ISLAM, MUSUH UTAMA KOMUNIS
Oleh DR. Masri Sitanggang
_*Secara ideologis, komunis harus bertarung menghancurkan nilai-nilai Pancasila sehinggan menjadi Pancasila yang memusuhi agama. Secara fisik, komunis harus berhadapan dengan ummat Islam dan TNI.*_
Jauh sebelum peristiwa 30 September 1965, Ummat Islam sudah mencium gelagat petaka buruk akan terjadi yang ditimbulkan PKI. Sebagai langkah antisipasi, digelarlah Kongres Ulama pada 8-11 September 1957 di Palembang, Sumatera Selatan. Kongres antara lain memutuskan : mengharamkan ideologi komunis dan mendesak Presiden Soekarno untuk mengeluarkan dekrit pelarangan PKI dan semua mantel organisasinya.
Sayangnya, suara ulama seringkali diabaikan begitu saja. Alih-alih mengeluarkan dekrit, Soekarno justeru merangkul PKI ke dalam pemerintahan, membangun ideologi NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis), tahun 1960. Dengan demikian PKI semakin melembaga dan kuat.
Rentetan kejadian selanjutnya adalah justeru kebalikannya. Atas desakan dan tekanan PKI, terbitlah Keputusan Presiden RI No.200 Th.1960 tertanggal 17 Agustus 1960 tentang pembubaran Partai Islam Masyumi –partai pemenang pemilu urutan ke-2 setelah PNI, dengan dalih keterlibatan tokoh-tokohnya dalam PRRI. Berselang tiga tahun kemudian, 10 Juli 1963, terbit pula Keputusan Presiden RI No.139 tahun 1963 tentang pembubaran GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia). Dalihnya, beberapa anggota GPII terlibat usaha pembunuhan Soekarno di Cikini, Jakarta, serta dalam kesempatan shalat Idhul Adha di lapangan istana. Di sebut juga bahwa GPII telah “menghambat” penyelesaian revolusi ( *Deliar Noer,* _Partai Islam di Pentas Nasiona,_ 2000).
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pun tidak lepas dari upaya pembubaran, tetapi tidak berhasil. Desakan Central Gerakan Mahasiswa Indonesia-PKI (CGMI-PKI) kepada Presiden untuk membubarkan HMI justeru disambut oleh Pelajar Islam Indonesia (PII) dengan tantangan: “Langkahi dulu mayat kami, baru bubarkan HMI”. Selogan itu menghiasi tembok-tembok di beberbagai sudut kota Jakarta. Sangat mungkin, karena dukungan luar biasa itu pemerintah mengurungkan niatnya membubarkan HMI.
Mengutip Manai Sopihaan, *Ahmad Mansur Suryanegara,* _Api Sejarah 2_ (2012) menuliskan, pemerintah –melalui Wakil Perdana Mentri II, DR Leimena– menyampaikan penolakan tuntutan CGMI-PKI itu dalam penutupan kongres CGMI di Istora Senayan 28 September 1965 yang juga dihadiri oleh Presiden Soekarno. Alasan pemerintah karena HMI adalah organisasi nasionalis, patriotik dan loyal terhadap pemerintah.
Mendengar penolakan itu ketua CCPKI, DN Aidit –ketika mendapat giliran menyampaikan pidatonya, mengatakan :
_“Kalau pemerintah tidak akan membubarkan HMI maka janganlah kalian berteriak-teriak menuntut pembubaran HMI. Lebih baik kalian bubarkan sendiri saja dan kalau tidak mampu melakukan itu, lebih baik kalaian jangan pakai celana, tapi tukar saja dengan kain sarung.”_
Selanjutnya, atmosfer politik Indonesia diwarnai oleh penangkapan tokoh-tokoh Ummat Islam, yang antara lain : Buya Hamka, KH.Yunan Helmi Nasution, M Natsir, KH. Isa Anshari, KH. Mukhtar Ghazali, KH. EZ. Muttaqien, KH.Soleh Iskandar, KH.Ghazali Sahlan dan KH. Dalari Umar dan lain-lain.
Itu semuanya hanya dikarenakan Masyumi, HMI dan GPII menolak NASAKOM !
