Oleh : Safrin Octora
Ya, namanya B. Sebenarnnya laki laki ini memiliki nama yang cukup panjang. Dua kata. Namun dalam tulisan ini dia tidak mau disebut namanya dengan utuh dan lengkap. “Ora ilok”, katanya. “Dan lagian saya bukan siapa-siapa dalam jagat investasi di negara kita”, lanjutnya.
Memang betul, dia tidak ada apa-apanya dalam dunia investor di tanah air kita bila dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki investasi ratusan juta hingga miliar bahkan triliunan rupiah. Investasi B ini cuma rumah rumah yang termasuk rumah sederhana dan subsidi serta sedikit saham. Namun kita perlu belajar banyak dari laki laki sederhana ini dalam merajut masa depan.
Pekerjaannya hanyalah sebagai tenaga desain grafis untuk iklan di salah satu surat kabar terbitan sebuah kota besar di Sumatera. Sejatinya dia sudah memasuki pensiun. Namun media tempat dia bekerja masih tetap memintanya untuk bekerja. Dan dia tetap bekerja dengan riang gembira. Laki laki sederhana ini pergi dan pulang kerja hanya menggunakan sepeda motor. Mobil rasanya jauh untuk dimilikinya bila mengingat gajinya yang cukup untuk istri dan tiga anaknya.
Tinggalnyapun di sebuah kawasan kompleks perumahan yang dibangun oleh pemerintah melalui sebuah BUMN yang bergerak di bidang perumahan. Rumahnya juga sederhana, yang diapit-apit oleh rumah tetangga kiri kanan yang merapat. Tidak ada halaman yang bisa untuk menanam bunga ataupun tempat membuat kolam ikan sebagai hiasan taman, seperti orang orang yang disebut investor.
B ini adalah kawan sekolah saya sewaktu SMP. Namun cukup lama kami baru bertemu kembali. Kalau tidak salah setelah 33 tahun, baru kami berjumpa lagi. Dia Cuma tamatan SMA. Namun perencanaan untuk masa depan melampaui apa yang tidak terfikirkan oleh orang lain atau dengan kata lain “beyond the expectation of others”.
Betapa tidak. Ketika berbincang-bincang pagi itu di sela-sela diskusi tentang Covid-19 yang semakin mengganas, B bercerita tentang investasi-investasi masa depan yang telah disiapkannnya.
Selain rumah yang ditempatinya saat ini, B juga punya rumah di kawasan Simalingkar B, tidak jauh dari Kebun Binatang Medan. Rumah itu adalah rumah subsidi pemerintah dengan type 36. Diperolehnya pun dengan tidak sengaja. Adiknya yang butuh uang, menjual rumah itu dengan harga yang cukup murah. Harga murah itupun didapatnya karena kawasan itu masih sepi ketika dia membeli rumah itu. Itupun di beli dengan angsuran. Jadilah dia punya rumah kedua.
Beberapa tahun setelah dia punya rumah di Simalingkar B, kawan adiknya yang punya rumah pas disebelah rumahnya terlilit hutang. Lalu ditawarkan lah rumah itu kepada B. B membeli rumah itu karena boleh diangsur. Jadilah dia punya dua rumah di kawasan Simalingkar B tersebut.
Selain di Simalingkar B, laki-laki ini juga punya rumah di kawasan Medan Senembah. Masih tetap rumah subsidi pemerintah, yang didapat karena pemiliknya kesulitan keuangan, dan B bisa membelinya dengan diangsur. Dan rumah itu pun diambil oleh B, meski lokasi rumah rumah yang dibelinya itu jauh dari rumah yang ditinggalinya sekarang. “Anak saya tiga. Jadi ketika mereka nanti berumah tangga, kan bisa saya kasi satu satu”, ujarnya ketika saya tanyakan kenapa dia membeli rumah rumah itu, dan tidak membeli rumah yang lebih bagus dari pada rumah yang ditinggalinya saat ini.
Bentuk investasinya mulai betubah beberapa tahun yang ketika dia berjumpa dengan kawan yang juga satu SMP. Dari kawannya itu, B belajar investasi saham yang dikenal dengan industri Pasar Modal. Saat itu inustri Pasar Modal kita sedang mengenalkan sistem kepemilikan saham dari minimal 1 (satu) lot 500 (lima ratus) lembar, menjadi 1 (satu) lot 100 (serratus) lembar.
“Aku memulainya dengan modal kecil, satu juta rupiah saja”, katanya menceritakan awalnya dia memasuki industri Pasar Modal. “Tiap gajian, ku sisihkan sedikit, dan memasukkannya ke rekening RDI (rekening dana investasi) yang ada di salah satu sekuritas”, katanya menjelaskan.
Lalu laki-laki yang tidak mau nama lengkapnya disebutkan ini, bercerita tentang investasi-investasi yang dilakukannya dengan membeli saham saham yang dijual di Pasar Modal. Jatuh bangun dia mempelajari industri saham ini. “Aku membeli saham-saham yang tidak bertentangan dengan ajaran agama yang ku anut”, lanjutnya.
“Empat tahun sudah aku bermain saham”, ujarnya sambil menyeruput kopi susu yang terhidang di depan kami. “Ada kalanya rugi, ada kalanya untung”, lanjutnya. “Namun pengalaman 4 (empat) tahun itu telah membuat aku semakin tahu bagaimana bermain saham dan memilih saham” katanya sambil memakan roti tawar. “Dari pengalaman ini, aku yakin saham merupakan investasi yang menjanjikan dengan modal yang kecil, asal kita hati hati”.
Ketika kutanyakan apakah investasinya selama 4 (empat) tahun ini, dan keuntungan yang diperolehnya apakah bisa membeli mobil, laki=laki sederhana ini menjawab pelan, “sangat bisa untuk membeli mobil. Tapi untuk apa mobil. Mobil tidak akan ada harganya ketika telah kita pakai beberapa tahun”, jawabnya.
Lalu dia bercerita tentang Lo Keng Hong (LKH) yang dijuluki Warren Buffet Indonesia. Warren Buffet adalah pemain saham tingkat dunia, yang kekayaannya sangat luar biasa. Menurut laki=laki sederhana bertubuh kurus ini, LKH meskipun punya saham banyak dan keuntungan yang besar dalam bermain saham, pergi kemana-mana tetap menggunakan angkutan umum. Jadi investasi saham itu agar ketika memasuki usia tuan anti, kita menjadi tenang, karena masih ada tabungan yang bisa digunakan. “Saya tidak ada uang pensiun kalau nanti jadi pensiun, investasi saham inilah yang jadi uang pensiun nanti”, katanya.
Heibat laki laki sederhana yang pernah jadi kawan sewaktu SMP dulu. Saya tertarik dengan uraiannya dan mulai belajar saham. “Tidak ada kata terlambat untuk berinvestasi saham”, katanya menutup pembicaraan kami siang itu yang mulai hangat. Kami berpisah. Saya meneruskan olahraga dengan berjalan kaki di siang panas untuk menguatkan immunitas di masa Covid-19. Pagi itu saya tercerahkan dengan cerita investasi di industri saham Pasar Modal, dari seseorang yang memulainya dengan dana sangat kecil. Satu juta rupiah. Namun seperti kata pepatah “sedikit sedikit, lama jadi bukit”.
Dan kawan saya telah membuktikan itu. Sahamnya telah membentuk bukit. Bukan gunung, katanya.