Karakteristik Munafiq (مُنَافِق) dalam Alquran dan as-Sunnah
Oleh : Dr. Sulidar, M.Ag
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara
Periode 2015-2020.
Dampak dan Bahayanya Perilaku Munafiq
- Menyuruh kemungkaran dan melarang yang ma’ruf
الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ نَسُوا اللهَ فَنَسِيَهُمْ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (67)
Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. Sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.
Ayat di atas memberikan pelajaran bahwa betapa bahayanya perilaku manfiq dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal ini, karena mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang baik (ma’ruf). Jika ini terjadi, maka jelas dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara akan lahir kegaduhan, kekecauan, permusuhan dan kehancuran sistem nilai yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia yang selama ini menganut akhlak yang mulai (akhlaq al-karimah) dalam pergaulan kehidupannya sehari-hari. Oleh karenanya, umat Islam wajib menjauhi perilaku munafiq ini agar terwujud tatanan masyarakat yang harmonis dan damai.
- Bermuka dua
Dalam kitab Tafsirnya, Ibn Kasir menjelaskan, bahwa orang-orang munafik di Madinah pernah membuat aliansi diam-diam dengan orang-orang kafir (musyrik) untuk menghancurkan umat Islam. Pada saat terjadi perang antara kaum Muslimin dengan kaum musyrik, dan kemenangan di pihak orang-orang Islam, maka orang-orang mu nafik segera tampil ke depan mengacungkan tangan sebagai pihak yang sangat berjasa membantu umat Islam memenangkan perang. Akan tetapi, pada saat kaum Muslimin yang kalah dan kaum kafir yang menang, maka orang-orang munafik itu pun tampil di hadapan kaum kafir, menepuk dada sebagai pahlawan yang menentukan kemenangan atas kaum Muslimin.[1] Inilah perilaku munafiq yang bermuka dua, ambigu dalam pergaulannya. Perilaku seperti inilah sangat berbahaya, karena mereka hanya memikir kan keuntungan dan kesenangan diri sendiri atau kelompoknya tanpa mau berusaha dan berjihad atau bersungguh-sungguh di jalan Allah untuk menegakkan kebenaran di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Dalam kata lain mereka mau enaknya sendiri. Sebagaimana telah digambarkan dalam suatu hadis, secara lengkap sudah ditulis di atas, yang intinya Rasul saw mewanti-wanti bahayanya orang yang bemuka dua ini.
إِنَّ شَرَّ النَّاسِ ذُو الْوَجْهَيْنِ يَأْتِي هَؤُلاءِ بِوَجْهٍ وَهَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ
“Sesungguhnya manusia yang paling buruk adalah pemilik dua wajah (munafiq), datang kepada satu golongan dengan satu wajah, dan kepada golongan yang lain dengan wajah yang lainnya.”H.R.Ahmad. No. 7724.
- Memfitnah Rasul saw
Dalam sejarah ada fitnah yang disebar-uaskan oleh orang-orang munafik sehinnga sempat menggoncangkan Nabi saw dan sahabat-sahabat beliau akhirnya turun ayat Alquran surat an-Nur/24:11-20, yang membersihkan diri ‘Aisyah dari tuduhan berbuat nista. Fitnah tersebut ditujukan pada sahabat yang bernama Safwan bin al-Mu’attal yang sebenarnya, hanyalah menolong ‘Aisyah kembali ke Madinah karena kedapatan tertinggal dalam perjalanan sekem bali dari perang dengan bani Mustaliq. Karena memasuki Masdinah berduaan, timbullah fitnah yang kemudian disebar-sebarkan oleh orang munafik. Fitnah ini sempat menggoncangkan rumah tangga Rasul dan umat Islam sampai turunnya ayat tersebut (Q.S. an-Nur/24:11-20).[2]
Rasul saw tidak mensalatkan orang Munafik pada saat meninggal.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللهِ قَالَ حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَاأَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ أُبَيٍّ لَمَّا تُوُفِّيَ جَاءَ ابْنُهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ أَعْطِنِي قَمِيصَكَ أُكَفِّنْهُ فِيهِ وَصَلِّ عَلَيْهِ وَاسْتَغْفِرْ لَهُ فَأَعْطَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَمِيصَهُ فَقَالَ آذِنِّي أُصَلِّي عَلَيْهِ فَآذَنَهُ فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَيْهِ جَذَبَهُ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَقَالَ أَلَيْسَ اللهُ نَهَاكَ أَنْ تُصَلِّيَ عَلَى الْمُنَافِقِينَ فَقَالَ أَنَا بَيْنَ خِيَرَتَيْنِ قَالَ اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللهُ لَهُمْ}فَصَلَّى عَلَيْهِ فَنَزَلَت{وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ}
Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id dari ‘Ubaidullah berkata, telah menceritakan kepada saya Nafi’ dari Ibnu’Umar ra.bahwa ketika ‘Abdul lah bin Ubay wafat, anaknya datang menemui Nabi saw. lalu berkata: “Wahai Rasul saw.:”Berikanlah kepadaku baju anda untuk aku gunakan mengafani (ayahku) dan salatlah untuknya serta mohonkanlah ampunan baginya”. Maka Nabi saw. memberikan bajunya kepadanya lalu berkata: “izinkanlah aku untuk mensalatkannya”.Ketika Beliau hendak mensalatkannya tiba-tiba ‘Umar bin Al-Khaththab ra. datang menarik Beliau seraya berkata: “Bukankah Allah telah me larang anda untuk mensalatkan orang munafik?” Maka Beliau bersabda: “Aku berada pada dua pilihan dari firman Allah Ta’ala (Q.S.At-Taubah ayat 80, yang artinya): “Kamu mohonkan ampun buat mereka atau kamu tidak mohonkan ampun buat mereka (sama saja bagi mereka). Sekalipun kamu memohonkan ampun buat mereka sebanyak tujuh puluh kali, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni mereka”.Maka Nabi saw. mensalatkannya. Lalu turunlah ayat: (QS. At-Taubah ayat 84 yang arti nya):”Janganlah kamu salatkan seorangpun yang mati dari mereka selamanya dan janganlah kamu berdiri di atas kuburannya”.H.R.al-Bukhari. No. 1190.
