Keadilan Untuk Djoko Tjandra
Oleh : Ibrahim Nainggolan
Begitu membaca judul di atas maka sebahagian besar orang akan beranggapan, keadilan macam apa yang tidak didapat oleh Djoko Tjandra. Bukankah kisah pelariannya sekitar sebelas tahun dengan bantuan berbagai pihak, menunjukkan dia adalah orang yang penuh dengan keistimewaan. Sebagai edukasi mengutarakan dari sudut pandang yang berbeda dapat melengkapi pandangan publik, sehingga setiap orang memiliki pandangan yang lebih utuh.
Dalam tahap penegakan hukum publik memang sudah lebih dahulu dijejali informasi bahwa kasus Bank Bali penuh dengan aroma “busuk”, sehingga publik sebenarnya tidak sepenuhnya memahami duduk persoalan secara utuh. Putusan pengadilan tingkat pertama terhadap Djoko Tjandra dalam kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, amarnya membebaskan Djoko Tjandra karena masalah cessie Bank Bali adalah tergolong dalam perkara perdata. Kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, Mahkamah Agung tetap memutuskan Djoko Tjandra tetap dibebaskan, lagi-lagi alasannya karena merupakan ranah lapangan hukum perdata.
Sebenarnya sesuai ketentuan Pasal 244 KUHAP terhadap putusan bebas tidak boleh diajukan kasasi,namun faktanya jaksa bersikukuh mengajukan kasasi. Jika jaksa beralasan untuk memburu para koruptor sehingga menggunakan instrumen hukum secara maksimal, sekalipun tindakan tersebut menimbulkan pertentangan dalam dunia hukum.
Tidak berhenti hanya pada kasasi, jaksa masih menggunakan upaya hukum luar biasa yakni Peninjauan Kembali (PK). Pada Putusan PK Djoko Tjandra dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung dan dihukum dua tahun, setelah keluarnya putusan PK tersebut Djoko Tjandra selaku terpidana keburu kabur keluar negeri. Kasus ini sudah sempat hilang dari ingatan publik, karena seakan penegak hukum tidak berdaya dan kalah lihai dari seorang Djoko Tjandra.
Polemik Hukum
Polemik hukum terjadi setelah diakhir Juli 2020 Djoko Tjandra berhasil ditangkap dan ditahan oleh jaksa, Otto Hasibuan selaku pengacara yang ditunjuk oleh Djoko Tjandra untuk memberikan bantuan hukum atas penahannan dirinya memberikan pernyataan hukum yang menyentakkan kesadaran hukum publik. Setelah penandatangan kuasa Otto Hasibuan bertanya atas dasar apa atau atas putusan mana kliennya ditahan, karena menurutnya kliennya ditahan tanpa dasar hukum yang jelas.
Kalau Djoko Tjandra ditahan berdasarkan Putusan PK Nomor: 12 K/Pid.Sus/2008 tidak ada perintah untuk melakukan penahanan. Jaksa menjawab pertanyaan pengacara Djoko Tjandra, menyatakan yang dilakukan jaksa bukan penahanan melainkan eksekusi.
Dalam putusan PK memang tegasnya hanya menyatakan terbukti melakukan tindak pidana dan dihukum selama dua tahun, Oleh pengacara Djoko Tjandra putusan PK tersebut ditafsirkan batal demi hukum jika merujuk pada ketentuan Pasal 197 ayat (2). Memang berdasarkan ayat (1) pada huruf (k) disebutkan dalam sebuah putusan harus memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan, jika tidak mengakibatkan batal demi hukum.
Antara kata penahanan dan eksekusi kata yang digunakan Advokat Djoko Tjandra dengan jaksa dapat ditafsirkan berbeda. Penahanan bisa saja berbentuk penahanan, namun ekseskusi tidak identik dengan penahanan. Tindakan merampas benda tertentu juga bagian dari eksekusi, karena tugas ekseskusi memang tugas jaksa sesuai ketentuan Pasal 270 KUHAP. Pada putusan PK Nomor: 12 K/Pid.Sus/2008 hanya menyatakan terbukti bersalah dan menjatuhkan pidana selama dua tahun. Tidak adanya kata ditahan dapat ditafsirkan pidana yang dijalani tidak harus penahanan, karena itu penahanan yang diakukan jaksa dapat ditempuh upaya hukum yang tersedia satu diantaranya praperadilan. .
Sebahagian pihak yang memahami hukum berpendapat tindakan jaksa yang mengajukan kasasi dan PK tidak sepenuhnya salah, karena merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 114/PUU-X/2012, seputar Pasal 244 KUHAP yang telah menghapuskan frasa “kecuali terhadap putusan bebas” sehingga upaya hukum biasa dan luar biasa dianggap memiliki dasar hukum. Pihak lain justru berpandangan berbeda, jika jaksa beranggapan karena sudah ada putusan MK yang menghapus frasa kecuali terhadap putusan bebas tapi maslahnya putusan MK tersebut belakangan keluar atau setelah putusan PK telah berkekuatan hukum tetap. Artinya putusan MK tidak berlaku surut dalam perkara PK yang diajukan jaksa, sehingga tindakan upaya hukum yang dilakukan jaksa sesungguhnya tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Paling tidak ada dua catatan kelemahan dalam kaitan penahanan yang dilakukan kepada Djoko Tjandra pertama, dasar pengajuan Kasasi dan PK yang diajukan oleh jaksa sangat lemah baik secara yuridis maupun maupun dari segi berlakunya putusan MK Nomor: 114/PUU-X/2012. Kedua, ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang telah mengatur secara limitatif tentang muatan putusan harus mencantumkan poin-poin tertentu termasuk huruf (k) jika tidak pada ayat (2) putusan berakibat batal demi hukum.
Peristiwa hukum yang dialami oleh Djoko Tjandra bisa saja dialami oleh siapapun, dan mungkin akan menajdi preseden buruk. Sehingga polemik atas dasar putusan mana sebenarnya Djoko Tjandra ditahan, dan upaya hukum apa yang mungkin ditempuhnya memang masih akan menjadi misteri. Pelajaran pentingnya ialah melihat peristiwa hukum tidak boleh sekedar mengandalkan pendengaran, mungkin saja Djoko Tjandra memang salah tapi tidak boleh penghukuman dijatuhkan pada asumsi. Seburuk apapun isi peraturan, atau seburuk apapun isi putusan harus tetap kita hormati.
Penulisa, Ibrahim Nainggolan Dosen FH UMSU/Pengacara Publik