 27 Februari 2020 atau tidak berlaku surut. Karena itu, masyarakat yang sudah membayar iuran sejak tanggal 1 Januari 2020 hingga sebelum ada putusan ini tetap mengacu Perpres No. 75 Tahun 2019. Namun, pada periode pembayaran iuran Maret 2020, BPJS Kesehatan masih memberlakukan tarif baru tersebut atau mengacu Perpres 75/2019. BPJS Kesehatan menyatakan belum membatalkan kenaikan iuran peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) karena masih menunggu pemerintah mengubah ketentuan dalam pasal 34 ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2019 (Perpres 75/2019) atau Keputusan MA berlaku hingga 91 hari.
Majelis Hakim yang diketuai Supandi dan dua hakim anggota, Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi, menyebutkan ada tiga aspek yang menjadi dasar putusan membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan dalam Perpres No. 75 Tahun 2019.
Pertama adalah aspek yuridis. Konsideran faktual pada Perpres No. 75 Tahun 2019 tidak mempertimbangkan kemampuan masyarakat membayar kenaikan iuran BPJS. Kenaikan iuran lebih mempertimbangkan defisit anggaran yang dialami oleh BPJS Kesehatan. Padahal pemerintah sudah beberapa kali menyuntikkan dana tetapi defisit terus terjadi.
MA menganggap manajemen atau tata kelola BPJS Kesehatan secara keseluruhan sebagai akar masalah yang diabaikan pemerintah. Membebankan defisit pada peserta BPJS Kesehatan dinilai tak tepat dan mengecewakan masyarakat umum. Hal ini bertentangan dengan asas pengharapan yang layak. Kenaikan iuran juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Pasal 2 UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. “Dengan demikian, secara yuridis Pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres No. 75 Tahun 2019 dinilai mengandung cacat yuridis secara substansi,” tulis putusan itu.
Kedua adalah aspek sosiologis. MA berpendapat kenaikan iuran bagi peserta PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) dan Peserta BP (Bukan Pekerja) sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres No. 75 Tahun 2019 secara sosiologis adalah bertentangan dengan kehendak masyarakat serta menganggap berbagai masalah yang terjadi di BPJS seperti kecurangan data rumah sakit, kecurangan peserta, rendahnya validitas data, dan lainnya berasal dari ketidakmampuan lembaga-lembaga terkait mengelola koordinasi dan melakukan tugasnya masing-masing. MA menyebutkan adanya ketidakseriusan kementerian terkait dalam melakukan koordinasi, ketidakjelasan eksistensi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dalam merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi, adanya kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS, dan mandulnya Satuan Pengawas Internal BPJS.
Ketiga adalah aspek filosofis. MA menganggap kenaikan iuran BPJS dalam kondisi ekonomi global seperti ini tidak tepat karena tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Sehingga penerapan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tidak boleh membebankan masyarakat dengan biaya di luar kemampuan mereka. Sebaliknya, lanjut putusan, justru harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada rakyat Indonesia.
Sekedar pengingat, Jokowi pernah menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri sebesar 100 persen mulai awal tahun ini. Dengan kenaikan tersebut, iuran peserta BPJS Kesehatan kelas III naik dari Rp25.500 menjadi Rp42 ribu. Untuk peserta kelas II, iuran naik dari Rp51 ribu menjadi Rp110 ribu. Sementara itu, untuk iuran peserta kelas I naik dari Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu.
Seharusnya pemerintah melakukan evaluasi dan perbaikan manajemen BPJS Kesehatan. Namun pemerintah tampaknya mengesampingkan pertimbangan dalam putusan itu. Mereka membangun perspektif sendiri, yakni menaikkan iuran BPJS Kesehatan dan menjanjikan perbaikan pelayanan. Pemerintah menunjukkan sikap kenegarawanan dengan mencabut Perpres No. 64 Tahun 2020. Sebab jika pemerintah bersikeras, justru menunjukkan preseden buruk dalam perilaku hukum.
”the greatest happiness of the greatest number” (kebahagiaan yang sebesar-besarnya dari sebanyak-banyaknya orang). Menurut Bentham, tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan terbesar kepada sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Jadi, konsepnya meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Ukurannya adalah kebahagian yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya orang. Penilaian baik-buruk, adil atau tidaknya hukum ini sangat tergantung apakah hukum mampu memberikan kebahagian kepada manusia atau tidak. Kemanfaatan diartikan sama sebagai kebahagiaan (happiness).Pertanyaannya apakah Perpres ini sudah bertujuan untuk kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia, pak presiden? (*)
Penulis, Dr. Abdul Hakim Siagian Dosen USU, UMSU dan Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sumatera Utara