Muhammadiyah Sudah Pasti Bermanhaj Salaf, Tapi Salafi Belum Tentu Muhammadiyah
*) Oleh: Dr Nurbani Yusuf
Muhammadiyah bermanhaj salaf, salafi bermazhab pada ulama-ulamanya, keduanya jelas berbeda.
***
Salafiyah-Salafisme (Arab: السلفية as-Salafiyyah) adalah salah satu metode dalam agama Islam yang mengajarkan syariat Islam secara murni tanpa adanya tambahan dan pengurangan, berdasarkan syariat yang ada pada generasi Muhammad dan para sahabat kemudian setelah mereka (murid para sahabat) dan setelahnya (murid dari murid para sahabat).
Seseorang yang mengikuti aliran salafiyah ini disebut dengan salafi (as-salafy), jamaknya adalah salafiyyun (as-salafiyyun).
Ada seorang syekh yang mengatakan bahwa siapa saja yang berpendapat sesuai dengan Alquran dan sunah mengenai akidah, hukum, dan suluknya menurut pemahaman salaf, maka ia disebut salafi, jika pendapat mereka sebaliknya maka, mereka itu bukan salafi meskipun mereka hidup pada zaman sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
Kata salafiyah diambil dari kata “salaf” adalah kependekan dari “salaf al-sāliḥ” (Arab: السلف الصالح), yang berarti “pendahulu yang saleh”.
Dalam terminologi Islam, secara umum digunakan untuk menunjuk kepada tiga generasi terbaik umat muslim yaitu sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in. Ketiga generasi inilah dianggap sebagai contoh terbaik dalam menjalankan syariat Islam.
***
Wahabi (Wahhaby) sebutan bagi orang yang mengikuti paham Muhammad bin Abdul Wahhab. Sedangkan pahamnya disebut Wahabiyah (Wahhabiyyah) atau Wahabisme.
Sebutan wahabi atau wahabiyah lebih merupakan konstruksi atau gambaran yang diberikan terhadap orang atau kelompok yang dianggap mengikuti paham Muhammad bin Abdil Wahhab itu, kadang dengan julukan yang negatif.
Muhammadiyah misalnya, oleh mereka yang tidak suka sering dikaitkan dengan wahhabi, baik dulu maupun saat ini.
Para pengikut Muhammad bin Abdil Wahhab sendiri lebih memilih sebutan ”Al-Muwahhidun”. Artinya, orang-orang mengikuti Tauhid (Keyakinan kepada Allah Yang Maha Esa) yang menjadi landasan dan orientasi utama ajaran Islam.
Kelompok ini juga lebih suka disebut “as-salafiyyin”, “ahl tauhid”, “ahl sunnah”, “al-Hanabilah”, “nn-Najdiyyun”, serta predikat lain yang menurut mereka dikesankan sebagai predikat syar’i yang baik (Anshary, 2006).
Pendek kata, menurut Nashir bin Abdul Karim Al-Aqli, pengikut wahhabiyah ini lebih suka dan mengidentifikasikan dirinya dalam predikat islamiyyah la wahhabiyyah, pengikut ajaran Islam dan bukan Wahabiyah.
Jika salafi lebih konsen pada pemurnian di bidang fikih, maka wahabi lebih concern pada pemurnian akidah, meski fikh dan akidah juga kerap bersinggungan erat. Namun pembobotan atas tema akidah dan fikih tak mungkin dipungkiri.
***
Sebagai komparasi: manhaj aswaja yang disepakati para ulama NU dibangun atas tiga pilar: dalam aspek akidah NU bermazhab pada Asy’ariyah dan Al Maturidiyah. Fikihnya bermazhab Imam yang empat: Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Dalam tasawuf bermazhab Imam Ghazali dan semua variannya.
Muhammadiyah menyandarkan akidahnya pada Muhammad bin Abdul Wahhab atau Wahhabi. Dalam fikih bermanhaj salaf yang digagas Imam Ahmad bin Hanbal, Syaikh Muhammad Abduh dan muridnya Syaikh Muhammad Rasyid Ridha.
Kemodernan dan tajdidiyahnya dipengaruhi Syaikh Ahmad al Minangkabaui dan Tasawufnya mengamalkan Ihsan.
Namun masih belum bisa memastikan apakah ini yang kemudian disebut manhaj Muhammadiyah untuk membedakan dengan salafi dan wahabi. Sebab, belum ada kajian komprehensif tentang manhaj Muhammadiyah.
Pendapat Prof Dr Yunahar Ilyas bisa merepresentasi sebagai konstruksi manhaj Muhammadiyah yang disepakati. Dia menegaskan, “Muhammadiyah itu bermanhaj salaf, bukan bermazhab salaf.”
Adapun maksud dari manhaj salaf sendiri berarti mengambil pendapat terbaik dari ulama salaf, dengan merujuk pada Alquran dan sunah.
“Kalau kelompok salafi kan tinggal mengikuti saja sama pendapat ulamanya, sedangkan Muhammadiyah tidak. Semua pendapat di tarjih kan kembali diambil yang paling valid.”
***
Mungkin ini semacam irisan himpunan yang diarsir, manhaj Muhammadiyah adalah manhaj salaf di mana Alquran dan sunah menjadi dua pilar utama sebagai rujukan.
Tapi dua ini saja tak cukup, sebab ibarat pohon, Muhammadiyah adalah sebuah pohon besar yang bercabang dan berdaun rimbun.
Artinya, dalam paradigma keberagamaan Muhammadiyah, salafi dan wahabi hanya bagian terkecil. Hanya salah satu anasir yang masih belum menggenapi.
Manhaj Muhammadiyah adalah apa pun yang paling baik itulah yang diambil dan membuang yang kurang baik.
Dalam konstruksi paradigmatik purifikasi Syaikh Abdul Wahab, dan Syaikh Rasyid Ridha, tajdidiyah Syaikh Ahmad Al Minangkabawi dan tasawuf Ihsan bergabung menjadi satu pilar: state of mind. Yang kemudian kita sebut gerakan pemikiran.
***
Tapi Muhammadiyah memiliki satu pilar lagi agar ilmu tak hanya berhenti pada kajian-kajian teoritis, maka Kyai Dahlan membangun konstruksi paradigmatik sebagai balancing, yaitu gerakan amal.
Hapal Al Ma’un (Alquran) saja tak cukup. Ilmu harus dibarengi dengan amal agar tak membusuk.
Maka lahirlah ribuan amal usaha dari masjid-sekolah-universitas-rumah sakit dan filantropi lainnya yang tidak ada pada kelompok wahabi dan salafi. (*)