IMM Telah Mati
Oleh: Muhammad Amin Azis
Karut marut kondisi bangsa pada tahun 1964 dan perlunya untuk membentuk wadah bagi mahasiswa Muhammadiyah merupakan alasan untuk kemudian IMM lahir. Kelahiran IMM dibidani oleh Djazman Al-Kindi, Rosyad Sholeh, Amin Rais dan lain sebagainya. Tahun-tahun awal berdirinya IMM dihantui dengan tuntutan peran kader IM untuk kritis dan ikut andil dalam menyelesaikan permasalahan bangsa kala itu. Dengan semangat pemberontakan dan perjuangan membela kaum tertindas, para pendahulu IMM ikut ambil peran pada persoalan, selain itu warna merah yang kala itu identik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) diambil sebagai warna dasar IMM sebagai simbol perlawanan kaum intelektual Muslim Muhammadiyah terhadap gerakan PKI yang saat itu menghalalkan segala cara untuk menguasai Indonesia.
Masa-masa awal IMM sebagai organisasi perlawanan, kini hanya tinggal kenangan yang ketika kita ingin mengenangnya dapat di baca dalam buku-buku sejarah, buku IMM ataupun Muhammadiyah. “Jauh panggang dari api” merupakan peribahasa yang dapat menjelaskan perbedaan gerakan IMM masa awal dan masa kini, tidak berlebihan kiranya jika peribahasa tersebut diambil untuk menjelaskan kondisi IMM saat ini. Gerakan-gerakan IMM saat ini cenderung berorientasi pada penyelesaian program yang telah dibentuk ketika rapat kerja pimpinan bukan untuk bergerak dan bertindak menanggapi kondisi bangsa saat ini, sekalipun bertindak hanya sekadar mengkritisi persoalan dengan hasil observasi dan subjektifitas bukan melakukannya dengan kerangka metodologis layaknya seorang akademisi yang termaktub dalam tujuan IMM.
Indikasi Kematian IMM
Ketidak mampuan kader IMM mengkritisi suatu permasalahan dengan kerangka metodologis menjadi indikasi awal IMM telah mati. Mati dalam makna tidak berfungsinya seluruh jaringan yang ada dalam tubuh. Kematian IMM dengan jelas dapat kita lihat dari hal-hal berikut:
Pertama, Disfungsi Nilai, Matinya IMM dengan jelas dapat kita lihat dari nilai yang tidak berjalan dengan baik ditubuh IMM, matinya nilai dikarenakan salah tafsir nilai tersebut. Nilai dalam IMM sering kali dimaknai sebagai instrumen pembantu dari setiap gerakan, sebagai diskursus ketika Darul Arqam baik dari jenjang paling rendah hingga paling tinggi atau bisa juga dijadikan sebagai bahan untuk membangun visi misi ketika ingin mencalonkan diri menjadi ketua ataupun formatur saat musyawarah regenerasi berlangsung. Selain ketiga hal di atas, bagi sebagian kader nilai IMM dimaknai sebagai dogma yang tak dapat diubah dan direalisasikan pada konteks keseharian para kader. Anggapan yang demikian menjadi dasar kematian IMM sebagai organisasi gerakan yang hanya terpusat pada dogma pendahulu ikatan dan menjadikan IMM sebatas ideologi.
Kedua, Konflik internal, dari hal ini kematian IMM sangat mudah untuk diidentifikasi, mengapa tidak? IMM sebagai wadah akademisi Islam berbalik dan berubah wajah menjadi organisasi yang tak memiliki kekuatan jika tidak memiliki jabatan. Anggapan jabatan adalah power utama agar dihormati dan dianggap mampu mengorganisir para kader, kemudian menjadi konflik tak berkesudahan di dalam tubuh IMM. Parahnya lagi demi jabatan yang hanya di duduki selama 1-2 tahun para kader IMM rela untuk saling fitnah, tikam dan menjatuhkan.
Ketiga, Matinya tradisi, penulis memaknai tradisi bukan seperti budaya yang harus selalu dilakukan tanpa mengetahui makna dan tujuan yang didapatkan, tradisi yang dimaksud adalah kegiatan-kegiatan yang selama ini menjadi identitas IMM telah hilang. Mudah saja mengidentifikasi hilangnya tradisi IMM. Konflik tak berkesudahan merupakan gerbang awal dari matinya tradisi, kegiatan yang sebelumnya dilakukan untuk fastabiqul khairat kini berorientasi untuk meningkatkan elektabilitas salah satu tokoh yang akan di calonkan pada musyawarah kelak, selain itu pergeseran identitas dan meninggalkan identitas yang dilakukan oleh kader-kader IMM juga bentuk dari matinya tradisi, lebih jauh lagi pergeseran identitas ini berdampak pada wacana dan materi kajian yang menjadi bahasan dalam tubuh IMM. Saat ini, kader IMM lebih suka mendiskusikan perihal pemerintah ataupun mahasiswa dengan teori yang tinggi-tinggi, jika dilihat lebih jauh, diskusi yang dilakukan tak lain hanya bentuk kecerewetan kader-kader IMM, bukan sebagai bentuk kritis. Mengapa demikian? Diskusi yang dilakukan sering kali dengan teori yang rapuh, hanya untuk meningkatkan eksistensi dan hanya sebagai pengetahuan bagi para kader bukan untuk menjadikannya sebagai ilmu atau memantik para kader melakukan gerakan.
