Wawasan Manhaj Tarjih Muhammadiyah (bagian ke-4)
Oleh : Dr. Sulidar, M.Ag
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara
Periode 2015-2020.
Qiyas
Qiyas juga tidak harus dilihat sebagai proses, yaitu tindakan melakukan analogi, tetapi qiyas dapat juga diartikan sebagai kesamaan (istiwa’). Al-Amidi misalnya, mendefenisikan qiyas sebagai, “Persamaan kasus cabang dan kasus pokok dalam kausa yang diistinbatkan dari hukum kasus pokok.”[1] Jadi sumber hukum syar’i dalam kaitan dengan qiyas adalah kesamaan suatu kasus dengan kasus yang sudah ditegaskan hukumnya dalam nash. Dengan makna seperti ini qiyas tidak salah pandang sebagai sumber. Dalam Putusan Tarjih tentang Masalah Lima sudah terdapat penegasan tentang penggunaan qiyas.
وَمَتَى اسْتَدْعَتِ الظُرُوْفُ عِنْدَ مُوَاجَهِةِ اُمُوْرِ وَقَعَتْ وَدَعَتِ الْحَاجَةُ اِلَى العَمَلِ بِهَا وَلَيْسَتْ هِيَ مِنْ اُمُوْرِ الْعِبَادَاتِ الْمَخْضَةِ وَلَمْ يُرِدْ فِيْ حُكْمِهَا نَصٌّ صَرِيْحٌ مِنَ الْقُرْآنِ أَوِالسُّنَّةِ الصَّحِيْحَةِ فَالْوُصُوْلُ إِلَى مَعْرِفَةِ حُكْمِهَا عَنْ طَرِيْقِ اْلاِجْتِهَادِ وَاْلاِسْتِنْبَاطِ مِنَ النُّصُوصِ الوَارِدَةِ عَلَى أَسَاسِ تَسَاوِي الْعِلَلِ كَمَا جَرَى عَلَيْهِ اْلعَمَلُ عِنْدَ عُلَمَاءِ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ.
Artinya : Bilamana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak bersangkutan dengan ibadah mahdah padahal untuk alasannya tidak terdapat nas yang sarih di dalam Alquran atau Sunnah sahihah (maqbulah), maka jalan untuk mengetahui hukumnya adalah melalui ijtihad dan istinbat dari nas-nas yang ada berdasarkan persamaan ‘illat sebagaimana telah dilakukan oleh ulama klasik (salaf) dan modern (khalaf).[2]
Maslahat Mursalah
Maslahat Mursalah dalam fatwa Tarjih juga telah digunakan antara lain mengenai fatwa tentang keharusan dilakukan perceraian di depan sidang pengadilan. Istihsan digunakan dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) untuk membolehkan penjualan harta wakaf atau perubahan pemanfaatan yang berbeda dengan syarat (klausul) wakif karena alasan-alasan yang menghendaki perubahan tersebut. Argumen terhadap kebolehan ini dalam Putusan Tarjih tesebut guna menjaga maslahat (hifzan li al-maslahat).[3] Kebijakan menyimpang aturan pokok karena suatu alasan tertentu yang dibenarkan oleh syariah dalam usul fikih disebut dengan istihsan.
Sadduz zari’ah
Menurut Al-Syatibi, sadd az-zari’ah (سَدُّ الذَّرِيْعَة) ialah: (التَّوَصَّلُ بِمَا هُوَ مَصْلَحَةُ اِلَى مَفْسَدَتِهِ): “Melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan)”. Jadi maksud dari sadduz zari’ah merupakan suatu metode penggalian hukum Islam dengan mencegah, melarang, menutup jalan atau wasilah suatu pekerjaan yang awalnya dibolehkan karena dapat menimbulkan sesuatu yang menyebabkan terjadinya kerusakan.
