Paradoks Pendidikan Tinggi Sumut: Antara Krisis Akses PTN-BH dan Peran PTS
Oleh : Arif Pratama Marpaung – Dosen Fakultas Ekonomi & Bisnis UMSU
Tahun 2025 menjadi momentum penting bagi dunia pendidikan di Sumatera Utara. Jumlah lulusan SMA dan SMK tercatat mencapai 120.430 orang, terdiri atas 77.751 lulusan SMA dan 42.679 lulusan SMK. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan potret youth
bulge—ledakan generasi muda yang kini berdiri di persimpangan jalan: melanjutkan studi ke perguruan tinggi atau langsung memasuki pasar kerja. Namun, realitas di lapangan belum sejalan dengan besarnya potensi tersebut. Kapasitas pendidikan tinggi di Indonesia masih terbatas.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), gross enrollment ratio atau angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi nasional baru mencapai 31,45%, sementara Sumut sedikit lebih tinggi di angka 31,63%. Artinya, dari setiap 100 lulusan SMA/SMK, hanya sekitar 31 yang berhasil melanjutkan ke perguruan tinggi. Selebihnya berpotensi tersisih karena keterbatasan daya tampung, mahalnya biaya, maupun
kendala sosial-ekonomi keluarga.
Keterbatasan akses pendidikan tinggi ini juga berimplikasi pada dunia kerja. Data ketenagakerjaan menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk bekerja di Sumut dari 7,59 juta orang (Februari 2024) menjadi 7,72 juta orang (Agustus 2024). Namun, peningkatan
ini lebih bersifat kuantitatif daripada berkualitas. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) masih berada di kisaran 5,10–5,60%, sementara persentase setengah pengangguran justru naik—menandakan banyak pekerja yang hanya memperoleh jam kerja terbatas dengan penghasilan tidak mencukupi. Bagi lulusan baru, kondisi ini menjadi early warning signal: ketika akses ke perguruan tinggi tersumbat sementara pasar kerja formal belum mampu menyerap secara optimal, risiko munculnya educated unemployment kian membesar.
Dalam situasi tersebut, peran Perguruan Tinggi Swasta (PTS) sebagai penyangga seharusnya menjadi solusi. Namun, kenyataannya PTS justru tengah melemah. Data menunjukkan angka partisipasi masuk ke PTS turun hingga 40% dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi ini
mencerminkan double burden: di satu sisi, PTS kehilangan peminat karena biaya kuliah dianggap tinggi; di sisi lain, masyarakat tetap berharap pendidikan tinggi dapat diakses dengan harga terjangkau. Keterpurukan PTS semakin diperparah oleh terbitnya Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2022, yang memberi kewenangan kepada PTN-BH menerima hingga 50% mahasiswa melalui jalur mandiri. Dengan reputasi dan daya tarik yang lebih besar, PTN-BH hampir selalu menjadi pilihan utama calon mahasiswa, sehingga ruang
gerak PTS semakin terdesak.
Fenomena ini semakin menyorot praktik penerimaan mahasiswa jalur mandiri di PTN-BH. Secara normatif, jalur ini dimaksudkan memberi fleksibilitas kampus. Namun dalam praktiknya, jalur mandiri kerap identik dengan biaya masuk dan kuliah yang lebih tinggi dibandingkan jalur reguler. Bagi keluarga dengan keterbatasan finansial, jalur mandiri bukanlah jalan keluar, melainkan barrier to entry. Tidak heran jika seorang pemerhati pendidikan di Medan menyebut fenomena ini sebagai bentuk “commercialization of access”—akses pendidikan tinggi yang makin ditentukan oleh kemampuan ekonomi, bukan semata prestasi akademik.
Dengan demikian, kombinasi antara ledakan lulusan (youth bulge), rendahnya APK, melemahnya peran PTS, tekanan daya beli akibat tren deflasi, serta kebijakan jalur mandiri PTN-BH telah menciptakan dilema baru bagi pendidikan tinggi di Sumut. Di satu sisi, masyarakat masih menaruh harapan besar pada pendidikan sebagai jalur social mobility—sarana memperbaiki nasib dan status sosial. Namun di sisi lain, akses menuju bangku kuliah semakin menyempit, sementara pasar kerja belum sepenuhnya mampu menampung lulusan yang tidak melanjutkan studi.
Menghadapi tantangan ini, solusi jelas tidak bisa datang dari satu pihak. Pemerintah pusat perlu meninjau ulang admission policy di PTN-BH agar porsi jalur reguler kembali lebih dominan. Pemerintah daerah dapat memperluas skema beasiswa lokal untuk siswa kurang
mampu, sedangkan PTS harus diposisikan sebagai strategic partner dalam memperluas daya tampung pendidikan tinggi. Jika langkah-langkah korektif ini tidak segera dilakukan,
Sumatera Utara berpotensi menghadapi paradoks: setiap tahun melahirkan ratusan ribu lulusan SMA/SMK, tetapi hanya sebagian kecil yang mampu melanjutkan pendidikan atau memperoleh pekerjaan layak. Dalam jangka panjang, situasi ini bukan sekadar persoalan pendidikan, melainkan ancaman nyata bagi stabilitas sosial-ekonomi daerah. (***)