Home / Opini / Titik-Titik Renggang: Membaca Tanda dan Menyulam Kembali Organisasi

Titik-Titik Renggang: Membaca Tanda dan Menyulam Kembali Organisasi

Agus Sani

Titik-Titik Renggang: Membaca Tanda dan Menyulam Kembali Organisasi

Oleh : Agus Sani, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UMSU

Beberapa waktu lalu, dalam tulisan sebelumnya, saya membahas bagaimana organisasi ibarat selembar kain yang dijahit dengan benang tegas dan lentur, benang tegas menjaga struktur tetap kokoh, benang lentur memberi ruang bagi kreativitas dan adaptasi. Tulisan itu menekankan pentingnya keseimbangan antara ketegasan dan kelenturan, antara aturan dan fleksibilitas, agar kain organisasi tetap rapi dan kuat.

Kini, dalam kelanjutan ini, kita menatap lebih jauh, bukan sekadar menjaga keseimbangan, tetapi mengenali titik-titik yang mulai renggang sebelum robekan menjadi nyata. Seperti kain yang dipakai terus-menerus, jahitan yang dulu rapi bisa mulai longgar seiring tekanan dan perubahan. Hal-hal kecil yang diabaikan, komunikasi yang melambat, keputusan yang tertunda, kelelahan yang terselubung, bisa menjadi awal retakan. Inilah titik di mana organisasi harus belajar membaca tanda-tanda dan, bila perlu, menyulam kembali sebelum kainnya robek.

Tulisan kali ini adalah undangan untuk melihat organisasi dengan mata yang lebih peka, hati yang lebih waspada, dan tangan yang siap memperbaiki. Bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk menunjukkan bahwa merawat organisasi adalah proses berkelanjutan, seni menjaga agar setiap benang tetap kuat, setiap pola tetap relevan, dan setiap anggota tetap bergerak harmonis dalam keseluruhan kain.

Bayangkan sebuah organisasi sebagai selembar kain besar yang dijahit dengan penuh perhatian. Ada benang-benang yang tegas, menjaga agar struktur tetap kokoh dan arah tetap jelas, dan ada benang-benang yang lentur, memberi ruang bagi kreativitas, adaptasi, dan gerak dinamis anggota-anggotanya. Kain ini tampak utuh, rapi, dan indah, namun seperti kain yang dipakai terus-menerus, lama-lama ada titik-titik kecil yang mulai longgar. Tanda-tanda itu sering halus, hampir tidak terlihat misalnya komunikasi yang sedikit melambat, keputusan yang mulai tertunda, kelelahan yang terselubung di balik kinerja rutin, atau ide-ide baru yang tersimpan rapat tanpa kesempatan untuk diuji. Tidak ada satu benang pun yang bersalah. semua bekerja sesuai fungsi masing-masing. Namun, ketidakpedulian terhadap hal-hal kecil itulah yang bisa menimbulkan robekan besar di kemudian hari.

Retakan tidak selalu muncul dari masalah besar. Sebaliknya, ia sering dimulai dari hal-hal sepele, dari benang yang menjuntai di sudut-sudut yang tidak diperhatikan. Dalam organisasi, hal ini bisa terlihat dari sikap acuh tak acuh terhadap inovasi kecil, atau keengganan untuk menyesuaikan aturan lama dengan kondisi baru. Pada titik ini, banyak pemimpin merasa lega ketika segala sesuatunya tampak berjalan normal, padahal di balik itu, kain organisasi mulai mengalami ketegangan yang tidak terlihat mata. Mengabaikan tanda-tanda kecil ini sama seperti menunda perbaikan jahitan yang hampir putus, efeknya akan terasa saat tekanan datang, dan sering kali, saat itu sudah terlambat untuk perbaikan sederhana.

Seiring organisasi bertumbuh, kain yang sama dipakai dalam kondisi yang berbeda. Anggota bertambah, tugas makin kompleks, dan lingkungan eksternal berubah lebih cepat daripada sebelumnya. Pola jahitan yang dulu sempurna kini mulai dipaksa menyesuaikan dengan ukuran yang lebih besar, dan benang tegas yang tadinya menjaga stabilitas bisa tertarik terlalu kuat, sementara benang lentur meregang tanpa kendali. Dalam situasi seperti ini, organisasi menghadapi dilema klasik, apakah tetap mempertahankan pola lama karena dianggap terbukti ampuh, atau menyesuaikan pola agar tetap relevan. Jawaban yang bijak bukan sekadar memilih salah satu, melainkan menyadari bahwa kain itu hidup, dan setiap gerakan memerlukan respons yang cermat agar jahitan tetap rapi.