PII malah sudah lebih dahulu mendapat tekanan, bahkan serangan fisik. Peristiwa Pemberotakan PKI di Madiun 19 September 1948, menjadikan syahidnya Komandan Brigade PII Madiun. Begitu juga 13 Januari 1965, PII yang melakukan Mental Training di Kanigoro, pada waktu subuh, diserang oleh Pemuda rakyat (PR) dan Barisan Tani Indonesia (BTI) –keduanya organisasi sayap PKI. Penyerang melecehkan pelajar wanita dan merobek serta menginjak-injak sejumlah Mushaf Al-Qur’an. Kejadian ini dikenal sebagai _Peristiwa Kanigoro._
Bulan Juli 1965, PKI menggelar latihan militer untuk 2000 anggotanya di Pangkalan Udara Halim dengan dalih ”Mempersenjatai Rakyat untuk Bela Negara”. Dua bulan kemudian, 30 September 1965 malam, terjadilah Gerakan G30S/PKI. PKI membunuh 6 (enam) Jenderal Senior TNI AD di Jakarta dan mengubur mayatnya di sumur LUBANG BUAYA di sekitar Halim. Turut dibunuh AIP KS Tubun, seorang Ajun Inspektur Polisi yg sedang bertugas menjaga Rumah Kediaman Wakil PM Dr .J. Leimena. Ikut menjadi korban adalah putri bungsu Jenderal AH Nasution yg baru berusia 5 tahun, Ade Irma Suryani Nasution, yg berusaha menjadi perisai ayahandanya dari berondongan senapan mesin PKI. Ade terluka, dan akhirnya wafat pada tanggal 6 Oktober 1965.
Tanggal 1 Oktober 1965 di Yogyakarta PKI membunuh Brigjen Katamso Darmokusumo dan Kolonel Sugiono. Sementara di Jakarta PKI mengumumkan terbentuknya DEWAN REVOLUSI baru yang telah mengambil alih kekuasaan.
Pada 18 Oktober 1965, PKI menyamar sebagai Anshar Desa Karangasem (kini Desa Yosomulyo) Kecamatan Gambiran, lalu mengundang Anshar Kecamatan Muncar untuk pengajian. Pemuda Anshar Muncar disambut oleh Gerwani yang menyamar sebagai Fatayat NU, lalu mereka diracuni. Setelah itu mereka dibantai dan Jenazahnya dibuang ke Lubang Buaya di Dusun Cemetuk Desa/Kecamatan Cluring Kabupaten Banyuwangi. Sebanyak 62 orang Pemuda Anshar dibantai, beberapa pemuda lainnya berhasil melarikan diri sehingga menjadi saksi mata peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Tragedi Cemetuk itu.
Masih sangat banyak lembaran hitam sejarah PKI di seluruh pelosok tanah Air, yang kalau dituliskan akan menghasilkan berjilid-jilid buku. Namun catatan di atas rasanya cukup untuk mengambarkan betapa kejam dan biadab serta berbahayanya paham komunis itu. Bandingkan, kalau *Adolf Hitler* (1934-1945) membantai 11 juta jiwa, maka komunis dunia membantai 120 juta jiwa di 76 negara (1917-1991). Artinya, Komunis membunuh 4500 jiwa per hari.
Penciuman tajam umat Islam tentang gelagat petaka akan terjadi yang ditimbulkan PKI bukan tanpa alasan. Inilah antara lain yang mendasari Kongres Ulama di Palembang –yang menuntut Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit pelarangan PKI.
Sejak kemunculannya di Nusantara –dibawa oleh tokoh Belanda, Henk Sneevliet—dan terbentuknya perserikatan kommoenis tahun 1920 pimpinan Samaoen, komunis senintiasa menimbulkan kekacauan. Sarikat Islam (SI), organisasi terbesar saat itu, berhasil disusupi sehingga terbelah menjadi dua : SI merah dan SI putih.
Partai Komunis Indonesia (PKI) komintern pimpinan Sarjono menentang Proklamasi 17 Aggustus 1945 dan bersikap pro kolonial Belanda. Tanggal 12 Pebruari 1946, PKI di bawah Pimpinan Mr. Moehammad Joesoef melakukan kudeta di Cirebon. Di tahun yang sama melakukan hal yang sama pula di kesultanan-kesultanan Sumatera Timur.
Tanggal 18 September 1948, Muso (tokoh PKI) didukung Amir Sjarifuddin –Menteri Pertahanan saat itu, yang juga pentolan PKI– memproklamirkan negara Soviet Republik Indonesia di Madiun. Sebuah penghianatan keji terhadap negara yang baru saja tumbuh dan sedang menghadapi agresi sekutu. Ratusan ulama, aparat TNI, pegawai pemerintahan dan tokoh masyarakat dibunuh. Dalam pembongkaran “Sumur Neraka Soco I dan II” di kemudian hari oleh Pemerintah RI di awal Januari 1950, ditemukan sebanyak 129 kerangka mayat : 89 dikenali dan 40 tidak dikenali ( *Taufiq Ismail,* _Katastrofi Mendunia Marxisme, Leninisma, Stalinisma, Maoisma, Narkoba, 2004)._
Tujuan ideologis komunis sebagaimana digariskan oleh *Karl Marx* dan *Friedrich Engel* dalam _Manifesto Komunis_ (1848), yang tidak berubah hingga saat ini, kata *Taufiq Ismail* (2004), adalah “Merebut kekuasaan dengan kekerasan, menggulingkan kekutan sosial yang ada.” Untuk mencapai tujuan itu, ada 18 butir tuntunan praktis yang harus diikuti, yakni : berdusta, memutar balik fakta, memalsukan dokumen, memfitnah, memeras, menipu, menghasut, menyuap, intimidasi, membenci, mencaci maki, menyiksa, memerkosa, merusak, menyabot, membumi hangus, membunuh dan membantai.
Komunis menjadikan agama –terutama Islam, sebagai musuh utama. Kepada pengikut komunis, ditanamkan faham bahwa agama adalah candu bagi masyarakat. Oleh sebab itu, mudah dipahami, komunis akan sangat mudah berkembang di negara-negara yang menganut faham sekuler. Sebab, di negara semacam ini, warga negara bebas untuk melaksanakan atau untuk tidak melaksanakan ajaran agamanya. Bahkan bebas untuk beragama atau tidak beragama.
Ajraran, faham, tujuan dan tuntunan praktis komunis itu jelas bertentangan dengan ajaran agama samawi. Karena itulah Kongres Ulama di alembang menyatakan faham komunis sebagai haram.
Di Indonesia, negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan falsafah negara Pancasila, komunis akan menghadapi dua hal : kekuatan falsafah negara dan kekuatan fisik pengawal falsafah negera. Secara ideologis, komunis harus bertarung melemahkan dan menghancurkan nilai-nilai Pancasila secara umum atau mengganti/merubah Falsafah Pancasila. Mengganti Pancasila bukanlah pekerjaan gampang. Jalan yang mudah adalah meneriakkan penegakan Pancasila, tetapi dengan makna yang berbeda. Ibarat _hand phone,_ casingnya tetap Pancasila tetapi mesinnya sudah komunis : Pancasila yang memusuhi agama.
Secara fisik, komunis harus berhadapan dengan TNI dan ummat Islam. TNI adalah patriot pendukung dan pengawal Pancasila dan UUD 1945. Sementara Ummat Islam adalah pendukung diterapkannya nilai-nilai agama dalam kehidupan bernegara, sehingga mereka tetap akan mempertahankan Indonesia sebagai negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan falsafah pancasila sebagaimana termaktub dalam alenia ke 4 pembukaan UUD 1945 yang diberlakukan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Antara TNI dan Ummat Islam ada benang hijau yang kuat : TNI lahir dari kaum pergerakan yang diplopori para ulama dan laskar-laskar perjuangan Islam. Jadi, dalam menghadapi komunis, mereka akan menyatu-padu. Oleh sebab itu selagi falsafah negara dipegang teguh oleh pemerintah dan rakyatnya, serta TNI tidak terpisahkan dengan Ummat Islam, komunis tidak akan mampu mewujudkan mimpinya menguasai Indonesia.
Kemunculan gejala-gejala kebangkitan faham komunis sekarang ini perlu segera direspon sebagai kewaspadaan agar sejarah kelam bangsa ini tidak terulang. Langkah yang mendesak adalah membangun persepsi yang sama antar kekuatan anti komunis. Ummat Islam harus punya pemahaman dan sikap yang sama terhadap kebangkitan kembali faham terlarang ini. Kerjasama Ummat Islam-TNI harus dibangun sejak dini, sehingga dua potensi kekuatan ini bisa berpadu dan tidak ada celah pihak lain untuk memecah-belah melalui politik adu domba.
_Allahu a’lam bishshawab._
Penulis adalah Ketua Panitia #Masyumi Reborn, Ketua Komisi di MUI Medan