Rukyat : Perspektif Lokal dan Global
Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar – Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Rukyat (melihat anak bulan) adalah salah satu metode penentuan awal bulan dalam Islam, metode ini dipraktikkan oleh umat Islam dari sejak dulu hingga kini. Selain rukyat, metode lain yang berkembang adalah metode istikmal (menggenapkan bilangan bulan menjadi 30 hari) yang notabenenya metode ini merupakan bagian dari rukyat itu sendiri. Selanjutnya terdapat satu metode lagi yaitu metode perhitungan astronomis atau yang dikenal dengan hisab.
Dasar rukyat adalah hadis-hadis Nabi Saw, diantaranya,
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته (رواه البخاري)
“Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbuka (berhari raya) lah karena melihat hilal” (HR. Al-Bukhari)
لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه (رواه البخاري ومسلم)
“Janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal dan janganlah berbuka (berhari raya) hingga melihat hilal” (HR. Al-Bukhari & Muslim)
Selain dua hadis ini masih ada banyak lagi hadis-hadis yang menegaskan tentang rukyat. Secara zahir hadis-hadis ini menyatakan bahwa untuk memulai dan mengakhiri bulan Ramadan dan bulan-bulan lainnya adalah dengan terlebih dulu melihat atau dengan terlihatnya hilal. Dalam perkembangannya melihat dan terlihatnya hilal ini diterjemahkan dengan prediksi dan atau perhitungan kemungkinan keterlihatan hilal atau yang dikenal dengan imkan rukyat atau visibilitas hilal, dan bahkan dengan hisab semata.
Dalam perkembangannya terdapat perbedaan pendapat tentang posisi dan fungsi rukyat dan atau imkan rukyat dalam penentuan awal bulan dan khususnya dalam perumusan kalender Islam yaitu rukyat itu apakah sebagai penentu ataukah menjadi instrumen pembantu, ataukah keduanya. Hadis-hadis rukyat sendiri dikalangan ulama terdapat dua arus pandangan tentang keberlakuannya yaitu lokal dan global. Keberlakuan lokal bermakna tatkala hilal terlihat atau memungkinkan terlihat di suatu tempat (negara) maka ia berlaku atau diberlakukan di tempat (negara) itu semata, yang dikenal dengan matlak lokal atau “ikhtilaf al-mathali’”. Argumen pendapat ini adalah hadis-hadis rukyat itu sendiri dan diperkuat secara khusus dengan hadis Kuraib. Sementara itu keberlakuan global bermakna tatkala hilal terlihat atau memungkinkan terlihat di suatu tempat (negara) selanjutnya didistribusikan (ditransfer) ke seluruh dunia, dikenal dengan matlak global atau “ittihad al-mathali’”.
Argumen pendapat ini adalah konteks umum hadis-hadis rukyat itu sendiri yang tidak membatasi untuk dan di suatu tempat tertentu, serta didukung dengan argumen-argumen lainnya. Dua arus pandangan rukyat ini (lokal dan global) berkembang dikalangan umat Islam dalam sepanjang sejarah dan dalam faktanya praktik lokal adalah yang dominan digunakan.
Namun patut dicatat bahwa pandangan global (ittihad al-mathali’) adalah pandangan mayoritas alias pendapat jumhur ulama. Mengapa dalam sejarah bukan global yang dominan dipraktikkan? Secara sederhana dapat dijawab dan dipahami karena waktu itu belum tersedia sarana serta instrumen yang praktis untuk menyampaikan berita keterlihatan hilal di satu tempat ke tempat yang lain.
Dalam perkembangannya hari ini, hadis-hadis rukyat mulai dipahami dan diimplementasikan secara global, seperti dipraktikkan negara Turki, komunitas muslim Eropa dan Amerika, dan Muhammadiyah yang bersiap menerapkannya. Namun dalam perjalanannya terjadi ambiguitas pemahaman atas praktik global ini yaitu melihat dan menempatkannya dalam konteks lokal, bukan global. Adalah suatu yang keliru manakala praktik dan pemahaman global dipahami dan dilihat dalam perspektif lokal, yaitu tatkala hilal terlihat atau memenuhi ambang batas tertentu di suatu tempat (negara) yang dalam perspektif global diberlakukan ke seluruh dunia, namun oleh satu pihak dipahami dan diinginkan keterlihatan dan atau kemungkinan keterlihatan hilal itu mesti terjadi juga di tempat (negara) lain, misalnya di Indonesia. Praktis ini adalah pola pikir yang ambigu, saat yang sama cara keliru memahami konteks hadis-hadis Nabi Saw dalam perspektif global.
Konsekuensi dan logika dari praktik rukyat atau imkan rukyat global adalah akan terjadi di sejumlah tempat (negara) hilal terlihat atau memungkinkan terlihat, sementara disejumlah tempat (negara) sebaliknya, bahkan saat yang sama di sejumlah tempat (negara) hilal berada di bawah ufuk. Ini adalah implementasi dan konsekuensi dari penerapan matlak global itu yang berbeda dengan perspektif matlak lokal.