Adapun mengenai sadduz zari’ah digunakan dalam HPT untuk melarang wakaf untuk hal-hal yang bersifat maksiat atau yang dapat menimbulkan fitnah dengan argumen “saddan li az-zari’ah’.[4] Saat ini, karena terjadinya pandemi covid-19 yang terjadi di seluruh dunia, termasuk Indonesia, maka Majelis Tarjih selama adanya pandemi Covid-19 ini ada 3 fatwa yang diterbitkan dan dibuat Surat Edarannya oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah (SE PPM), yaitu: (1) SE PPM Nomor 02/EDR/I.0/E/2020, tentang Tuntunan Ibadah dalam Kondisi Darurat Covid-19; (2) SE PPM Nomor 04/EDR/I.0/E/2020, tentang Tuntunan Salat Idulfitri dalam Kondisi Darurat Pandemi Covid-19; dan (3) Nomor 05/EDR/I.0/E/2020, tentang Tuntunan dan Panduan Menghadapi pandemi dan Dampak Covid-19. Ditegaskan dalam Fatwa Majelis Tarjih tentang Tuntunan Salat Idul Fitri dalam Kondisi Darurat Pandemi Covid-19, pada no 6.a. Apabila pada tanggal 1 Syawal 1441 H yang akan datang keadaan negeri Indonesia oleh pihak berwenang (pemerintah) belum dinyatakan bebas dari pandemi Covid-19 dan aman untuk berkumpul orang banyak maka Shalat Idulfitri di lapangan sebaiknya ditiadakan atau tidak dilaksanakan. Hal ini untuk memutus rantai mudarat persebaran virus korona tersebut agar kita cepat terbebas daripadanya dan dalam rangka sadduz zari’ah (tindakan preventif) guna menghindarkan kita jatuh ke dalam kebinasaan seperti diperingatkan dalam Alquran (Q.S.al-Baqarah/2:195) dan demi menghindari mudarat seperti ditegaskan dalam sabda Nabi saw yang sudah dikutip dalam “Tuntunan Ibadah dalam Kondisi Darurat Covid-19,” yang disebut terdahulu. Inilah di antara contoh penggunaan sadduz zari’ah oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Fatwa Sahabat
Mengenai Fatwa Sahabat dalam kaidah tentang usul fikih di HPT adalah penegasan bahwa hadis maukuf murni tidak dapat dijadikan hujjah. Ini berarti bahwa fawa Sahabat (yang merupakan hadis maukuf) tidak dapat dijadikan sumber norma ajaran agama. Namun adalam beberapa hal fatwa Sahabat dapat dijadikan hujjah, apabila fatwa itu memiliki sisi kemarfukan kepada Nabi saw (memiliki dimensi marfu’).[5]
Selanjutnya, tentang fatwa keharusan penjatuhan talaq di depan sidang pengadilan, selain didasarkan atas pertimbangan maslahat juga didasarkan atas ketentuan hukum yang berlaku. Ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat dapat dipandang sebagai uruf (uruf qanun) dengan ketentuan tidak bertentangan dengan nash sarih, atau ada nash, namun nash itu perlu ditafsir ulang demi mewujudkan kondisi yang lebih mas lahat, dan atau dalam hukum syarak mengenai hal itu belum diatur. Dengan demikian uruf pun dalam praktik ketarjihan juga diakui.
- Pendekatan
Dalam Putusan Tarjih Tahun 2000 di Jakarta dijelaskan bahwa pendekatan dalam ijtihad Muhammadiyah menggunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani.
1) Pendekatan Bayani
Pendekatan bayani adalah merespons perma salahan dengan titik tolak utama adalah nash-nash syariah (Alquran dan as-Sunnah). Hal ini biasanya banyak digunakan dalam memecahkan masalah-masalah terkait ibadah khusus (mahdah) karena asas hukum syari’ah tentang ibadah menegaskan bahwa “ibadah itu pada asasnya tidak dapat dilaksanakan kecuali yang disyariatkan.” Perhatikan kaedah usul fikih berikut ini:
اَلأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ الْبُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ الدَّلِيْلُ عَلَى اْلأَمْرِ
Hukum asal ibadah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkan.[6]
Asas ini menegaskan bahwa suatu ritus ibadah tidak sah dilakukan apabila tidak ada dalil dari nash Alquran atau as-Sunnah/al-Hadis yang mensyariatkannya. Apabila orang mengerjakan suatu bentuk ibadah yang tidak disahkan dalam Sunnah Nabi saw, maka ibadah tersebut tidak sah sesuai dengan sabda Nabi saw sebagai berikut:
قَالَ أَخْبَرَتْنِي عَائِشَةُأَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ عَمِلَ عَمَلا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
Aisyah telah mengabarkan kepadaku bahwa Rasul saw. bersabda: “Barangsiapa mengamalkan suaru perkara yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak.” H.R. Muslim. No. 3243.