Tiga tanda kematian IMM patut kiranya untuk direspon oleh seluruh kader IMM khususnya yang memiliki jabatan struktural. Jika Nabi Isa a.s mampu menghidupkan kembali makhluk yang telah mati atas izin Allah SWT, maka kader IMM juga harus mampu untuk menghidupkan kembali ikatannya yang telah mati.
Meminjam bahasa pak Djazman Al-Kindi dalam buku “Ilmu Amaliah dan Amal Ilmiah”, beliau menyebutkan bahwa IMM merupakan bagian dari manusia akademi Indonesia. Manusia akademi Indonesia yang dimaksud oleh pak Djazman al-Kindi adalah kader-kader IMM harus menjadikan Kampus dan masyarakat sebagai tempat untuk meningkatkan ilmu dan melatih diri serta tidak menjadikannya sebagai arena politik seperti di masa lampau, maka untuk itu harus kembali kepada identitasnya.
Makna dari kalimat pak Djazman perlu kiranya diresapi oleh kader-kader IMM untuk menghidupkan kembali IMM. Tidak menjadikan Kampus, IMM dan Masyarakat sebagai tempat untuk berpolitik kiranya perlu diresapi, karena jika kita melihat realitas yang ada sering kali kader-kader IMM menjadikan tiga ranah tersebut sebagai media politik. Untuk itu, kembali pada identitasnya seperti apa yang disebutkan oleh pak Djazman. Identitas sebagai gerakan Islam dengan dakwah amar ma’ruf nahi munkar.
Bangkitnya IMM
Kalimat dari pak Djazman al Kindi merupakan pukulan telak bagi kader IMM saat ini sekaligus sebagai landasan untuk menghidupkan kembali IMM yang telah mati, maka dari itu ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menghidupkan kembali IMM, diantaranya adalah:
Pertama, Menjadikan nilai sebagai etika dasar ikatan, sebagaimana disfungsi nilai menjadi salah satu alasan matinya IMM, untuk itu menjadikan nilai dasar ikatan sebagai etika merupakan salah satu solusi untuk menghidupkan kembali IMM. Trilogi yang selama ini hanya sekedar dikampanyekan dengan verbalistis harus direkonstruksi dan dikampanyekan dengan mewujudkannya sebagai kompetensi para kader, bukan hanya kompetensi formal dengan sebutan tri kompetensi dasar jauh daripada itu nilai ini harus menjadi etika di seluruh lini kehidupan kader IMM.
Kedua Melihat keringnya wacana gerakan intelektual dan keislaman dalam tubuh IMM, hendaknya IMM studies perlu untuk dijadikan sebagai solusi. IMM studies yang dimaksud oleh penulis adalah menjadikan IMM sebagai subjek sekaligus objek dalam dinamika keilmuan dan gerakan, IMM menjadi objek dapat di upayakan dengan melakukan telaah dan diskusi mengenai internal IMM tersebut untuk mengetahui sejauh mana peran IMM di kampus hingga nasional. IMM sebagai subjek adalah peran yang dapat diambil oleh IMM sesuai dengan tri kompetensi dasar yang dimiliki kemudian menjadikannya sebagai dasar gerakan untuk menanggapi masalah sosial dengan bangunan teori dan metodologis.
Penulis, Muhammad Amin Azis , Aktifis IMM UMY Yogyakarta
Kongkritnya IMM harus keluar dari arasy kemuhammadiyahannya secara eksternal. Memulai gerakan-gerakan kreatif yang berorientasi pada persoalan dan kebutuhan di setiap level pimpinan, tanpa harus, menonjolkan dan mengelu-elukan kemuhammadiyahannya. Tidak lagi menjadikan IMM sebagai sarang berkumpulnya kader Muhammadiyah, tapi aktor yang menggunakan nilai kemuhammadiyahan untuk berjihad kepada segmen umum. Mencari akar persoalan dan menyelesaikannya, bukan membuat masalah–program kerja yang tidak jelas pokok persoalan di lingkungannya–yang harus diselesaikan.