Pilkada, Pandemi dan Kemanusiaan
Oleh Muhammad Thariq
Muhammadiyah dan Aisyiyah mampu menunda agenda Muktamar ke-48 di Surakarta. Bahkan penundaan dilakukan dua kali melalui mekanisme organisasi secara bertanggung jawab, berwibawa, memberikan keteladanan serta berkemajuan. Penundaan pertama berdasarkan rapat pleno pada Rabu 18 Maret 2020. Waktu itu diputuskan Muktamar yang awalnya akan digelar pada tanggal 1-5 Juli 2020 ditunda menjadi 24-27 Desember 2020.
Mengingat kondisi pandemi belum juga benar-benar reda di tanah air, penundaan kedua berdasarkan sidang Tanwir yang dilakukan secara daring melalui teleconferensi video di Yogyakarta pada Minggu 19 Juli 2020.
Pada sidang Tanwir yang dikenal sebagai forum tertinggi kedua di bawah muktamar itu, diputuskan penundaan dilakukan hingga tahun 2022. Meski penundaan dilakukan 2022, Muhammadiyah dan Aisyiyah tetap dimungkinkan menggelar Muktamar pada 2021 dengan syarat kondisi pandemi Covid-19 dalam keadaan berangsur reda dan benar-benar aman dari segi kesehatan dan berbagai aspek lainnya. Muhammadiyah & Aisyiyah mengambil tema pada sidang Tanwir yaitu: “Hadapi Covid-19 dan Dampaknya: Beri Solusi Untuk Negeri”.
Menyelamatkan Jiwa Manusia
Tema Tanwir merupakan pesan simbolik yang ingin disampaikan kepada masyarakat bahwa Muhammadiyah menunjukkan sikap yang konsisten sekaligus memberikan keteladanan dalam menyikapi situasi saat ini, meski memberikan dampak pada penundaan dua tahun ke depan pimpinan Muhammadiyah diperpanjang.
Begitu juga pelaksanaan pergantian kepemimpinan tingkat paling rendah juga tertunda dengan sendirinya. Namun organisasi tetap sah dan mampu berjalan sebagaimana mestinya. Justru di balik keputusan menunda Muktamar bahwa organisasi Islam yang besar itu telah menyelamatkan jiwa manusia. Mau dan konsisten memperhatikan masukan para pakar klinis, epidemiologi dan virologist.
Sebagaimana yang disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si bahwa penundaan Muktamar berdasarkan pertimbangan pandemi Covid-19 yang dipandang dalam kondisi darurat. Selain itu mengancam jiwa manusia. Itu artinya jiwa manusia bukanlah sesuatu yang sederhana. Menyelamatkan jiwa manusia menjadi utama sebagaimana agama memberikan perhatian yang tinggi dan memprioritaskan aspek kemanusiaan. Hal itu terungkap dalam QS. al-Maidah ayat 32 berbunyi: “Barang siapa yang menyelamatkan satu nyawa manusia, sama dengan menyelamatkan kemanusiaan”.
Di dalam tafsir Al-Misbah Prof. Quraish Shihab menjelaskan ayat itu menyamakan orang yang membunuh seseorang dengan membunuh semua manusia. Setiap manusia menyandang nilai-nilai kemanusiaan. Seorang manusia bersama manusia lain merupakan perantara lahirnya manusia-manusia lain, bahkan seluruh manusia.
Untuk itu tiga bulan lalu kegiatan ibadah diijtihadi untuk ditunaikan di rumah sebagai ikhtiar mencegah penularan virus yang lebih luas di masyarakat untuk hifdzun nafs: menjaga jiwa manusia tadi.
Dengan demikian slam sebagai agama yang rahmatal lil alamin. Agama yang memberikan solusi di tengah umat manusia yang tengah menghadapi musibah pandemi Covid-19.
Syahwat Politik Pilkada
Kini ikhtiar menyelamatkan jiwa manusia mendapat tantangan dalam menghadapi syahwat politik para elite yang sulit direm sejenak dalam pandemi.
Elite politik memaksa kehendak untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 270 daerah pada Desember 2020. Khusus di Provinsi Sumatera Utara terdapat 23 kabupaten/kota termasuk Kota Medan yang harus melaksanakan Pilkada tahap IV tersebut, sejak pertama kali pilkada serentak dilaksanakan pada 2015.
Padahal Kota Medan menjadi daerah zona “merah” kasus penyebaran Covid-19. Angka kasus terus melonjak, sedangkan Sumatera Utara masuk kategori penyumbang kasus Covid-19 yang ke-7 secara nasional dari provinsi yang ada. (Kompas.com, 28/7/2020).
Begitu juga secara nasional angka kasus Covid-19 terus melonjak menembus 100.303 kasus positif per 27 Juli 2020 (Kompas.id, 27/7/’20). Indonesia pun menempati peringkat ke-26 dunia melampaui China, sementara di Asia Tenggara, Indonesia peringkat pertama.