Sabda Rasul saw di atas memberikan penegasan bahwa semua ibadah mestilah ada contoh atau perin tah dari Rasul saw, sebab berdasarkan Q.S.an-Nisa/4 :59; yang mesti dipatuhi dan ditaati adalah Allah swt dan Rasul saw. Dengan demikian dalam masalah ibadah khusus (ibadah mahdhah) pendekatan bayani banyak digunakan.
2) Pendekatan Burhani
Pendekatan burhani adalah merespons permasalahan dengan banyak menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan umum yang berkembang, seperti dalam ijtihad mengenai penentuan awal bulan qamariah, khususnya bulan-bulan terkait ibadah, seperti Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah. Dalam ijtihad Muhammadiyah untuk masalah ini banyak digunakan capaian-capaian mutakhir ilmu falak, sehingga untuk ini tidak lagi digunakan rukyat. Pendekatan ini dimaksudkan untuk memberikan dinamika kepada pemikiran tarjih (pemikiran keislaman) Muhammadiyah, khususnya di luar bidang ibadah khusus (ibadah mahdhah). Berbagai permasalahan sosial dan kemanusiaan yang timbul tidak hanya didekati dari sudut nas-nas syariah, tetapi juga didekati dengan menggunakan ilmu pengetahuan yang relevan. Nas-nas baik berupa Alquran maupun as-Sunnah, meskipun banyak yang bersifat universal, namun turun dalam konteks tertentu dan untuk menyapa situasi tertentu.
Oleh karena itu, apabila konteks penerapannya di zaman sekarang telah berubah, maka pemahaman terhadapnya perlu dilakukan kontekstualisasi dengan memanfaatkan temuan berbagai ilmu terkait. Tetapi kontekstualisasi tidak memaksa nas agar mengikuti konteks saja sehingga terjadi pemerkosaan nas agar sesuai dengan konteks sehingga nas hanya berfungsi sebagai legitimasi terhadap penafsiran yang kita buat. Konteks memberikan wawasan kepada kita bagaimana memahami nas, tetapi nas juga dalam waktu yang sama menerangi kita dan memberikan petunjuk bagaimana kita menangani konteks, yang semuanya dilakukan dalam bingkai maqashid asy-syari’ah sebagai ruang makna.
3) Pendekatan ‘Irfani
Pendekatan ‘irfani berdasarkan kepada upaya meningkatkan kepekaan nurani dan ketajaman intuisi batin melalui pembersihan jiwa, sehingga suatu keputusan tidak hanya didasarkan kepada kecanggihan otak belaka, tetapi juga didasarkan atas adanya kepekaan nurani untuk menginsafi berbagai masalah dan keputusan yang diambil mengenainya dan mendapatkan petunjuk dari Yang Maha Tinggi.
Perlu diperhatikan bahwa penggunaan ketiga pendekatan tersebut tidak dilakukan secara alternatif di mana satu dan apabila tidak dimungkinkan diambil yang lain. Pendekatan-pendekatan tersebut digunakan secara sirkular, yakni digunakan bersama-sama apabila diperlukan. Namun apabila digunakan satu atau dua di antaranya hal itu sudah mencukupi, maka yang lain tidak diperlukan. Penggunaan ketiga pendekatan ini dimaksudkan untuk satu sama lain saling melengkapi.
[1] Syamsul Anwar, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, h. 23. Beliau mengutip Al-Amidi, al-Ihkam fi usul al-Ahkam (Riyad: Dar as-Suma’I li an-Nasyr wa at-tauzi’, 1424 H/2003 M), jilid III, h. 237.
[2]Himpunan Putusan Tarjih, cet. Ke-3, h. 278.
[3] Ibid. h. 274.
[5] Ibid. h. 300.
[6]Imam Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, T.Tp: Maktabah Al Kulliyat Al Azhariyah: 1968M-1388H. 1/344.. Syaikh Zakariya bin Ghulam Qadir Al Bakistani, Ushul Al Fiqh ‘Ala Manhaj Ahli Al Hadits, T.Tp: Darul Kharaz Cet. 1. 2002M-1423H. h. 45. ( BERSAMBUNG )