Sang Merah Maroon Telah Kusam
Oleh : Ahmad Rody Nasution, Aktifis IMM FAI UMSU
Dalam situasi sekarang, manusia (kader) terperangkap pada budaya artifisial dan mimpi. Ironinya dan celakanya budaya fatarmogana itu lebih mudah menarik minat dan partisipasi publik ketika dibungkus simbol religi dan surgawi. Fenomena ini juga melibatkan partai dan gerakan keagamaan, termasuk IMM dan organisasi islam lain.
Pertanyaan yang lebih penting dijawab ialah adakah organisasi dimana kita aktif di dalamnya itu benar-benar mempunyai fungsi bagi kemanusian.? Di saat ribuan atau jutaan orang menderita akibat luapan politik, anggota dewan yang juga aktivis gerakan islam dengan tertawa dan senyum penuh kemenangan merekam adegan
mesum dengan wanita bukan istrinya. Apa yang tersisa di negri ini untuk dapat dijadikan harapan bagi orang-orang tertindas, miskin dan terlantar.?
Jas merah adalah singkatan dari jangan sekali-kali meinggalkan sejarah. Ungkapan ini merupakan bagian dari pidato yang di sampaikan oleh Presiden Soekarno, proklamator dan presiden pertama indonesia. Ungkapan ini menekankan pentingnya mengingatkan dan belajar dari sejarah untuk membangun masa depan yang lebih baik dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Maka ikatan mahasiswa muhammadiyah (IMM) menggunakan warna merah sebagai warna identitasnya karena warna ini memiliki makna sombolis yang kuat dan
bersejarah.
Merah sering dikaitkan dengan semangat, keberanian dan perjuangan. Bagi IMM, warna merah mencerminkan semangat juang yang tinggi, keberanian dalam menyuarakan kebenaran,dan tekad yang kuat untuk memperjuangkan nilai-nilai islam dan kemajuan bangsa. Warna ini juga dapat melambangkan dinamika dan energi dari para anggotanya dalam berkontribusi untuk masyarakat dan bangsa.
Penggalian dan kajian tentang keberadaan (eksitensi) organisasi menjadi latar belakang untuk mengenal organisasi dengan mendalam (radix). Nilai-nilai dalam ikatan yang menjadi bahan kajian ini, menjadi dasar untuk merumuskan paradigma organisasi dan kader dalam menghadapi realitas. Adanya pemikiran yang belum mendapatkan jawaban yaitu dengan pertanyaan yang mendasar, seperti. apakah ikatan mahasiswa muhammadiyah (IMM), mengapa adanya IMM dan untuk apa, perbedaan IMM dengan praganisasi lain.
Selanjutnya merah juga sebagai symbol gerakan yang revolusioner sebagai symbol perlawanan sehingga menjadi icon anti kekuasaan maka yang muncul keberanian dan perlawanan. Selain itu, merah juga identik dengan gerakan revolusioner yang dilakaukan oleh sosialisme, komunisme, dan PKI sehingga melekat menjadi identitasnya. Symbol merah dalam ikatan merupakan salah satu bentuk demistifikasi warna dikarenakan merah yang pada waktu itu, kental dengan PKI namun dipakai oleh IMM sebagai ciri khas organisasi.
Warna merah ikatan merupakan warna yang didekati dengan nilai yang ideologis keagamaan dan bersifat transcendental. Warna merah ikatan meruapakan cerminan dari warna rahim sebagai manifestasi sifat alloh swt Rahman dan rahiim. Selain itu, warna merah menurut Rosyad Sholeh sala satu deklarator IMM merupakan bentuk hati thesis terhadap dominasi warna yang diklaim oleh gerakan tertentu seperti PKI dan CGMI. Merah juga
merupakan warna yang universal yang tidak melekat pada salah satu identitas dan gerakan tertentu.
Gerakan ikatan secara yuridis merupakan gerakan karakyatan dengan basis keilmuan dalam rangka mendekatkan diri kepada alloh. Senada pila menurut Elida Djasman al Kindi (istri deklarator IMM) spirit gerakan dan lahirnya IMM mengambil dari surat al Ma’un sebagaimana yang dilakukan oleh muhammadiyah mengadakan perubahan dalam masyarakat. Gerakan yang dilakukan oleh IMM merupakan gerakan yang unik dikarenakan berbeda dengan ortom yang lain. Perbedaan ini dapat dilihat dari nilai yang dimiliki serta kontektualisasi terhadap nilai itu. Gerakan IMM merupakan gerakan keilmuan yang bersifat jangka panjang (future) bukan gerakan sesaat politis dengan mencari momentum untuk jangka pendek.
