Tolak NA & RUU HIP
Oleh : Dr. Abdul Hakim Siagian, SH., M.Hum
Dosen UMSU dan Direktur LADUI MUI Sumut
Naskah Akademik (NA) dan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) saat ini sedang ramai diperbincangkan. Bagaimana tidak, NA yang terdiri dari 100 halaman dan draft RUU HIP per tanggal 26 April 2020 yang terdiri atas 10 Bab dan 60 Pasal, penjelasan umum serta penjelasan pasal demi pasal itu menuai penolakan oleh sejumlah kalangan. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai tempat berhimpun ulama Indonesia demikian juga organsasi yang sudah terlebih dulu ada sebelum Indonesia merdeka sebutlah Muhammadiyah, NU, Al-Wasliyah, Persis dll telah tegas menyatakan untuk menolak bukan ditunda. Inilah bukti kecintaan pada Pancasila, bila ada yang khianat, jahat atau akan merubahnya maka berhadapan dengan rakyat berdaulat yang cinta Pancasila ini.
Naskah akademik dalam suatu rancangan undang-undang menjadi suatu keharusan. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU No 15 Tahun 2019 konten NA terdiri dari tiga aspek penting yakni kajian filosofis yang membuat aspek filsafat pastilah falsafah Pancasila. Lalu kajian sosiologis/empiris yang memuat potret realita yang membutuhkan lahirnya ketentuan dimaksud. Dalam NA RUU HIP ini tidak ada. Selanjutnya kajian yuridis yang melahirkan draft.
Penyimpangan NA & RUU HIP ini menurut hemat penulis sebagai berikut Pertama, Bahwa di dalam NA RUU HIP Pancasila 1 Juni yang disebut secara berulang sebagai Pancasila, padahal 1 Juni itu adalah hari dimana Soekarno menyampaikan pandangan tentang dasar negara, beliau menyebut nama Pancasila yang katanya berasal dari temannya seorang ahli bahasa, mengenai substansi/isinya tidak sama dengan yang disepakati pada 22 Juni 1945 (Piagam Jakarta) apalagi yang diputuskan pada tanggal 18 Agustus 1945. Jadi hanya sekedar nama, bila mau jujur lahirnya Pancasila itu adalah pada 18 Agustus 1945. Menurut Soekarno konsep Pancasila nya dapat diperas menjadi Trisila dan Ekasila, konsep ini tidak pernah disepakati bahkan dipandang sebagai pengkhianatan karena sewaktu orde lama itu akan dipraktikkan
Landasan filosofi harus filsafat Pancasila bukan falsafah/ideologi lain. Pancasila yang dimaksud bukan usulan atau konsep yang disampaikan Soekarno tertanggal 1 Juni 1945 itu, tegasnya pandangan Soekarno yang menyebut Pancasila tidak pernah disepakati menjadi landasan negara. Jadi perihal dasar negara adalah Pancasila piagam Jakarta, Pancasila 18 Agustus 1945, yang ditegaskan kembali oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kemudian penjabaran Pancasila itulah yang menjadi Konstitusi dalam hal ini UUD 1945. Bahkan berbicara dasar negara Pasal 29 UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya bila diperas apakah trisila ataupun ekasila maka itu jelas merupakan pelanggaran dan tepatnya pengkhianatan atau mungkin dapat disebut pula sebagai kejahatan terhadap Konstitusi, ideologi/falsafah negara.
Kedua, Landasan sosiologis/empiris dalam NA RUU HIP tidak ditemukan gambaran empirik masyarakat mana yang menginginkan, meminta dan mendesak untuk dilahirkannya RUU ini. Apalagi mengingat suasana pandemi sekarang. Potret empirik, para pejabatlah yang melanggar nilai-nilai Pancasila itu dan mengabaikan perintah Konstitusi bahkan diperburuk dengan praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Sekalipun RUU HIP bertujuan membentuk masyarakat yang Pancasilais, sementara pada prakteknya aparaturlah yang tidak Pancasilais, mengabaikan perintah Konstitusi sebutlah terhadap Pasal 33 UUD 1945, lantas kok ini jawabannya. Sesat dan ngawur.
Ketiga, Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi dapat dilihat dari kedudukannya yang berada di dalam alinea ke empat Pembukaan UUD 1945, yang menjadi sandaran dalam pembentukan norma (pasal-pasal) dalam UUD 1945. Pancasila bukanlah sebuah norma. Melainkan, sebagai falsafah bangsa yang menjadi dasar negara dalam merumuskan norma-norma hukum dari mulai peraturan perundang-undangan, kebijakan dan keputusan-keputusan seluruh organ negara. Pancasila sebagai Grundnorm (norma dasar) merupakan pencerminan jiwa rakyat (Volksgeist), berkedudukan lebih tinggi daripada batang tubuh UUD. Letaknya sebagai tolak ukur untuk menilai batang tubuh, karena keberadaannya harus dinyatakan/diyakini sudah ada sebelum konstitusi. Dengan demikian kedudukan Pancasila berada di atas norma peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan jo. UU No 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No 12 Tahun 2011.