Hadis di atas memberikan pelajaran bagi umat Islam untuk menjauhi perilaku munafiq, sebab Rasul saw dilarang oleh Allah swt untuk mensalatinya serta berdiri di kuburannya, yang bermakna tidak mendoakannya.
- Balasan orang Munafiq neraka yang paling bawah dan juga Jahannam
M.Rasyid Ridha, menjelaskankan dalam tafsirnya bahwa ruh orang munafik adalah sejahat-jahatnya ruh, jiwanya adalah seburuk-buruk jiwa, dan akalnya adalah sekeji-keji akal. Karena ruh, jiwa dan akal yang kotor dan keji itu, maka pantaslah kalau Allah swt menempatkan mereka kelak di dalam neraka yang paling jelek pula, yaitu ditingkat terbawah dari neraka itu.[3]M.Rasyid Ridha mengutip ayat Q.S. an-Nisa/4: 145;
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا (145)
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” Juga Q.S.at-Taubah/9:63, Orang Munafiq kekal di Neraka Jahannam:
أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّهُ مَنْ يُحَادِدِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَأَنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدًا فِيهَا ۚ ذَٰلِكَ الْخِزْيُ الْعَظِيمُ
Tidaklah mereka (orang-orang munafik itu) mengetahui bahwasanya barangsiapa menentang Allâh dan Rasûl-Nya, maka sesungguhnya neraka jahannamlah baginya, kekal mereka di dalamnya. Itu adalah kehinaan yang besar. Q.S.at-Taubah/9:63.
Ayat di atas, jika manusia memiliki akal yang cerdas dan arif, tentu akan menghindari dan meninggalkan perilaku munafiq, sebab dampaknya sangat mengerihkan, yakni setelah selesai di dunia ini, kelak di akhirat, akan ditempatkan Allah swt di neraka yang paling bawah.
Perilaku munafiq yang merusak sistem tatanan masyarakat ini, sudah semestinya kita jauhi dalam kehidupan kita. Apalagi pada masa pandemi covid-19, semua orang prihatin akan hancurnya kesehatan, ekonomi, bahkan sosial budaya. Kita dibikin repot, karena kalau ke luar rumah harus pakai masker, dalam kerumunan masa mesti mangatur jarak (physical disancing), baik tempat umum maupun tempat-tempat ibadah. Bahkan, kita juga harus menjaga kesehatan melebihi sebagaimana hari-hari biasa sebelum adanya pandemi covid-19, yakni harus memperbanyak makan yang bernilai gizi yang bagus, makan vitamin sesuai dengan kebutuhan tubuh, berolahraga dan sebagainya. Tentu itu semua membutuhkan biaya, bagi yang memiliki ekonomi yang baik, tentu tidak menjadi masalah, namun bagi mereka yang tergolong enokomi lemah, untuk makan sehari-hari saja harus berjuang mati-matian, belum lagi mereka yang di-PHK oleh perusahaannya di tempat mereka belejerja, tentu lebih sulit dan lebih susah.
Dalam situasi dan kondisi seperti inilah, bagi kita yang berlebih dalama bidang ekonomi mestinya membantu mereka, apalagi para pejabat yang memiliki kebijakan bantuan sosial, agar rakyat yang susah dibantu tepat guna dan tepat sasaran. Jika pada situasi seperti ini, sudah susah, ditambah dengan perilaku munafiq, di antaranya janji tidak tepat dan berkhianat atas amanah yang diberikan, tentu akan lebih menyusahkan kaum yang lemah (dhu’afa’) pada umumnya. Oleh karenanya, marilah kita sebagai umat Islam memberikan contoh untuk tidak berperilaku munafiq, baik sebagai rakyat biasa, apalagi para pejabat.
