Hukum Memakai Masker dalam Salat
pada Saat Pandemi Covid-19 Menurut Tarjih Muhammadiyah
Oleh : Dr. Sulidar, M.Ag
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Sumatera Utara Periode 2015-2020.
Pendahuluan
Syariat Islam yang ditetapkan oleh Allah swt adalah untuk kebaikan umat manusia. Tentang hal itu, dikenal dengan adanya lima prinsip umum syariat Islam (Maqashid asy-Syari’ah). Kelima hal tersebut adalah (1) melindungi agama (hifz ad-din), (2) melindungi jiwa (hifz an-nafs), (3) melindungi akal (hifz al-‘aql), (4) melindungi harta (hifz al-mal), dan (5) melindungi keturunan (hifz an-nasab). Dengan demikian dalam menjalankan syrariat Islam tidak boleh bertentangan pada kelima prinsip tersebut. Dalam keadaan situasi dan kondisi normal, maka untuk menjalankan syariat Islam tidak menjadi masalah bagi umat. Namun, masalah akan muncul, manakala situasi dan kondisinya tidak normal, sebagaimana saat ini, pandemi covid-19 yang belum juga reda bahkan cenderung meningkat baik yang terpapar dalam kategori positif, juga yang meninggal. Dalam situasi seperti ini maka untuk menjalankan ibadah juga akan mengikuti situasi dan kondisi yang sedang terjadi. Artikel ini mencoba mengulas bagaimana hukumnya memakai masker dalam salat pada saat pandemi covid-19.
Pandangan Tarjih Muhammadiyah tentang Hukum Hukum Salat Bermasker
Menurut Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 05/Edr/I.0/E/2020 ten tang Tuntunan Dan Panduan Menghadapi Pandemi Dan Dampak Covid-19, menegas kan sebagai berikut:
Pada dasarnya mendirikan salat dalam keadaan tertutup wajah tidaklah dianjur kan. Hal ini sesuai dengan hadis berikut,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ فِي الصَّلَاةِ ]رواه ابن ماجه.[
Dari Abū Hurairah (diriwayatkan), ia berkata: Rasulullah melarang seseorang menutup mulutnya di dalam salat [H.R.Ibnu Mājah].
Dalam rangkaian sanad hadis ini terdapat rawi bernama al-Ḥasan Ibn Zakwān yang diperselisihkan kemakbulan riwayatnya oleh para kritikus hadis. Sebagian lebih banyak menganggapnya rawi yang daif karena sering melakukan kekeliruan, melakukan tadlīs dan dalam riwayat hadis ini menggunakan formula ‘anʻanah (‘dari’). Sebagian lain menganggap hadisnya hasan dengan alasan Yaḥyā Ibn Sa‘īd, ahli hadis terpercaya, meriwayatkan hadisnya [Mīzān al-I‘tidāl, II: 236-237, nomor 1847]. Dalam hadis ini terdapat larangan menutup sebagian wajah, namun, seandainya hadis ini dipandang makbajarul sesuai pendapat yang menyatakannya hasan, larangan tersebut tidak sampai pada hukum haram. Hal ini ditunjukkan oleh Ibnu Majah sendiri yang meletakkan hadis tersebut pada bab Mā Yukrahu fī aṣ-Ṣalāh (hal-hal yang tidak disukai [makruh] dalam salat). Selain itu, larangan dalam hadis ini pun tidak berlaku umum karena memiliki sebab yang khusus, yaitu agar tidak menyerupai kaum Majusi di dalam beribadah sebagaimana yang diinformasikan dalam kitab Syarḥ Sunan Abī Dāwūd karya Badr ad-Dīn al-‘Aini.
Oleh karena itu, menutup sebagian wajah dengan masker ketika salat berjamaah di masjid atau musala dalam keadaan belum bebas dari pandemi Covid-19 seperti sekarang ini tidak termasuk dalam larangan di atas dan tidak merusak keabsahan salat. Apalagi pada masa ancaman wabah seperti sekarang ini, masker merupakan salah satu alat pelindung diri yang sangat dianjurkan dipakai ketika berada di luar rumah, termasuk ketika harus ke masjid atau musala untuk salat berjemaah. Dengan demikian, masker telah menjadi suatu kebutuhan (al- ḥājah) mendasar yang mendesak untuk dipenuhi. Hal ini selaras dengan kaidah fikih:
اَلْحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ
Adanya suatu kebutuhan menempati kondisi kedaruratan.
Alquran juga sudah menegaskan dengan jelas dalam Q.S.al-Baqarah/2:195:
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (195)
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
Dalam fikih telah diterima asas kebolehan terjadinya perubahan hukum bahkan ini telah dirumuskan dalam kaidah fikih dan diterima oleh para ulama, yaitu kaidah:
لاَ يُنْكَرَ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ
Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman, tempat dan keadaan.
Menurut Syamsul Anwar (Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Periode 2015-2020), ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk suatu hukum dapat berubah yaitu:
1. Adanya tuntutan kemaslahatan untuk berubah, berarti bahwa apabila tidak ada tuntutan dan keperluan untuk berubah, maka hukum tidak dapat diubah.
2. Hukum itu tidak mengenai pokok ibadah mahdah, melainkan di luar ibadah mahdah, yang berarti ketentuan-ketentuan ibadah mahdah tidak dapat diubah karena pada dasarnya hukum ibadah itu bersifat tidak bebas makna.
3. Hukum itu tidak bersifat qat’i, apabila hukum itu qat’i, maka tidak dapat diubah seperti ketentuan larangan makan riba, makan harta sesama dengan jalan batil, larangan membunuh, larangan berzina, wajibnya puasa Ramadan, wajibnya salat lima waktu, dan sebagainya.
4. Perubahan baru dari hukum itu harus berlandaskan kepada suatu dalil syar’i juga, sehingga perubahan hukum itu tidak lain adalah perpindahan dari suatu dalil kepada dalil yang lain.
Penutup
Berdasarkan pandangan Pimpinan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang diperkuat dalam bentuk surat Edaran Pimpinan Pusat Muhamma diyah Nomor 05/Edr/I.0/E/2020 tentang Tuntunan Dan Panduan Menghadapi Pandemi Dan Dampak Covid-19, tentu konsekuensinya adalah seluruh warga Persyarikatan Muhammadiyah seluruh Indonesia mesti mematuhinya, tidak boleh ada pembangkangan. Karena semua putusan yang ditetapkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah disertai dengan dalil-dalil yang jelas berdasarkan Manhaj Tarjih Muhammadiyah, yaitu ruju’ ila al-Qur’am dan as-Sunnah al-Maqbulah. Jadi, tidak ada alsan untuk tidak mematuhinya.