Karena itu memahami konsepsi global dengan menuntut keterlihatan hilal atau kemungkinannya serta mesti dipraktikkan secara lokal (di setiap tempat/negara) adalah sesuatu yang mustahil dan bertentangan dengan prinsip matlak global itu sendiri. Karena itu dalam hal ini diperlukan cara pandang yang luas dan fleksibel serta literasi yang luas dalam melihat teks dan konteks hadis-hadis Nabi Saw. Secara pasti, mayoritas ulama dalam mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanabilah telah menyatakan matlak global adalah konteks dari hadis-hadis rukyat tersebut.
Memang, bagi pengamal rukyat di suatu tempat yang sudah rutin dan intens setiap bulan melaksanakan rukyat, lalu dihadapkan dengan kenyataan untuk ‘tidak perlu’ merukyat dan cukup menggunakan rukyat atau imkan rukyat di tempat (negara) lain merupakan kenyataan yang sulit diterima, sepenuhnya keberatan ini dapat dimengerti dan dipahami.
Keberatan ini tentunya bukan hanya di Indonesia namun juga di negara-negara lain yang sudah punya rutinitas pengamatan hilal setiap bulan. Seperti diketahui, di negara-negara yang menggunakan rukyat, misalnya Indonesia, kegiatan rukyat telah menjadi agenda terjadwal secara administratif dengan segenap mekanismenya yang melibatkan pejabat, pegawai, pakar, tokoh masyarakat, ulama, akademisi dan masyarakat. Terlebih lagi ditopang pemahaman dan keyakinan bahwa merukyat secara praktikal merupakan sebuah ibadah (ta’abbudy) yang mesti dilakukan. Karena itu keberatan dan penolakan atas matlak global sepenuhnya dapat dipahami, dan semua harus saling memahami tanpa menegasikan pihak lain.
Terlebih lagi dalam matlak global, yang menjadi pendapat jumhur ulama, sama sekali tidak ada prinsip mengakomodir rukyat atau imkan rukyat di tempat lain (misalnya di Indonesia), apatah lagi di seluruh dunia, artinya praktik matlak global hanya dicukupkan di satu tempat saat pertama kali hilal terlihat atau memenuhi ambang batas yang disepakati lalu tempat-tempat (negara-negara) lain mengikuti dan menggunakan rukyat/imkan rukyat itu. Ini adalah fakta fikih yang harus diterima manakala menerapkan matlak global yang menjadi pendapat jumhur ulama, yang karenanya akan terus berhadapan dengan prinsip matlak lokal
yang menginginkan keterlihatan hilal secara lokal.
Secara teknis, perbedaan konsep matlak lokal dengan matlak global pada dasarnya adalah dialektika fikih biasa sebagaimana lazimnya dalam soal-soal fikih lainnya. Ada sangat banyak perbedaan pendapat dalam fikih yang sebenarnya umat Islam biasa-biasa saja melihat dan memposisikannya, namun karena rukyat (misalnya di Indonesia) terkait dengan rutinitas dan administratif yang sudah tetap menjadikan persoalan ini dilematis, bahkan tampak ada resistensi dan ‘perseteruan’ tajam.
Penyematan dan anggapan matlak global akan mengabaikan bahkan menghilangkan rukyat adalah apologi tidak berdasar dan tampak mengabaikan konsep matlak global yang sesungguhnya merupakan pendapat mayoritas
ulama. Matlak global adalah fakta fikih yang harus diterima dan dipahami oleh umat Islam di era modern. Karena itu perspektif yang adil melihat hal ini adalah menempatkan dan membiarkan dua konsep ini (matlak lokal dan matlak global) berjalan masing-masing, namun yang terjadi hari ini justru demikian resisten dan penolakan yang begitu tajam atas prinsip matlak global ini dengan tuduhan dan narasi misalnya ‘kental hisab’ dan ‘mengabaikan
pengamal rukyat’.
Matlak global mesti dilihat dan diposisikan dalam konteks dan perspektif globalnya dengan segenap konsekuensi implementasinya, sebagaimana matlak lokal juga mesti diposisikan dalam konteks lokalnya dengan segenap teknik, mekanisme, administrasi, dan proseduralnya. Keduanya dihormati, karena keduanya berangkat dari konteks dan pemahaman hadis-hadis Nabi Saw yang sama, dan keduanya menjadi arus pandangan para ulama (fukaha). Seiring waktu keduanya akan teruji dan terbukti, mana yang diinginkan umat, dan mana yang lebih maslahat. Hadirnya generasi-generasi muda progresif yang mengkaji masalah ini akan memberi cara pandang baru. Pun, kalender yang bersifat global, yang berbasis matlak global, bukanlah sebuah harga mati, semuanya berproses dinamis, ia tak lebih hanya ihtiar untuk membangun peradaban Islam dalam hal sistem penjadwalan waktu yang sudah 14 abad lebih belum terwujud. Kalender global dan lokal akan terus berjalan dan berhadapan dengan segenap tantangannya masing-masing, sekali lagi waktu akan menguji dan membuktikannya, yang jelas cara dan narasi terutama dari para pejabat terkait, pakar dan tokoh dalam menyikapi masalah ini akan menjadi ingatan dan warisan bagi generasi-generasi yang akan datang. Wallahu a’lam[]