Wawasan Manhaj Tarjih Muhammadiyah ( Bagian ketiga )
Oleh : Dr. Sulidar, M.Ag
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara
Periode 2015-2020.
B. Sumber-sumber Ajaran Agama
Manhaj (metodologi) tarjih juga mengandung pengertian sumber-sumber pengambilan diktum ajaran agama. Sumber pokok ajaran agama Islam adalah Alquran dan as-Sunnah yang ditegaskan dalam sejumlah dokumen resmi Muhammadiyah, yaitu antara lain:
1. Pasal 1 ayat (2) Anggaran Dasar Muhammadiyah yang menyatakan bahwa: “Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar berasaskan Islam, dan bersumber pada Alquran dan as-Sunnah.”
2. Putusan Tarjih di Jakarta Tahun 2000 Bab II angka 1, menegaskan,“Sumber ajaran Islam adalah Alquran dan as-Sunnah al-Maqbulah”. Putusan Tarjih ini merupakan penegasan kembali apa yang sudah ditegaskan dalam putusan terdahulu-putusan terdahulu, yaitu:
اَلْأَصْلُ فِي التَشْرِيْعِ اْلإِسْلاَمِيِّ عَلَى اْلإِطْلاَقِ هُوَ الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ وِالْحَدِيْثُ الشَّرِيْفُ.
Dasar mutlak dalam penetapan hukum Islam adalah Alquran dan al-Hadis asy-Syarif.
Mengenai al-Hadis (as-Sunnah) yang dapat menjadi hujjah adalah as-Sunnah al-Maqbulah, seperti ditegaskan dalam Putusan Tarjih Jakarta Tahun 2000 yang dikutip di atas. istilah as-Sunnah al-Maqbulah merupakan perbaikan terhadap rumusan lama dalam Putusan Himpunan Putusan Tarjih (HPT) tentang defenisi agama Islam yang menggunakan “as-Sunnah as-Sahihah”. Istilah as-Sunnah as-Sahihah sering me nimbulkan salah paham dengan mengindektifkannya dengan hadis sahih. Akibatnya hadis hasan tidak diterima sebagai hujjah syari’ah, padahal sudah menjadi ijmak seluruh umat Islam bahwa hadis hasan juga menjadi hujjah agama. Oleh karena itu, untuk meng hindari salah paham tersebut, rumusan itu diperbaiki sesuai dengan maksud sebenarnya dari rumusan bersangkutan, yaitu: bahwa yang dimaksud dengan as-Sunnah as-Sahihah adalah as-Sunnah yang bisa menjadi hujjah, yaitu hadis sahih dan hadis hasan. Karenanya dalam rumusan baru dikatakan, as-Sunnah al-Maqbulah, yang berarti as-Sunnah yang dapat diterima sebagai hujjah agama, baik berupa hadis sahih maupun hadis hasan.
Dalil tentang pengambilan kedua sumber tersebut, merujuk pada Hadis Rasul:
حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ.
Telah menceritakan kepadaku dari Malik bahwasannya dia menyampaikan bahwa Rasul saw bersabda : “Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian. Jika kalian berpegang kepada keduanya, niscaya tidak akan ter sesat, yaitu kitab Allah (Alquran) dan Sunnah Rasul-Nya.” (H.R.Malik).
Hadis di atas memberikan penegasan bahwa Rasul saw meninggalkan dua pusaka yang sangat berharga, yang jika umat Islam berpegang teguh terhadap kedua pusaka tersebut, maka tidak akan sesat baik di dunia maupun di akhirat. Adapun pusaka yang diting galkan Rasul saw adalah Alquran dan as-Sunnah.
Muhammadiyah menetapkan aqidah dan ibadah, dalam manhaj tarjihnya, hanya mengambil hadis yang berkategori maqbul atau diterima, yakni berkualitas sahih dan hasan, tidak menerima hadis yang berkategori mardud atau ditolak.
