Medan,InfoMu.co – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sumatera Utara menyelenggarakan Muzakarah Rutin Bulanan yang kali ini membahas topik penting mengenai Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam dua perspektif, yakni sejarah dan politik serta hukum tatanegara pada Ahad 23 Juli 2023 di Aula MUI Sumut. Muzakarah ini dipandu oleh Prof. Dr. H. Nawir Yuslem, MA., Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Sumut, dan dua narasumber ahli, yaitu Dr. Shohibul Anshor. M. Si. dan Dr. Eka Nam Sihombing, SH, M. Hum.
Dalam pengantarnya, Prof. Dr. H. Nawir Yuslem, MA., menyampaikan bahwa hal ini menjadi penting karena sesuai Keppres no 17 Tahun 2022 dan Inpres no 2 Tahun 2023 upaya pemulihan hak-hak korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah sesuatu yang semestinya dilakukan,.namun khususnya untuk kasus tahun 1966/1967 jangan sampai salah menyimpulkan bahwa yang menjadi korban itu adalah PKI dan keluarganya? dan kalau begitu pelakunya siapa? TNI/ABRI atau Umat Islam?.
Oleh karena itulah Muzakarah ini menjadi Penting untuk menjelaskan dan mengklarifikasi siapa pelaku Pelanggaran HAM Berat di tahun 1965/1966 itu dan siapa yang menjadi korbannya?.
Dalam perspektif sejarah, narasumber I, Dr. Shohibul Anshor menyebutkan bahwa pada kongres komunis internasional, komunisme di Indonesia dibahas dan diperkirakan akan memiliki pengaruh besar di masa depan. Dia juga menyatakan bahwa banyak tokoh dan pemikir Indonesia yang berpandangan komunis sekaligus Islami.
Dr. Shohibul Anshor menggambarkan bahwa komunisme di Indonesia memiliki pengaruh besar dalam berbagai aspek kehidupan, tetapi juga dihadapi oleh tantangan politik dan hukum. Ia menyatakan bahwa sejumlah pihak berusaha melegalkan kembali komunisme, namun perlu diwaspadai karena hal ini dapat memecah belah masyarakat Indonesia.
Dr. Shohibul Anshor juga menyampaikan bahwa upaya untuk merumuskan sejarah Revolusi Indonesia sering menghadapi distorsi dan manipulasi. Ia menekankan pentingnya memiliki pemahaman yang akurat terhadap sejarah untuk memahami identitas dan arah masa depan bangsa Indonesia.
Pada akhirnya, Dr. Shohibul Anshor menyoroti peran Indonesia sebagai bangsa yang memiliki potensi besar, namun juga menghadapi tantangan dan perang wacana politik. Ia menekankan bahwa penting bagi masyarakat Indonesia untuk tidak terpecah belah dan menjaga persatuan dalam menghadapi berbagai tantangan di masa depan.
Sementara itu, narasumber II, Dr. Eka Nam Sihombing, SH, M. Hum., menyampaikan pandangan dari perspektif politik dan hukum tatanegara terkait larangan terhadap PKI. Ia mengungkapkan bahwa larangan PKI yang telah diatur dalam TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 berlaku hingga saat ini. Ia juga menyoroti tantangan dalam mengungkap kebenaran dan memberikan pemulihan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia berat. Rekomendasi dari tim penyelesaian non-yudisial perlu diperkuat dengan tindakan konkret dari berbagai lembaga agar pemulihan korban menjadi lebih holistik dan menyeluruh.
Pada kesimpulannya, muzakarah ini menyatakan bahwa perlu dibedakan antara politik hukum terkait larangan PKI dan penyebarluasan ajaran komunisme dengan upaya penyelesaian dan pemulihan terhadap pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu melalui Keppres dan Inpres. Sejarah komunisme di Indonesia dan pandangan yang berbeda mengenai apakah PKI dapat dianggap sebagai korban juga harus diperhatikan dalam analisis.
Dalam konteks ini, pendekatan legislatif melalui undang-undang tentang komisi kebenaran dan rekonsiliasi menjadi opsi yang perlu dipertimbangkan untuk menangani secara serius dan menyeluruh peristiwa pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu.
Muzakarah ini menjadi momen refleksi bagi masyarakat Indonesia untuk tetap menjaga persatuan dalam menghadapi berbagai tantangan dan perang wacana politik. Dengan pemahaman sejarah yang akurat, diharapkan masyarakat dapat bersama-sama mencari solusi yang lebih efektif dan berkeadilan dalam menangani isu-isu sensitif terkait hak asasi manusia dan ideologi di masa kini dan masa mendatang. (Yogo Tobing)