Untuk itu, jika pandemi virus korona tidak bisa dibendung, maka pilkada serentak 2020 terutama di Provinsi Sumatera Utara khususnya di Kota Medan bukan yang mustahil ditunda sampai kondisi pandemi berangsur reda dan benar-benar aman dari segi kesehatan.
Pemberlakuan status ihwal kegentingan dapat juga menyelamatkan jiwa penyelenggara pilkada dan fokus menangani Covid-19. Daerah yang pilkadanya ditunda secara otomatis pemerintah daerahnya yang akan diperpanjang, apalagi petahana perlu ketegasan hukum dalam mengambil kebijakan terkait penanganan Covid-19.
Evaluasi oleh elite politik di Senayan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai dasar hukum penundaan Pilkada 2020, sebelum disahkan menjadi undang-undang, belum total mencerminkan sikap negara untuk menyelamatkan jiwa manusia.
Penundaan pilkada hanya tiga bulan. Presiden menandatangani perppu pada 4 Mei 2020 dan diundangkan pada 14 Juli 2020. Saat itu penyebaran Covid-19 semakin luas dan masif dari hari ke hari sampai saat ini menembus 100 ribuan kasus.
Waktu pemungutan suara pemilihan yang semula dijadwalkan pada September 2020 ditunda menjadi digelar pada Desember 2020. Sekalipun diputuskan ditunda menjadi Desember 2020, ada beberapa norma dalam perppu yang memungkinkan pilkada kembali ditunda jika hingga Desember, pandemi Covid-19 belum berakhir. Hal ini disebutkan pada Pasal 201A Ayat (3) Perppu No. 2/2020.
Perppu No 2/2020 memberikan kewenangan kepada Komisi Pemilihan Umum untuk menunda tahapan pelaksanaan pilkada sekaligus melanjutkan tahapan pilkada yang ditunda. Hanya saja penetapan penundaan ataupun pelaksanaan pemilihan lanjutan harus terlebih dulu disetujui bersama dengan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal itu tertuang pada Pasal 122A Ayat (1) dan (2) Perppu No. 2/2020.
Pada Ayat (1) disebutkan, pemilihan serentak lanjutan dilaksanakan setelah penetapan penundaan tahapan pelaksanaan pemilihan serentak dengan Keputusan KPU diterbitkan. Adapun Ayat (2) menerangkan, penetapan penundaan tahapan pelaksanaan pemilihan serentak lanjutan dilakukan atas persetujuan bersama antara KPU, pemerintah dan DPR.
Tergambar bagi kita bagaimana syahwat politik mempengaruhi sejak penerbitan perppu hingga disahkan menjadi undang-undang pada 14 Juli 2020.
Berisiko dan Mahal
Kini undang-undang tersebut memerintahkan semua pihak yang berkepentingan dengan penyelenggaraan pilkada serentak khususnya KPU, Bawaslu dan DKPP serta jajaran pemerintah memaksaksan potensi yang dimiliki untuk melaksanakan tahapan pemungutan suara pilkada pada 9 Desember 2020, padahal potensi termasuk anggaran sedang difokuskan untuk penanganan Covid-19.
Plkada akan berjalan rumit, berat, mahal serta membebani pembiayaan daerah yang fiskalnya kecil. Hal itu dihadapkan pada tahapan verifikasi faktual dukungan bakal calon perseorangan, pencocokan dan penelitian (coklit) pemilih, dan masa kampanye dalam tahapan pilkada yang mengharuskan kontak fisik.
Begitu juga penyediaan sarana proteksi diri bagi petugas terkait penyelenggara pilkada dan masyarakat. Belum lagi jika penggunaan teknologi dalam pilkada instrumen hukum dan pelatihan petugas. Pada akhirnya jika penyelenggaraan pilkada dipaksaka, maka terlalu berisiko.
Penutup
Sedari awal para elite perlu cermat melakukan evaluasi sehingga dapat memutuskan opsi penundaan pilkada yang sensitif pada isu penyelamatan jiwa manusia secara universal.
Bukan malahan dominan syahwat politik dan distribusi kepentingan kelompok. Akhirnya terlalu memaksa perhelatan pilkada pada situasi pandemi yang belum reda.
Para elite politik perlu belajar kepada Muhammadiyah bagaimana cara menyelamatkan jiwa manusia sekaligus memberikan keteladanan secara konsisten.
Bangsa ini perlu cepat keluar dari mendung resesi yang semakin pekat. disebabkan elite penyelenggara negara inkonsisten dalam upaya menyelamatkan jiwa manusia dalam penanganan pandemi Covid-19 (**)
Penulis pengajar jurnalistik di UMSU