Hadis daif tidak dapat dijadikan hujjah syar’iah. Menurut Prof. Syamsul Anwar, hadis daif tidak dapat dijadikan hujjah syar’iah. Namun ada suatu perkecualian di mana hadis daif bisa juga menjadi hujjah, yaitu apabila hadis tersebut:
a. Banyak jalur periwayatannya sehingga satu sama lain saling menguatkan.
b. Ada indikasi berasal dari Nabi saw.
c. Tidak bertentangan dengan Alquran.
d. Tidak bertentangan dengan hadis lain yang sudah dinyatakan sahih.
e. Kedaifannya bukan karena rawi hadis bersangkutan tertuduh dusta dan pemalsu hadis.
Dalam Putusan Tarjih ditegaskan:
اْلأَحَادِيْثُ الضَّعِيفَةُ يَعْضَدُ بَعْضُهَا بَعْضًا لاَيُحْتَجُّ بِهَا إِلاَّ مَعَ كَثْرَةِ طُرُقِهَا وَفِيْهَا قَرِيْنَةٌ تَدُلُّ عَلَى ثبُوُتِ اَصْلِهَا وَلَمْ تُعَارِضِ الْقُرْآنَ وَالْحَدِيْثَ الصَّحِيْحَ.
Arinya : Hadis-hadis da‘if yang satu sama lain saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah kecuali apabila banyak jalannya dan padanya terdapat karinah yang menunjukkan keotentikan asalnya serta tidak bertentangan dengan Alquran dan hadis sahih.
Apa yang dikemukakan di atas adalah sumber-sumber pokok ajaran Islam secara umum. Dalam kaitan dengan sistem normatif Islam terdapat sumber-sumber yang mendampingi sumber-sumber pokok. Sumber-sumber pendamping ini dapat disebut sebagai sumber-sumber paratekstual atau juga sumber-sumber instrumental. Sumber-sumber ini juga dapat diterima dan diakui dalam praktik ketarjihan, seperti ijma’, qiyas, maslahat mursalah, istihsan, tindakan preventif (sadduz zari’ah).
Berdasarkan pengamatan Prof. Syamsul Anwar, bahwa beberapa kalangan dalam Muhammadiyah memandang unsur-unsur ini sebagai metode, bukan sebagai sumber. Pandangan ini terjadi karena melihat unsur-unsur tersebut lebih sebagai proses.Padahal unsur-unsur dimaksud tidak harus dilihat sebagai proses. Ijmak misalnya, apabila dilihat sebagai proses, maka kesimpulannya ijmak adalah karena ijmak memerlukan waktu panjang yang melampaui usia manusia di satu sisi dan teramat sulit untuk menentukan kualifikasi siapa yang harus berijmak di sisi lain. Sebaliknya apabila ijmak dilihat sebagai produk, maka ia tidak mungkin menjadi metode, justru ia adalah sumber. Dalam Putusan Tarjih mengenai wakaf digunakan ijmak sebagai salah satu dasar putusan nya di samping sumber nash, di mana dikatakan,“Dan karena ijmak ahli fikih bahwa syarat (klausul) wakif itu sama kedudukannya dengan nash syarak.”
Al-Ghazali (w.505 H/1111 M) mendefenisikan ijmak sebagai,“Kesepakatan umat Muhammad saw secara khusus mengenai suatu masalah agama.” Konsepsi ijmak menurut fakih filosof sufi ini lebih bersifat populis karena melibatkan seluruh warga masyarakat Muslim. Pada sisi lain ada pandangan yang mengkonsepsikan ijmak sebagai lebih elitis karena ijmak dirumuskan sebagai kesepakatan para mujtahid sesudah zaman Nabi saw atas suatu masalah yang belum terdapat ketentuannya dalam Alquran.
Terlepas dari apapun konsepsinya Ijmak, yang jelas bahwa manusia sebagai makhluk sosial dalam hidup bermasyarakat tidak pernah lepas dari adanya kesepakatan-kesepakatan dalam sejumlah masalah keagamaan. Oleh karena itu Muhammadiyah tidak mungkin, mengabaikannya. Dalam Putusan Tarjih ijmak telah digunakan sebagai dasar argumen. (BERSAMBUNG )