Gerakan keilmuan ikatan dilakukan oleh organisasi dan kader yang berkesadaran untuk mewujudkan Khoiru Ummah. Khoiru Ummah dilakukan oleh seorang kader dengan disiplin keilmuan yang dimilikinya berdasarkan etika profetik. Gerakan Khoiru Ummah ditandai dengan masyarakat yang berilmu sebagai cerminan dalam diri kader amal ilmiah dan ilmu amaliah. Masyarakat ilmu tersebut merupakan sebuah keniscayaan bagi ikatan.
Keniscayaan ini didasarkan sesuai dengan tujuan IMM sebagai salah satu indikator dari tercapainya tujuan muhammadiyah.
Oleh karena itu, tujuan muhammadiyah dapat terlihat dari kultur yang ada di IMM dikarenakan kalangan yang akademisi hanya dimiliki oleh ikatan tidak pada ortom yang lain seperti: Pemuda, Pelajar, Tapak Suci, dan Pemudi, serta HW. Masyarakat ilmu dalam ikatan merupakan suatu kerja keras dan kerja cerdas menyikapi realitas sosial dan keilmuan yang ada sehingga dapat mewujudkan Baldhatun Toyiban Warrabun Ghafur.
Dimaksud Baldhatun Toyiban Warrabun Ghafur menggambarkan suatu negeri atau tempat yang memiliki keadaan fisik dan sosial yang ideal. Dimana masyarakatnya hidup dalam kemakmuran, keadilan, dan kebaikan. Ungkapan tersebut menjadi doa dan harapan agar ikatan bisa mencapai pada tujuannya sebagai organisasi dakwah. Dan dalam buku Farid Fathoni A. F. berjudul “kelahiran yang dipersoalkan seperempat abad ikatan
mahasiswa muhammadiyah (IMM) 1964-198”.
Menjelaskan juga tentang peran IMM melalui berbagai kegiatan sosial, pendidikan, dan dakwah. Buku itu tersebut lebih dalam membahas tentang bagaimana strategi dan agenda masa depan IMM dalam visi dan misi
jangka panjang organisasi serta upaya untuk tetap relevan di tengah dinamika perubahan sosial. Cerita inspiratif dari para tokoh IMM terdahulu juga berhasil mengimplementasikan nilai-nilai luhung kedalam warna merah maroon sehingga warna tersebut pekat dan dalam.
Maka berbalik, sehingga berkaca pandang sekarang ini keadaan merah maroon IMM kian waktu berubah atau kusam dalam aspek identitas sebagai organisasi yang mempunyai fungsi dan peran dalam tujuan yang di inginkan. Dimana para pimpinannya mengedepankan sebuah ambisi pribadinya melalui organisasi sehingga jalan yang sudah depan mata dapat di raih, fungsi wadah tersebut pun berimbas rusak dibuatnya. Kualitas nilai kader rendah sama jalannya ber-IMM, juga dapat mempengaruhi khittah perjuangan dalam mewujudkan tujuan
yang sebenarnya.
Namun pandangan realita kekusaman warna di sebabkan oleh mereka pimpinan diatas demi mengedepankan tempat cari aman berlabu di akhiran setelah purna berorganisasi dengan cara kotor yang bertimbal balik fungsi utama IMM. Menghindari pengakuan itu sangat malu rasanya sebagai kader harusnya tapi mereka malah berbangga tawa ria dengan jorgan tersebut. Oleh sebab itu perawatan warna tersebut harus di mulai dari pimpinan bersambung ke bawahan dalam mempertahankan ke pekatan maroon lebih dalam menjaga agar tidak rusak.
Penulis juga selaku kader IMM merasa miris mengakui kekaderannya dalam diri sendiri dimana begitu peran pimpinannya sebagai nahkoda organisasi dalam membawa arah tujuan ikatan ini. Akhir kata penulis berpesan bagaimana pun pimpinan kita diatas kita tetap pada porosnya dengan “sami’na wa atho’na” dalam membawa ikatan ini pada tujuan yang dinginkan. Kita juga harus berlomba-lomba dalam kebaikan sesaui slogan IMM yaitu
Fastabiqul Khoirot.
*** Ahmad Rody Nasution, Aktifis IMM FAI UMSU