Meletakkan Pancasila sebagai norma dan diatur dalam UU merupakan pendegradasian posisinya sebagai grundnorm. Sehingga Pancasila bukan lagi sebagai nilai yang supreme (tertinggi) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia tetapi diturunkan tiga tingkat yakni menjadi UU, ini adalah pelanggaran serius, apalagi dalam konsideran RUU HIP ini kutipan terhadap beberapa TAP MPR yang disebut nyata-nyata sudah tidak berlaku sebab berbagai peraturan perundang-undangannya sudah dilahirkan, kecuali TAP MPRS No. XXV/1996 yang belum ada UU nya namun anehnya ini tidak dicantumkan. Jika Pancasila sudah menjadi UU, maka Pancasila dapat diserahkan kepada lembaga penafsir yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diuji. Argumentasi itu dapat disebut ngawur lebih tepat dikatakan sebagai bentuk penyelewengan terhadap ideologi negara.
Pancasila sebagai Dasar Negara secara yuridis diatur dalam Ketetapan MPR No.XVIII/MPR/1998 tentang Penegasan Pancasila Sebagai Dasar Negara dan pencabutan Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tentang P4. Pasal 1 Ketetapan MPR tersebut menyatakan bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara. Dipertegas kembali dalam TAP MPR No. I/MPR/2003, TAP MPR No. XVIII/MPR/1998 yang dikelompokan ke dalam Ketetapan MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena telah bersifat einmalig, telah dicabut, maupun telah dilaksanakan. Sebagai dasar negara, Pancasila kedudukannya menjadi superior, landasan dari pembentukan peraturan, kebijakan dan keputusan bagi seluruh organ negara dalam berbagai bidang yakni epoleksosbudhamkamnas (asta gatra) ekonomi, sosial, politik dan budaya, termasuk panduan, pedoman berprilaku bagi rakyat sebagai adab kebangsaan Indonesia.
Sejak awal muncul perbincangan tentang ini, informasinya seluruh fraksi DPR setuju untuk dilanjutkan meskipun ada dengan catatan misalnya agar dicantumkan Tap MPRS No XXV/1996 dengan kata lain bila Tap MPRS ini dimasukkan maka mereka setuju. Walaupun akhinya mereka menolak. Diharapkan partai-partai politik ini memberikan penjelasan kepada rakyat minimal konstituennya agar tidak ada fitnah walaupun nampaknya saling cuci tangan, lempar bola sudah muncul di media.
Prihal materi muatan dari RUU HIP juga banyak kesalahan, yakni penyederhanaan Pancasila menjadi sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketahuhanan yang berkebudayaan (Pasal 7, ayat 2), yang kemudian diekstraksi lagi menjadi gotong royong (Pasal 7 ayat 3) dianggap potensial mendemistifikasi Pancasila sebagai pandangan hidup integral bangsa. Walaupun rumornya si pengusul akan menghapus Pasal 7 ini serta memasukkan TAP MPRS NO. XXV/1996. Sementara NA yang menjadi sumber draft RUU kurang mendapat perhatian padahal NA dan RUU HIP merupakan keseluruhan yang harus ditolak dan dicabut dari prolegnas bukan sekedar ditunda. Selanjutnya kata “ketuhanan berkebudayaan” jelaslah sesat, karena ketuhanan itu ialah yang maha esa bukan yang lain.
NA dan RUU HIP ini memantik munculnya kecintaan rakyat terhadap Pancasila dan NKRI, sebab nyata-nyata NA dan RUU HIP melanggar nilai Pancasila, falsafah Pancasila dan Pancasila yang sedemikian diatur di dalam Konstitusi bukan berdasarkan pemikiran lain apalagi yang muncul dari orang yang anti dan alergi terhadap keberadaan agama di Indonesia. NA dan RUU dikemas rapi, diorganisir dengan sistematik melalui lintas posisi sebagai konspirasi pengkhianatan dan kejahatan. Untuk itulah menolak NA dan RUU HIP tanpa kompromi merupakan keniscayaan. Selanjutnya aparat penegak hukum hendaknya mengusut siapa yang berperan dalam pembuatan dan pembentukan NA dan RUU HIP ini. DPR sebagai pengusul RUU ini harus menarik/membatalkannya dari prolegnas dengan kata lain menghentikan seluruh rencana langkah untuk mengundangkannya. Sebab itulah pengkhianatan yang lebih tepat disebut sebagai kejahatan terhadap ideologi
Penegak hukum harusnya cepat tanggap melakukan pengusutan terhadap hal ini, tapi rasanya jauh panggang dari api. Jika itu tidak segera dilakukan karena beragam alasan termasuk menyoal dasar hukum (kewenangan) atau mungkin ‘segan’ maka kita mendorong rakyat berdaulat yang cinta NKRI dan Pancasila untuk melakukan pengusutan secara seksama agar terang benderang sehingga tidak ada lagi fitnah yang bertebaran. Pendekatan hukum harus dikedepankan terhadap para pengkhianat dan penjahat ini. Maka sangat penting dilakukan pengusutan dimulai dari investigasi oleh para pakar dan ilmuwan terkait agar diperoleh bukti-bukti yang akurat walaupun dokumen persidangan NA RUU HIP hemat saya sudah nyaris sempurna. Setelah hasil investigasi dan pengusutan itu tuntas, bila aparat yang berwenang tak jua memproses dengan berbagai alasan mungkin juga karena takut maka, inilah momentum rakyat berdaulat membuktikan melalui berbagai organisasi yang sudah jelas mencintai dan siap mempertahankan Pancasila itu bukan mereka-mereka yang berkoar “saya Pancasila” dan ternyata khianat/menyeleweng rupanya mereka hanyalah Ekasila. Proses hukum itu dibutuhkan untuk mengadili siapa saja yang terlibat dengan peran dan posisinya termasuk bila ada organisasi dan partai politik untuk mendapatkan hukuman setimpal sesuai dengan keterlibatannya.