Abdul Mu’ti: Ramadan sebagai Momentum Perubahan Sosial
Semarang, InfoMu.co – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan bahwa Ramadan adalah bulan penuh berkah, bukan hanya sebagai waktu untuk berpuasa, tetapi juga sebagai bulan untuk bersedekah dan mendidik diri.
Selain itu, Ramadan menurut Mu’ti memiliki banyak sebutan yang menggambarkan keutamaannya, seperti Syahrul Shiam (bulan puasa), Syahrul Qur’an (bulan turunnya Al-Qur’an), Syahrul Sadaqah (bulan sedekah), dan Syahrut Tarbiyah (bulan pendidikan).
Mu’ti secara khusus menyoroti dua hal utama dalam Ramadan, yaitu sedekah dan pendidikan. Menurutnya, Ramadan sangat erat kaitannya dengan semangat berbagi.
“Di bulan Ramadan nanti kita akan sering mendengar hadits-hadits Nabi yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang sangat dermawan. Dan saking dermawannya, beliau sedekahnya terus bertambah-tambah, terus mengalir seperti angin yang berhembus. Karena itulah Ramadan itu sangat identik dengan santunan, identik dengan gerakan menghimpun zakat, infak, dan sedekah. Walaupun untuk berzakat tidak harus di bulan Ramadan,” ungkap Mu’ti dalam acara Pengajian Akbar Hari Bermuhammadiyah dan ‘Aisyiyah di Universitas Muhammadiyah Semarang (UNIMUS) pada Ahad (9/2).
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) RI ini menjelaskan bahwa dalam Al-Qur’an terdapat tiga istilah yang digunakan untuk menggambarkan zakat, yakni “ata”, “khuz”, dan “fa’ala”.
Kata “ata” menunjukkan bahwa zakat adalah sesuatu yang harus diberikan. Sementara itu, kata “khuz” berarti zakat harus dihimpun, menunjukkan peran aktif lembaga atau pemerintah dalam pengelolaannya. Sedangkan kata “fa’ala” menggambarkan bahwa zakat bukan sekadar kewajiban, tetapi harus menjadi kebiasaan yang dilakukan terus-menerus.
“Jadi, orang yang sukses dalam kehidupannya adalah mereka yang menjadikan zakat sebagai kebiasaan,” tegasnya.
Selain itu, ia mengingatkan agar cara pemberian zakat dan sedekah tidak dilakukan dengan cara yang membuat penerima merasa rendah diri. Selama ini, zakat sering diberikan dalam bentuk santunan langsung, baik berupa uang tunai maupun sembako, yang kemudian harus diambil dengan cara antre.
Menurutnya, sistem semacam ini masih terkesan seperti bentuk belas kasihan.
“Mereka yang menerima zakat itu bukan pengemis. Mereka bukan penerima belas kasihan, tetapi mereka adalah orang-orang yang berhak atas zakat tersebut,”katanya.
Mu’ti mengusulkan agar Muhammadiyah mulai menyalurkan zakat melalui sistem transfer langsung ke rekening penerima. Dengan cara ini, mustahik dapat menerima hak mereka tanpa harus merasa malu atau berada dalam posisi yang kurang nyaman.
“Kalau kita bisa mendata mereka dengan baik, lalu kita tentukan berapa hak yang mereka dapat, dan kita transfer langsung, maka mereka tidak perlu antre, tidak perlu merasa dipermalukan,” tambahnya.
Selain itu, ia juga menekankan bahwa zakat tidak hanya harus berbentuk bantuan konsumtif, tetapi juga dapat digunakan untuk pemberdayaan ekonomi dan sosial. “Kita bisa manfaatkan zakat untuk menggaji guru honorer yang selama ini bergaji kecil, memberikan beasiswa bagi anak-anak kurang mampu, atau membangun investasi sosial yang manfaatnya bisa berkelanjutan,” ujarnya.
Selain sebagai bulan sedekah, Ramadan juga memiliki dimensi pendidikan. Mu’ti menjelaskan bahwa puasa adalah bentuk pendidikan spiritual yang mengajarkan manusia untuk menahan diri dan menjadi pribadi yang lebih baik.
“Puasa itu bukan hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga pendidikan untuk mengendalikan diri. Kita ini sering kali tergoda oleh nafsu, tetapi dengan puasa kita dilatih untuk menjadi manusia yang lebih baik,” ungkapnya.
Dalam Al-Qur’an, ada dua istilah yang menggambarkan pentingnya kebersihan jiwa, yaitu “qad aflaha man tazakka” dan “qad aflaha man zakkaha”. Kedua ayat ini menegaskan bahwa keberhasilan seseorang dalam hidup sangat erat kaitannya dengan kebersihan jiwa dan harta. “Orang yang jiwanya bersih akan lebih mudah berbagi. Kalau jiwanya tidak bersih, dia akan berat mengeluarkan zakat dan sedekahnya,” ujarnya.
Mu’ti mengajak warga Muhammadiyah untuk menjadikan Ramadan sebagai momentum gerakan sosial yang lebih luas.
“Selama ini, kita sering melihat sedekah hanya sebagai bentuk bantuan. Tapi, bagaimana kalau kita ubah sedekah menjadi alat pemberdayaan?,” katanya.
Ia memberikan contoh bagaimana zakat bisa digunakan untuk mengatasi masalah sosial, seperti menggaji guru honorer, memberikan beasiswa, atau mendukung program ekonomi umat.
“Ini yang saya sebut sebagai tazkiyatul muskhilat, yaitu zakat yang bisa menghilangkan berbagai masalah sosial,” jelasnya.
Di akhir tausiyahnya, Mu’ti mengajak seluruh jamaah untuk memanfaatkan Ramadan sebagai momentum perubahan sosial.
“Mari kita ubah cara kita berbagi. Jangan hanya sekadar memberi, tapi kita bangun sistem yang bisa menghadirkan kemakmuran bagi semua,” tutupnya. (Ain)