Hikmah Ilmiah Pengalihan Arah Kiblat
Oleh: Dr. Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, MA
Menghadap kiblat adalah keharusan (rukun) di dalam shalat, tanpa menghadap kiblat maka shalat seorang Muslim tidak sah. Dalam sejarahnya, umat Islam pernah memiliki arah kiblat ke Baitul Maqdis di Jerusalem, namun kemudian dipindah ke Baitullah di kota Mekah.
Pilihan kota Mekah sebagai rumah pertama dibangun (awwalu baitin wudhi’a) untuk manusia sebagai Kiblat adalah murni pilihan Allah, yang memiliki hikmah luar biasa. Seorang Muslim mengarah ke Ka’bah ketika shalat maka sesungguhnya ia menghadap pusat Bumi atau jantung dunia (qalb da’irah). Yaqut al-Hamawi (W./) dalam ‘Mu’jam al-Buldân’ (Ensiklopedia Negeri-Negeri) mengatakan, “yang pertama diciptakan Allah di permukaan Bumi adalah Ka’bah, yang dibentangkan sebagai pusat Bumi dan pusat dunia, dan Ummul Qurâ adalah Ka’bah, dan ‘Bakkah’ berada disekitar Mekah, dan disekeliling al-Haram (Mekah) adalah dunia”. Dari alasan ini, wajar kiranya jika arah kiblat dialihkan dari Bait al- Maqdis ke Ka’bah.
Dalam praktiknya Nabi Saw dan sahabat shalat menghadap Bait al-Maqdis selama 16 bulan beberapa hari. Setelah berlalu 16 bulan lebih kaum Muslimin shalat menghadap Bait al-Maqdis, maka turunlah perintah untuk menghadap Baitullah (Ka’bah) di Mekah. Sebab dialihkannya arah kiblat ini, seperti dikisahkan dalam al-Qur’an, antara lain karena Rasulullah Saw selalu menengadahkan wajahnya ke langit memohon dan menanti wahyu agar arah kiblat dipindah ke kiblat Ibrahim (Ka’bah) di Mekah, hingga akhirnya Allah mengabulkan keinginan Rasulullah Saw tersebut yang ditandai dengan turunnya QS. Al-Baqarah [2] ayat 144. Allah berfirman, “Sungguh Kami melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah wajahmu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Alkitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan” (QS. Al-Baqarah [02] ayat 144)
Setelah ayat ini turun, kaum Muslimin shalat menghadap Ka’bah, dan seperti diinformasikan al-Qur’an, pengalihan arah kiblat ini mendapat protes dari kaum Yahudi yang enggan dipindah ke Masjidil Haram (Ka’bah). Menanggapi protes kaum Yahudi ini Allah menurunkan wahyu lagi kepada Rasulullah Saw untuk menjawab protes tersebut dengan firman-Nya, “Katakanlah, kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya kejalan yang lurus” (QS. Al-Baqarah [02]: 142).
Hikmah lain, Ka’bah memiliki power yang besar karena dijadikan sebagai kiblat umat Islam di seluruh dunia dalam shalat dan amal ibadah lainnya. Setiap Muslim menunaikan shalat selalu berpedoman dengan gerak harian Matahari. Logikanya, ketika kita berada di wilayah Barat, di kota Medan misalnya, dan kita sedang melaksanakan shalat Zuhur, maka dalam waktu yang lain, selang satu atau dua jam, di wilayah sebelah timurnya baru akan melaksanakan shalat Zuhur, dan ketika itu kita yang berada di wilayah Barat akan melaksanakan shalat Asar, dan begitu seterusnya.
Karena Matahari sesuai peredaran semunya bergerak ke arah Barat. Filosofinya, semua umat Islam dipenjuru dunia ini senantiasa dalam shalat dan zikir, dan praktis semua energi ibadah tersebut mengarah ke titik yang sama yaitu Ka’bah. Dan Ka’bah seperti ditegaskan di atas merupakan pusat Bumi (markaz al yâbisah).
Masjidil Aqsha berada di lokasi dengan koordinat 31° 46′ LU. Garis ini kenyataannya tidak dilalui Matahari, sebab paling jauh Matahari akan melewati garis LU pada tanggal 21 Juni, tepat berada di lintang 23.5° LU. Dengan demikian, mustahil Baitul Maqdis dapat dijadikan sarana penentuan arah kiblat (dikenal dengan rashdul kiblat) setiap tahunnya.
Seperti diketahui, Ka’bah (Masjidil Haram), berada di garis koordinat 21° 25′ LU. Garis ini di bawah 23.5° LU yaitu batas Matahari melakukan kulminasi. Dengan demikian momen rashdul kiblat akan dapat terjadi yaitu setiap tanggal 28 Mei pukul 16:18 WIB dan tanggal 16 Juli pukul 16:28 WIB. Saat itu, posisi Matahari tepat berada di atas ka’bah, sehingga pada saat itu setiap bayangan benda tegak atau garis bayangan benda tersebut akan mengarah tepat ke arah Ka’bah (kiblat). Artinya, peristiwa rashdul kiblat ini mustahil terjadi pada koordinat Masjidil Aqsha.
Hikmah geologis. Kota Mekah dan hampir keseluruhan Tanah Hijaz umumnya berdiri di atas bagian kerak Bumi yang sudah sangat tua dan stabil, dan dikenal sebagai Arabian-Nubian Shield. Disini sangat jarang terjadi gempa. Berbeda dengan Jerusalem, yang berdiri di atas lintasan patahan besar Laut Mati, yang membentang dari Teluk Aqaba di barat daya hingga Pegunungan Taurus dan Van di Turki.
Patahan besar ini masih aktif dan berulang kali menjadi generator gempa merusak sepanjang sejarahnya. Salah satu gempa yang pernah terjadi adalah sekitar 2150 SM ketika segmen barat daya Laut Mati terpatahkan dan terdeformasi sehingga digenangi air Laut Mati. Gempa ini konon disertai letusan besar-besaran gunung api yang bekas-bekasnya masih bisa dijumpai di dekat Bashan (Yordania) dan kemungkinan menghasilkan proses tektono-vulkanik. Apakah al-Aqsa bisa terkena gempa di masa mendatang? Kemungkinan itu sangat terbuka.
Hikmah dari perspektif Keamanan. Sampai hari ini Masjidil Aqsha tak pernah aman dari rongrongan Yahudi, mereka terus mengintimidasi kaum Muslimin, sehingga umat Muslim disana maupun yang datang dari luar merasa tidak aman. Berbeda dengan di Masjidil Haram yang tenang dan damai.
Hikmah dari perspektif politik dan ekonomi. Seperti diketahui, Ka’bah yang menjadi kiblat umat Islam seluruh dunia dari sejak dahulu sampai kini merupakan pusat ekonomi yang amat strategis.
[] Penulis: Kepala Observatorium Ilmu Falak UMSU