KH Omo Suyatna: Tokoh Muhammadiyah Pionir Reformis Keagamaan di Jawa Barat
Bandung, InfoMu.co – KH Omo Suyatna, seorang tokoh reformis keagamaan yang lahir 96 tahun yang lalu di Leuwi Peusing, Sariwangi, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, meninggalkan jejak yang mendalam dalam sejarah keagamaan di wilayah tersebut.
Ia berasal dari keluarga ajengan reformis di Sariwangi dengan ayahanda bernama KH Ahmad yang juga merupakan tokoh yang disegani di Leuwi Peusing, Singaparna, Tasikmalaya.
Ia berkerabat langsung dengan KH Muhammad Syabandi (Mama Cilenga), pendiri Pesantren Cilenga, Singaparna, Tasikmalaya, salah satu pesantren tertua di Kabupaten Tasikmalaya.
Meski tidak mengenyam pendidikan formal tinggi, ”Ajengan Omo” atau biasa dipanggil ”Ustaz Omo” oleh kalangan Nahdiyin lokal, senantiasa berkelana dari pesantren ke pesantren tanpa henti.
Selama era kemerdekaan, ia lebih tertarik dengan aktivisme pergerakan Islam dan aktif di PUI Kabupaten Tasikmalaya. Meskipun sempat bekerja di Djawatan Penerangan Kabupaten Tasikmalaya pada 1950-an, panggilan nuraninya untuk terus melakukan kajian keagamaan, dialog, dan berdakwah membawanya ke jalur yang lebih sesuai.
Sambil berdagang batik—usaha yang tidak sepenuhnya cocok—Ustaz Omo terus-menerus melakukan pencerahan, dialog dengan banyak kiai, dan pengajian. Hingga akhirnya ia menemukan Muhammadiyah sebagai labuhan ideologis dan gerakan dakwahnya. Ia menjadikan Muhammadiyah sebagai fokus utama.
Menurut para murid dan jemaahnya, Ustaz Omo sering mengadakan debat dengan ajengan-ajengan lain yang sering berakhir dengan ”penaklukan”.
Para tokoh agama yang kalah dalam debat sering kali mengakui kelemahan mereka dan akhirnya menjadi aktivis dan anggota Muhammadiyah. Beberapa cabang dan ranting Muhammadiyah di sekitar Tasikmalaya dahulunya digerakkan oleh murid-muridnya dan merupakan hasil dari “wilayah taklukan” Ustaz Omo.
Semangat menegakkan Al-Quran dan Sunah terus membara hingga akhir hidupnya. Wafat pada usia 58 tahun sekitar tahun 1986, Ustaz Omo terus melanjutkan gerakannya dalam reformasi dan purifikasi pemahaman keagamaan di Muhammadiyah.
Salah satu kisah yang masih dikenang adalah ketika Ustaz Omo mengajak beberapa koleganya, seperti KH Iping dan KH Hambali, untuk melakukan silaturahmi dan dialog dengan Buya Hamka, Ketua MUI pada masa itu. Dialog tersebut bertujuan untuk “meluruskan” pemikiran Buya Hamka.
Selanjutnya, reformasi terkait takbir zawaid (tujuh lima) dua hari raya menjadi perhatian utama, dengan konflik pemikiran yang berlanjut hingga mendapatkan tanggapan serius dari PP Persis pada waktu itu.
Ustaz Omo tetap dikenang oleh anak-anaknya dengan panggilan akrab “Apa Omo.” Bukanlah tokoh yang bermimpi untuk menjadi sesuatu, ia tetap menjadi petani yang bergerak tanpa henti dalam berdakwah. Ajarannya terus dilestarikan oleh para muridnya hingga saat ini, menjaga semangat reformis yang sejalan dengan leluhurnya di Tasikmalaya.
Masjid Al-Furqan, yang kemudian menjadi Pesantren Muhammadiyah Al-Furqan Tasikmalaya, merupakan salah satu hasil gagasannya bersama tokoh Muhammadiyah lainnya. Nama “Al-Furqan” dipilih oleh Ustaz Omo untuk menjadi pembeda dengan paham keagamaan lainnya di Kabupaten Tasikmalaya pada masa itu.
Dalam satu kesempatan yang berharga, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Ustaz Omo, melalui Lifetime Achievment dalam Milad Muhammadiyah Jawa Barat pada Desember 2023 lalu.
Penghargaan tersebut sebagai bentuk rasa syukur atas jasa-jasanya untuk eksistensi dakwah Muhammadiyah di Jawa Barat.
Yusep Rafiqi sebagai salah satu putra yang juga menceritakan kisah perjuangan dakwah ulama karismatik ini, mengucapkan terima kasih atas penghargaan yang diberikan oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat.
Yusep pun berharap agar apa yang sudah dikisahkan tentang Ustaz Omo, bisa menjadi pemantik semangat generasi muda dalam memperjuangkan dakwah persyarikatan. (***)