Oleh : Dr. Sulidar, M.Ag
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara
Periode 2015-2020.
Uraian defenisi Manhaj Tarjih.
Defenisi manhaj tarjih, sebagaimana telah disebutkan bagian pertama, memuat 4 unsur:
A. Wawasan (atau semangat/perspektif) Tarjih Muhammadiyah
B. Sumber ajaran.
C. Pendekatan.
D. Metode (prosedur-prosedur tehnis).
A. Wawasan /Perspektif Tarjih Muhammadiyah
1. Wawasan paham agama.
2. Wawasan tajdid.
3. Wawasan toleransi.
4. Wawasan keterbukaan
5. Wawasan Tidak berafiliasi mazhab tertentu.
Uraian Wawasan Tarjih Muhammadiyah
1. Wawasan paham agama.
Pengertian Agama secara umum
اَلْدِّيْنُ هُوَ مَا شَرَعَهُ اللهُ عَلَى لِسَانِ أَنْبِيَائِهِ مِنَ الأَوَامِرِ وَالنَّوَاهِى وَالاِرْشَاداتِ لِصَلاَحِ الْعِبَادِ دُنْيَاهُمْ وَأُخْرَاهُمْ.
Agama adalah apa yang disyariatkan Allah dengan perantaraan nabi-nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan berupa petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat.
Pengertian Agama Islam
Putusan Tarjih mendefenisikan agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, yaitu:
الْدِّيْنُ (أَيْ اَلْدِّيْنُ اْلإِسْلاَمِيُّ) الَّذِيْ جَاءَ بِهِ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هُوَ مَا أَنْزَلَ اللهُ فِي الْقُرْآنِ وَمَا جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ الصَّحِيْحَةُ(أَيْ الْمَقْبُوْلَةُ) مِنَ الأَوَامِرِ وَالنَّوَاهِى وَالاِرْشَاداتِ لِصَلاَحِ الْعِبَادِ دُنْيَاهُمْ وَأُخْرَاهُمْ.
Agama (ad-Din), yakni agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, ialah apa yang diturunkan Allah di dalam Alquran dan yang tersebut dalam Sunnah yang sahih [maksudnya al-maqbulah], berupa perintah-perintah dan larangan-larangan berupa petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat.
Merujuk pada pandangan Syamsul Anwar, (ke tua MTT PPM 2015-2020), beliau mengungkapkan untuk melengkapi konsep di atas, perlu melihat agama dari segi hakikatnya sebagaimana yang diresapi dan dimanisfetasikan oleh pelakunya.
Maka defenisi agama adalah : “Suatu pengalaman imani yang terekspresikan dalam wujud amal salih yang dijiwai oleh Islam, ihsan dan syariah.” Dengan demikian, agama meliputi unsur-unsur: (1) inti yang berupa pengalaman imani, (2) bentuk yang berupa norma-norma syariah sebagai kerangka rujukan, dan (3) manifestasi yang berupa amal.
Ekspresi pengalaman imani melahirkan budaya dan tidak jarang terjadi peminjaman wadah budaya yang sudah ada dalam masyarakat untuk menampung ekspresi tersebut. Dalam kasus ini, manifestasi agama mengalir ke dalam wadah budaya yang sudah ada sehingga terjadi tarik-menarik dan pergumulan antara agama dan budaya bersangkutan.
Tidak jarang terjadi bahwa kerangka rujukan normatif yang memberikan arahan bagi manifestasi pengalaman imani itu harus diperluas untuk dapat menampung wujud ekspresi yang terus berkembang sehingga norma-norma yang ada harus diperluas atau diinterpretasi ulang guna menfasilitasi ekspresi budaya. Di sinilah wilayah tajdid dan ijtihad memainkan peran penting.
2. Wawasan Tajdid
Tajdid sebagai karakteristik pemikiran Islam Muhammadiyah diingat dalam memori kolektif warga masyarakat Muslim Indonesia yang melabeli gerakan ini sebagai gerakan kaum modernis.
Dalam kaitan dengan manhaj tarjih, tajdid menggambarkan orientasi dari kegiatan tarjih dan corak produk ketarjihan. Tajdid mempunyai dua arti:
1. Dalam bidang akidah dan ibadah, tajdid bermakna pemurnian dalam arti mengem balikan akidah dan ibadah kepada pemurniannya sesuai dengan Sunnah Nabi saw.
2. Dalam bidang muamalat duniawiyah, tajdid berarti mendinamisasikan kehidupan masyarakat dengan semangat kreatif dan inovatif sesuai tuntutan zaman.
Pemurnian ibadah berarti menggali tuntunannya sedemikian rupa dari Sunnah Nabi saw untuk menemukan bentuk yang paling sesuai atau paling mendekati Sunnah beliau.
Mencari bentuk paling sesuai dengan Sunnah Nabi saw tidak mengurangi arti adanya keragaman (tanawwu’) dalam kaifiyat ibadah itu sendiri, sepanjang kaifiyat itu memang mempunyai landasannya dalam Sunnah Nabi saw.