Mengapa Orang Munafiq tidak mengambil Manfaat dari Ayat-ayat Alquran
Adapun mengapa orang munafiq tidak mengambil manfaat dari ayat-ayat Alquran setidaknya ada 2 faktor penting yaitu:
- Adanya penyakit di dalam hati, baik sifat kekufuran, adanya keraguan, atau maksiat yang dilakukan. Kemudian, baik karena dorongan syahwat ataupun adanya syubhat. Perhatikan Q.S.Al-Mâ’idah/5:52.
- Cinta dan mengedepankan kesenangan dunia yang bersifat sementara.Perhatikan Q.S.an-Nisa’/4:77 dan al-Hadid/57:20.
Jadi jelas, mereka yang tergolong munafiq akan sulit mengambil pelajaran dari ayat-ayat Alquran, kendatipun ia seorang Muslim. Hal ini, karena memang di dalam hatinya ada penyakit, bahkan Allah menambah penyakuit mereka sehingga sulit hidayah masuk ke dalamnya. Selanjutnya, mengedepankan kesenangan duniawi, lupa akan kehidupan akhirat yang abadi, sehingga dalam kehidupannya mengambaikan nilai-nilai akhlaq al-karimah, tetapi selalu mengikuti syahwat yang dibimbing oleh syaitan, baik syahwat harta, wanita atau tahta, yakni jabatan yang sangat menggiurkannya, meraihnya dengan segala cara. Inilah faktor-faktor penting yang mesti umat Islam mengetahui dan memahaminya agar kita terhindar darinya.
Penutup
Kriteria munafik yang telah dijelaskan di atas, menegaskan bahwa betapa perilaku munafik mesti dijauhi oleh umat Islam. Selain tidak baik dalam tatanan sosial di dunia ini, juga ancaman Allah swt kelak di akhirat akan dimasukkan ke dalam neraka yang paling bawah. Kepentingan orang munafik adalah kenikmatan duniawi, mereka tidak sedikitpun tertarik untuk bekal kelak di akhirat yang lebih damai dan abadi. Hal ini karena keyakinan dan keimanan mereka sangat lemah. Sebagai umat Islam, mestinya menghindari dari perilkaku munafik, dimulai dari diri sendiri, apakah sebagai rakyat biasa di masyarakat, atau sebagai pejabat bahkan kepala negara. Sebab, jika pejabat negara atau bahkan kepala negara berperilaku munafik bukan hanya masyarakatnya yang rusak bahkan negara yang dipimpinnya juga akan hancur. Dengan bebasnya masyarakat dan warga negara dari perilaku munafik diharapkan negara akan damai, makmur, sejahtera dan bahagia, sebab tidak ada lagi orang-orang yang merusak sistem masyarakat dan negara yang sudah baik dan benar. Wallahu a’lam bissawab.
( Bagian ke dua, Penutup)
Bibliografi
Abu al-Fida’ Ismail Ibn Kasir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim jilid 1, ar-Riyadh: Dar as-Salam li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1424 H/2004 M.
Abu al-Qasim Mahmud ib n ‘Umar az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil jilid 1, Mesir : Mustafa al-Babi al-Halabi, 1966.
Abu Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Anshari al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, al-Jami; li Ahkam al-Qur’an (al-Qahirah: tt,ttp.
Al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Panji Masyarakat, 1982.
Jalaluddin as-Sayuthi, ad-Durur al-Mansur fi at-Tafsir al-Ma’surjilid 3,Beirut: Dar al-Fikr, 1403 H.
Mausu’ah al-Hadis asy-Syarif al-Kutub as-Sittah, Dar as-Salam lin-Nasyr wa at-Tuzi’, al-Mamlakah al-‘Arabiyah as-Su’udiyah, Riyad, 2000.
Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manar), jilid 5, al-Qahirah: ttp, tt.
- Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah vol 1, Jakarta: Lentera Hati, 2006.
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah vol 2(Jakarta: Lentera Hati, 2006
Muhammad Fuad ‘Ab al-Baqiy, al-Mu’jam al-Mufahras li-Alfaz al-Qur’an al-Karim (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1992.
Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manar), jilid 5, al-Qahirah: ttp, tt.
Muhammad Husein Thabathaba’i, al-Mizan Tafsir al-Qur’an, Beirut: Mu’assasah al-A’lami li al-Matbu’at, tt.
Nashir ad-Din Abu al-Khayr ‘Abdullah ibn ‘Umar al-Baydawi, Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil (Tafsir al-Baydawi), Beirut: dar al-Fikr, tt.
Jalaluddin as-Sayuthi, ad-Durur al-Mansur fi at-Tafsir al-Ma’surjilid 5, Beirut: Dar al-Fikr, 1403 H.
Tim Penulis Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
at-Tabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an jilid 17, Mesir : Mustafa al-Babi al-Halabi, 1373 H.
[1]Abu al-Fida’ Ismail Ibn Kasir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim jilid 1, (ar-Riyadh: Dar as-Salam li an-Nasyr wa at-tauzi’, 1424 H/2004 M), h. 776-778.
[2]Tentang peristiwa ini dapat dilihat dalam at-Tabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an jilid 17 (Mesir : Mustafa al-Babi al-Halabi, 1373 H), h.90-93.
[3] Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manar), jilid 5 (al-Qahirah: ttp, tt.), h. 474.