Bulan Ramadan dikenal memiliki banyak nama yang agung. Satu di antaranya ialah disebut sebagai bulan Al Quran. Faktanya, Al Quran diturunkan pada bulan Ramadan. Hal ini termaktub dalam QS. Al Baqarah ayat 185: “Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk bagi umat manusia.”
Untuk memahami hal ini, pertama-tama penting untuk mengetahui bahwa ada tahapan turunnya Al-Qur’an. Al-Quran yang tercatat dalam Al-Lauh Al-Mahfuz pertama kali diturunkan ke Langit Dunia (Sama’-Dunya) pada malam yang dikenal dengan Lailatul Qadr. Dalam QS. Al Qadr ayat 1 disebutkan: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam qadar.” Juga dalam QS. Ad Dukhan ayat 3: “sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam yang diberkahi.”
Setelah turun di Langit Dunia, Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Saw secara bertahap sepanjang rentang waktu 23 tahun kenabian, baik di Makkah maupun Madinah. Berbeda dengan kitab suci yang diturunkan sebelumnya seperti Taurat, Zabur dan Injil, Al-Quran tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai kitab yang lengkap sekaligus. Wahyu bertahap ini diturunkan kepada Nabi Saw menandai tahap kedua turunnya Al-Quran.
Kalam Allah pertama yang turun kepada Nabi Saw inilah yang kemudian dikenal dengan malam Nuzul Al-Quran atau 17 Ramadan. Hal ini terjadi ketika Nabi Saw pertama kali bertemu Jibril As di Jabal Nur di gua Hira di mana malaikat memintanya untuk membaca sehingga mengungkapkan lima ayat pertama Surat Al-‘Alaq: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Berdasarkan penjelasan di atas, Lailatul Qadar mengacu pada turunnya Al-Quran tahap pertama, sedangkan Nuzul Al-Quran mengacu pada turunnya wahyu pertama dari turunnya Al-Quran tahap kedua. Keduanya merupakan malam berkah yang terjadi di bulan Ramadan.
Kompilasi Al Quran
Pada masa Nabi, Al-Quran belum berbentuk kitab yang disusun (mushaf). Sebaliknya, Al-Quran dihafal dengan hati. Nabi Saw disebutkan dalam sebuah hadis: “Ambillah Al-Quran dari empat orang: Abdullah Ibnu Mas’ud, Salim, Muaz Ibnu Jabal dan Ubayy Ibnu Ka’ab. (HR. Al-Bukhari).
Meski hanya empat sahabat yang disebutkan dalam hadis tersebut, namun masih banyak lagi penghafal Al-Quran lainnya, seperti Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Darda’, Abu Musa Al-Ash’ari dan Ummu Waraqah hanya untuk beberapa nama.
Bahkan ketika tulisan belum dianggap sebagai media utama transmisi ilmu pengetahuan, Nabi Saw juga menugaskan sahabat-sahabat yang lebih muda sebagai juru tulis seperti Zayd Ibn Tsabit untuk menulis ayat atau surah Al-Quran dengan bahan apa pun yang mereka miliki.
Sepeninggal Rasulullah dari dunia ini, para sahabat akhirnya menjadi rujukan utama dalam ilmu Al-Qur’an. Hal ini kemudian menjadi perhatian terutama setelah pertempuran Yamamah ketika sejumlah besar penghafal Al-Quran, yang juga dikenal sebagai Huffaz, menjadi martir dalam pertempuran.
Umar bin Al-Khattab mengusulkan gagasan mengumpulkan dan mendokumentasikan Al-Quran menjadi satu salinan untuk referensi di masa mendatang. Abu Bakar selaku Khalifah saat itu awalnya enggan, namun akhirnya menyetujui gagasan tersebut dan menugaskan Zayd Ibn Tsabit sebagai penulis utama untuk mengawasi tim dan menjalankan tugas penting ini.
Dengan demikian salinan/kitab Al-Quran pertama yang dikompilasi diterbitkan dan tetap berada di tangan Abu Bakar sampai kepergiannya dari dunia ini. Kemudian diwariskan kepada Umar Ibn Al-Khattab sebagai khalifah kedua, dan kemudian kepada putrinya Hafsah menjelang akhir hidupnya.
Tugas kedua mengumpulkan Al-Qur’an terjadi pada masa Utsman bin ‘Affan sebagai Khalifah ketiga, di mana umat Islam mulai tumbuh dengan kecepatan eksponensial. Banyak di antara mereka yang baru mengenal Islam. Hal ini kemudian menyebabkan terjadinya ‘gaya’ pembacaan Al-Qur’an yang tidak terorganisir dan beragam.
Tim lain yang menjalankan tugas dipimpin oleh Zayd Ibn Tsabit demikian dimulai oleh Utsman untuk mencegah kebingungan dan untuk membakukan gaya pengajian yang dipandu oleh dialek Quraisy—yang menjadi dasar diturunkannya Al-Qur’an. Gaya dan aksara standar ini kemudian diciptakan sebagai Rasm Utsmaniyy (Aksara Utsmani), versi yang kita gunakan saat ini. Utsman kemudian memastikan bahwa salinannya dibuat dalam beberapa eksemplar untuk dikirim ke kota-kota besar pada saat itu dan bahan tertulis lainnya dibakar.
Penting juga untuk dicatat bahwa meskipun Al-Quran dikumpulkan jauh setelah wafatnya Nabi, beliau Rasulullah Saw telah menyebutkan urutan khusus surat dan ayat Al-Quran semasa hidupnya ketika ayat-ayat tersebut diturunkan. Ini berarti bahwa setiap kata dan perintah dalam Al-Qur’an adalah kata demi kata (tawqifi). Para sahabat telah menyepakati hal ini dengan mengecek ulang catatan dan hafalan Al Quran masing-masing.
Melalui kontribusi para sahabat dan ulama inilah umat Islam dapat membaca dan belajar Al-Quran dengan lebih mudah. Saat ini, umat Islam di seluruh dunia terus berusaha dan menghafal Al-Quran, menjadikannya sebagai kewajiban bersama. Upaya dan keberhasilan besar ini juga dapat dilihat sebagai bagian dari cara Allah menjaga Al-Qur’an hingga akhir zaman: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Peringatan (Al-Qur’an), dan Sesungguhnya Kamilah yang memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9).
Jika kita masih baru mengenal Al-Quran, Ramadan bisa menjadi awal yang baik untuk membuka dan mendalami kitab ajaib tersebut. Jika kita sudah belajar mengaji, Ramadan adalah kesempatan untuk memperbanyak hafalan Al-Qur’an.
Mari kita manfaatkan kesempatan ini untuk menjadi bagian dari upaya bersama melestarikan Al-Quran dengan belajar cara mengaji dan menginternalisasikan makna-maknanya untuk mewujudkan nilai-nilai Al-Quran dalam kehidupan kita sehari-hari. (muhammadiyah.or.id)