Dinamika manusialah yang membuat proses ini semakin menantang. Anggota organisasi bukan mesin. mereka membawa ambisi, rasa lelah, konflik kecil, dan harapan yang berubah-ubah. Setiap individu adalah tarikan baru pada kain yang sudah dijahit, dan setiap tarikan itu menguji kekuatan benang yang ada. Dalam organisasi yang sukses, pemimpin dan tim mampu membaca tarikan ini dengan hati-hati, menyesuaikan tegangan benang, dan menciptakan keseimbangan antara aturan dan fleksibilitas. Tanpa perhatian terhadap dinamika ini, benang yang kuat sekalipun akan teruji, dan akhirnya kain akan sobek di tempat yang paling tak terduga.

Menjahit ulang kain organisasi bukan tanda kegagalan, melainkan tanda kedewasaan. Organisasi yang mampu melihat kapan pola lama tidak lagi sesuai, dan berani memperbaiki atau menyesuaikannya, menunjukkan kapasitas adaptif yang tinggi. Menjahit ulang bukan sekadar mengganti benang yang putus, itu berarti meninjau desain kerja, memperbarui proses, dan merespons dinamika manusia dengan bijak. Pendekatan ini selaras dengan konsep organizational learning dalam studi manajemen, yang menekankan pentingnya evaluasi terus-menerus, refleksi kritis, dan pembelajaran berkelanjutan sebagai bagian dari budaya organisasi yang sehat.

Perbaikan ini tidak harus dramatis atau mengganggu keseimbangan secara menyeluruh. Sering kali, tindakan sederhana seperti memperbaiki komunikasi antarbagian, menyesuaikan alur pengambilan keputusan, atau memberi ruang bagi eksperimen kecil cukup untuk mencegah robekan yang lebih besar. Benang yang longgar tidak selalu harus diganti, kadang yang diperlukan hanyalah penyelarasan tegangan, perbaikan pola, dan perhatian terhadap titik-titik rawan. Mengamati, menyesuaikan, dan memperbaiki secara rutin menjadikan organisasi lebih tahan terhadap perubahan, sekaligus menjaga identitas dan tujuan yang telah dibangun.

Kain yang sehat bukanlah kain yang sempurna, tetapi kain yang dijaga dan dirawat secara konsisten. Organisasi yang tangguh bukan organisasi yang jarang menghadapi masalah, melainkan organisasi yang peka terhadap perubahan, mampu merespons tanda-tanda awal ketegangan, dan berani melakukan penyesuaian ketika diperlukan. Proses menjaga jahitan ini sebaiknya bukan reaksi terhadap krisis, melainkan bagian dari rutinitas. Seperti mesin jahit yang dirawat dengan baik, organisasi yang terus dievaluasi dan diperbaiki akan menghasilkan “jahitan” yang rapi, fleksibel, dan tahan lama.

Kekuatan dari metafora ini terletak pada kemampuannya untuk menghubungkan konsep abstrak seperti struktur, budaya, dan dinamika manusia dengan sesuatu yang konkret, visual, dan emosional. Dengan membayangkan organisasi sebagai kain yang dijahit, pembaca dapat merasakan betapa rapuhnya suatu sistem jika perhatian terhadap detail diabaikan, sekaligus mengagumi kecerdikan dan keindahan ketika setiap benang berfungsi harmonis. Kain yang dijahit dengan tepat mencerminkan organisasi yang bukan hanya efisien, tetapi juga hidup, adaptif, dan mampu tumbuh dengan anggun.

Akhirnya, menjaga organisasi seperti merawat kain yang kita hargai. Tidak ada jalan pintas untuk menghasilkan kain yang kuat tanpa proses penjahitan yang cermat. Setiap benang, setiap pola, dan setiap tarikan adalah bagian dari cerita yang lebih besar. Organisasi yang dewasa menyadari bahwa proses menjaga kain ini, menjaga keseimbangan antara benang tegas dan lentur, membaca tarikan manusia, dan menyesuaikan pola kerja, adalah bagian dari perjalanan panjang menuju keberhasilan yang berkelanjutan. Dan ketika kain itu tetap rapi dan indah meski telah melewati banyak tantangan, itulah momen yang mengundang decak kagum, bukan hanya pada keindahan visual, tetapi pada ketekunan, kecermatan, dan kesadaran kolektif yang membuatnya tetap utuh.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *