Kontribusi Ilmu Medis di Peradaban Islam
Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Ilmu medis (kedokteran) adalah salah satu sumbangan besar peradaban Islam untuk dunia. Sebagaimana didefinisikan Ibn Sina dalam karyanya “al-Qanun fi ath-Thibb”, kedokterasn (medis) adalah cabang ilmu yang menelaah keadaan-keadaan sehat dan sakit tubuh dari manusia dengan tujuan mendapatkan cara yang sesuai untuk menjaga atau mempertahankan kesehatannya. Ilmu medis sendiri di dunia Islam terhitung sebagai ilmu terapan terpenting karena berhubungan dengan kesehatan tubuh manusia sebagai kajiannya.
Seperti dikemukakan oleh para dokter dan psikolog Muslim, sejatinya antara tubuh dan jiwa manusia itu saling berkait dan berpengaruh, oleh karena itu kesehatan tubuh (jasmani) menjadi hal penting, bahkan sangat penting, untuk penyempurnaan jiwa, dan karena itu pula para sarjana Muslim di bidang medis banyak memberi perhatian terhadapnya.
Dalam perkembangannya, ilmu medis (kedokteran) di dunia Islam memiliki posisi istimewa lagi terhormat. Bahkan dapat dinyatakan dari semua ilmu dan seni praktis yang dikembangkan para ilmuwan Muslim, tidak ada yang menempati posisi lebih unggul dan dihargai dibanding ilmu kedokteran. Hal ini tidak lain disebabkan oleh adanya nilai-nilai dan pesan-pesan syar’i yang melekat pada kedokteran Islam. Dalam tradisi kajian hukum Islam, pengkajian medis (kedokteran) masuk dalam kategori ilmu harus dikaji dan dipelajari sekurang-kurangnya oleh sekelompok orang, atau dikenal dengan fardu kifayah. Dengan ini pula, dokter-dokter Muslim silam memiliki karakter mulia, mampu mengintegrasi dan menginterkoneksikan ketajaman ilmiah dengan nilai-nilai moral-etik, di saat yang sama daya intelektualnya tidak pernah luput dari keimanan yang kuat kepada Allah.
Dengan semangat ilmiah dan religius itu, para dokter Muslim silam terdorong untuk mengembangkan telaah dan riset medis yang pada akhirnya membuahkan sumbangan gemilang bagi dunia. Kontribusi pertama sarjana kedokteran Muslim setidaknya adalah integrasi ilmu medis dari berbagai budaya dan tradisi pra-Islam, diantaranya adalah dengan upaya menerjemahkan karya-karya medis pra-Islam (khususnya Yunani, Inia, Persia) ke bahasa Arab. Beberapa penerjemah populer ketika itu dapat disebutkan antara lain Hunain bin Ishaq, yang menerjemahkan 99 karya Galen yang berbahasa Yunani ke bahasa Arab. Berikutnya Tsabit bin Qurrah, yang menerjemahkan ke bahasa Arab karya-karya Medis berbahasa Persia, Sansekerta, dan Yunani. Para ahli medis Muslim kala itu dengan penuh antusias mempelajari khazanah medis dari berbagai tradisi pra-Islam itu dengan bertanggung jawab dan tanpa ada keraguan. Selanjutnya secara aktif-kreatif para dokter Muslim mengembangkan dengan berbagai cabang medis baru yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Selain kreasi dan integrasinya yang tinggi, para dokter Muslim juga menumbuhkan budaya literasi yaitu dalam bentuk karya tulis. Tercatat, seorang tokoh bernama Ali bin Rabban al-Thabari sebagai orang pertama menulis medis di dunia Islam. Dia menulis buku medis berjudul “Firdaus al-Hikmah”, yaitu pada tahun 850 M. Tokoh ini adalah guru Zakariya ar-Razi (seorang ahli kimia dan dokter terkenal di dunia Islam). Buku “Firdaus al-Hikmah” terdiri dari 360 bab, mencakup pembahasan patologi, farmakologi, dan diet. Menurut Seyyed Hossein Nasr, karya ini menggambarkan sifat sintesis aliran kedokteran baru yang mulai menjelma ketika itu.
Berikutnya, para dokter Muslim adalah perintis dari berbagai disiplin medis, antara lain medis umum dan internal, ortopedi, psikiatri, patologi, gastroentologi, kardiologi, parasitologi, dermatologi, opthalmologi, pediatri, ginekologi, medis preventif, kesehatan masyarakat, urologi, ilmu bedah, anesthesia, kebidanan, farmakologi, toksikologi, dietetics, dan etika medis alam perkembangannya lagi, para dokter Muslim adalah yang pertama menginisiasi dengan membedakan farmasi sebagai sebuah sains tersendiri yang terlepas dari ilmu kedokteran. Para dokter Muslim juga adalah penemu pertama ilmu farmasi dimana obat-obatan disalurkan melalui apa yang kini dikenal dengan resep dan lisensi. Farmasi mendapat status sebagai disiplin ilmu mandiri baru pada abad ke-9 M. Tercatat kala itu di Bagdad ada puluhan apotek yang menyiapkan obat-obatan dengan resep.
Secara regulatif, tradisi kefarmasian kala itu diatur oleh negara, yang dikenal dengan ‘muhtasib’ yang berfungsi mengawasi pedagang-pedagang agar tidak memasarkan obat-obat yang tidak berlisensi atau kadaluarsa. Dalam praktiknya, jika pedagang obat itu melanggar ketentuan ini maka ia akan dihukum dan didenda. Atas kontribusi dunia medis dan farmasi Islam ini, seperti dinyatkan Georgi Zeidan, farmakologi modern secara umum berhutang kepada sarjana-sarjan kedokteran Muslim silam sebagai yang pertama kali menggagas ilmu farmasi.
Kontribusi peradaban Islam di bidang medis lainnya adalah pendirian ‘bimaristanat’, atau hari ini dikenal dengan Rumah Sakit. Dalam perkembangan awalnya, kehadiran rumah sakit tidak semata berfungsi sebagai tempat penyembuhan dan perawatan orang-orang yang sakit, namun juga berfungsi sebagai pusat pendidikan kedokteran. Dalam literatur-literatur sejarh sains akan tampak bahwa rumah sakit adalah salah satu lembaga pendidikan sains yang pernah eksis di dunia Islam.
Berdirinya rumah sakit di dunia Islam merupakan kontribusi besar dalam dunia medis, dan terhitung sebagai sumbangan peradaban Islam. Konon, rumah sakit pada masa awal didirikan di Damaskus tahun 707 M, yang mana hingga abad ke-13 M tercatat telah berdiri sebanyak 30 rumah sakit di dunia Islam.
Sumbangan lain kedokteran Islam adalah telah terbentuknya sistem kurikulum medis yang digunakan di Barat sampai abad ke-19 M, bahkan hingga saat ini. Diantara tokoh dokter Muslim yang berjasa besar dalam hal ini adalah Ar-Razi dan Ibn Sina yang merumuskan prinsip-prinsip dasar medis secara sistematis dan komprehensif sehingga dapat dipelajari dan diambil manfaatnya oleh siapapun. Selain itu, kontribusi ilmu medis Islam lainnya adalah penemuan-penemuan penting tentang sumber-sumber sebab penyakit dan penanganan penyembuhannya. Para dokter Muslim aktif melakukan prognosis, diagnosis, dan analisis tentang gejala-gejala sebuah penyakit berikut metode penyembuhannya. Kini, ada banyak terminologi medis yang berasal dan berakar dari medis Islam silam yang masih digunakan sampai saat ini, dan sepintas tampak terminologi Arabnya, seperti retina, katarak, alembik, aludel, alkali, arsenik, aldehid, dan lain-lain.
Penulis, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) UMSU dan Kepala OIF UMSU