Contohnya adalah adanya variasi bacaan doa iftitah dalam salat, yang menunjukkan bahwa Nabi saw sendiri melakukannya secara variasi. Varian ibadah yang tidak didukung oleh Sunnah Nabi saw menurut Tarjih Muhammadiyah tidak dapat dipandang praktik ibadah yang bisa diamalkan.
Pemurnian akidah berarti melakukan pengkajian untuk membebaskan akidah dari unsur-unsur khurafat dan tahayul. Diktum keimanan yang dapat dipegangi adalah apa yang ditegaskan dalam Alquran dan as-Sunnah.
Kepercayaan yang tidak bersumber kepada kedua sumber asasi tersebut tidak dapat dipegangi. Kepercayaan bahwa angka 13 adalah sial, misalnya, tidak ada dalilnya dalam Alquran dan as-Sunnah.
Dalam tradisi pemilihan Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui muktamar selalu dipilih 13 anggota pimpinan. Pemilihan 13 anggota pimpinan ini adalah suatu bentuk perlawanan terhadap kepercayaan tentang kesialan angka 13.
Tajdid di bidang muamalat duaniawiyah (bukan akidah dan ibadah khsusus), berarti mendinamisasikan kehidupan masyarakat sesuai dengan capaian kebudayaan yang dapat diwujudkan manusia di bawah semangat dan ruh Alquran dan Sunnah Nabi saw.
Bahkan dalam aspek ini beberapa norma di masa lalu dapat berubah bila ada keperluan dan tuntutan untuk berubah dan memenuhi syarat-syarat perubahan hukum syarak. Misalnya di zaman lampau untuk menentukan masuknya bulan Qamariyah baru, khususnya Ramadan, Syawal dan Zulhijjah, digunakan rukyat sesuai dengan hadis-hadis rukyat dalam mana Nabi saw memerintahkan untuk melakukan pengintaian hilal.
Namun pada zaman sekarang tidak lagi digunakan rukyat melainkan hisab, sebagaimana dipraktikkan dalam Muhammadiyah.
Contoh lain, di masa lalu perempuan tidak dibolehkan menjadi pemimpin karena hadis Abu Bakrah yang melarangnya, maka di zaman sekarang terjadi perubahan ijtihad hukum di mana perempuan boleh menjadi pemimpin sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Tarjih tentang Adabul Mar’ah fil Islam, yang merupakan Putusan Tarjih tahun 1976.
3. Wawasan Toleransi
Toleransi artinya bahwa Putusan Tarjih tidak menganggap dirinya saja yang benar, sementara yang lain tiadak benar. Dalam “Penerangan tentang Hal Tardjih” yang dikeluarkan tahun 1935, dinyatakan, “Kepoetoesan tardjih moelai dari meroendingkan sampai kepada menetapkan tidak ada sifat perlawanan, jakni menentang ataoe menjatoehkan segala yang tidak dipilih oleh Tardjih itoe.”
Pernyataan ini menggambar kan bahwa Tarjih Muhammadiyah tidak menegasikan pendapat lain apalagi menyatakannya tidak benar. Tarjih Muhammadiyah memandang keputusan-keputusan yang diambilnya adalah suatu capaian maksimal yang mampu diraih saat mengambil keputusan itu.
Oleh karena itu Tarjih Muhammadiyah terbuka terhadap masukan baru dengan argumen yang lebih kuat, keterbukaan terhadap penemuan baru adalah prinsip berikutnya dalam wawasan ketarjihan Muhammadiyah.
4. Wawasan Keterbukaan
Keterbukaan artinya bahwa segala yang diputuskan oleh Tarjih dapat dikritik dalam rangka melakukan perbaikan, di mana apabila ditemukan dalil dan argumen lebih kuat, maka Majelis Tarjih akan membahasnya dan mengoreksi dalil dan argumen yang dinilai kurang kuat. Dalam “Penerangan tentang Hal Ta djih”, ditegaskan, “Malah kami berseroe kepada sekalian oelama soepaya soeka membahas poela akan kebenaran poetoesan Majelis Tardjih itoe di mana kalaoe terdapat kesalahan ataoe koerang tepat dalilnja diharap soepaja diajoekan, sjoekoer kalaoe dapat memberikan dalil jang lebih tepat dan terang, jang nanti akan dipertimbangkan poela dioelang penjelidikannja, kemoedian kebenarannja akan ditetapkan dan digoenakan. Sebab waktoe mentardjihkan itoe ialah menoeroet sekedar pengertian dan kekoeatan kita pada waktoe itoe.
5. Wawasan tidak berafiliasi mazhab tertentu
Memahami agama dalam perspektif tarjih dilakukan langsung dari sumber-sumber pokoknya, Alquran dan as-Sunnah melalui proses ijtihad dengan metode-metode ijtihad yang ada. Ini berarti Muhammadiyah tidak berafiliasi kepada mazhab tertentu. Namun ini tidak berarti menafikan berbagai pendapat fukaha yang ada. Pendapat-pendapat mereka itu sangat penting dan dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan diktum norma/ajaran yang lebih sesuai dengan semangat di mana kita hidup.