Polemik UU Minerba Baru
Oleh : Dr. Abdul Hakim Siagian, SH., M.Hum. & Fitria Longgom Siagian, SH.
Pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) menjadi payung hukum minerba di Indonesia sejak 10 Juni 2020. Ketika perhatian publik tercurah pada Covid-19, DPR dan pemerintah justru mengesahkan revisi UU Minerba. Pembahasan yang terburu-buru, kesan kejar tayang, seperti dipaksakan mengindikasikan konspirasi guna memuluskan kepentingan pihak-pihak tertentu dalam hal ini para investor dan atau pemilik bisnis minerba. Ini menggambarkan sejarah hitam kehidupan bernegara kita.
UU Minerba baru ini menuai berbagai polemik. Pertama, RUU Minerba pada prinsipnya tidak memenuhi unsur sebagai RUU yang dapat diteruskan pembahasannya atau sering disebut sebagai mekanisme carry over dalam pembentukan undang-undang. Berdasarkan Pasal 71A UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, RUU yang masuk dalam kategori carry over harus memenuhi syarat diantaranya telah dilakukan pembahasan Daftar Inventaris Masalah (DIM). RUU Minerba merupakan RUU inisiatif DPR periode 2014-2019. Sampai pada masa jabatan DPR periode tersebut berakhir, belum sekali pun dilakukan pembahasan terhadap DIM RUU Minerba.
Kedua, prinsip sentralistik dalam UU Minerba bertentangan dengan semangat otonomi daerah dan penghormatan terhadap kekayaan daerah contohnya hak ulayat termasuk juga prinsip adat mengenai lingkungan. Menghilangkan kewenangan perizinan bagi pemerintah Kab/Kota adalah bukti otonomi daerah sekedar jadi slogan. Anomali berbagai pelanggaran terhadap hak ulayat bahkan berbagai tindak kejahatan lingkungan dan persoalan perizinan yang dibiarkan yang jawabannya perubahan UU ini. Lantas menimbulkan tanda tanya mengapa bukan penegakan hukum yang harus dilakukan?
Selain itu, pembahasan RUU Minerba yang dilakukan tanpa keterlibatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mencerminkan pelanggaran nyata terhadap konstitusi dan ketentuan undang-undang. Berdasarkan Pasal 22D UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 249 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menyatakan DPD mempunyai kewenangan membahas RUU yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya.
Kewenangan DPD ini diperkuat oleh Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 92/PUU-X/2012, meskipun implikasi dari putusan a quo adalah kewenangan DPD tersebut tidak sampai tahap pengambilan keputusan. Sayangnya, DPD sama sekali tak dilibatkan oleh DPR dalam proses pembahasan tersebut. Di sini terlihat sikap egosentris DPR dalam pembentukan undang-undang.
Ketiga, tidak tampaknya tiga aspek kajian penting yaitu kajian filosofis, sosiologis dan yuridis dalam Naskah Akademik (NA). Kajian filosofis misalnya falsafah Pancasila dalam NA tidak tegas dan menonjol apalagi breakdown dari Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Begitu pula dengan kajian sosiologis empiris yang tidak menunjukkan masyarakat mana yang menginginkan perubahan UU minerba ini selain keinginan investor pemilik tambang yang menguasai mayoritas dari areal pertambangan. Sehingga kajian yuridis juga tidak akan tepat, baik apalagi sempurna karena rujukan filosofisnya melenceng begitu pula dengan faktanya yang ngawur atau tidak jelas.
Keempat, rancunya alasan revisi UU minerba. Kepentingan revisi UU Minerba berikut regulasi turunannya acap kali bersembunyi di balik kepastian hukum untuk pelaku usaha pertambangan serta upaya memperbesar penerimaan negara. Faktanya justru lebih sering menunjukkan negara lemah ketika berhadapan dengan tambang raksasa ini. Alasan lain yaitu terkait revisi UU Minerba dikarenakan sejumlah ketentuan yang ada belum mampu menjawab permasalahan dan adanya tumpang tindih serta sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan terkait, misalnya UU Pemda, UU Lingkungan Hidup, UU Keuangan dan Penerimaan Negara, UU Tata Ruang, Kelautan dan Sistem Zonasi serta putusan MK.
Namun dalam prakteknya tidak diusut dan dilakukan penegakan hukum, malah ketentuan-ketentuan strategis dan konstitusional justru dirubah dan dieliminasi. Maksud yang sarat moral hazard ini malah mendapat dukungan penuh dari “oligarki” yang tergabung dalam konspirasi penguasa, pengusaha dan sejumlah pimpinan partai. Buktinya 8 fraksi dari 9 yang ada menyetujui perubahan ini.
Kelima, mengenai imunitas pemerintah dalam pemberian izin pertambangan yang berlindung di balik payung norma. Terbukti bahwa ketentuan Pasal 165 UU Minerba terkait sanksi pidana yang menjerat pemerintah karena melakukan penyalahgunaan kewenangan mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan, Izin Pertambangan Rakyat, dan Izin Usaha Pertambangan Khusus dihapus oleh UU Minerba yang baru. Tentu norma tersebut berpotensi menimbulkan korupsi dan celah konflik kepentingan bagi pemerintah. Lagi-lagi norma ini berseberangan dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Keenam, UU Minerba memberikan ancaman lingkungan dan masyarakat sekitar terhadap aktivitas tambang. Sebagaimana Q.S. Ar-Rum Ayat 41, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Misalnya, ketentuan Pasal 1 ayat (28a) menujukkan aktivitas pertambangan minerba akan meliputi ruang hidup masyarakat. Begitu juga dengan Pasal 162 dan Pasal 164, yang membuka peluang kriminalisasi terhadap masyarakat yang melawan aktivitas pertambangan.
Perubahan UU Minerba seakan tidak lagi peduli terhadap dampak yang akan merenggut nyawa masyarakat. Tentu secara tidak langsung norma tersebut tak harmonis dengan Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan UU 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup karena dianggap sebagai norma perusak lingkungan.
Masalah sesungguhnya dari aktivitas minerba adalah berbagai pelanggaran bahkan dari hulu ke hilir. Persoalan penegakan hukum yang tidak dijalankan karena cerminan dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (saling menutupi) nyaris tanpa pencegahan padahal regulasi perizinan dan AMDAL harusnya menjadi dasar untuk memaksimalkan pencegahan oleh aparatur berwenang. Kejahatan lingkungan (extraordinary crime) yang harusnya diberantas secara luar biasa pula, kok jalan keluarnya malah merubah UU bukan menegakkan hukum dan memaksimalkan pencegahan?. Dengan demikian, harus diuji pasal-pasal kontroversial UU Minerba tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tentu kita berharap MK dapat memutus pengujian undang-undang itu seadil-adilnya tanpa memihak namun mempertimbangkan kemakmuran rakyat sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Presiden rasanya terlalu berisiko mempertaruhkan kredibilitasnya dalam berbagai regulasi baru ini termasuk UU Minerba. Kita masih berharap beliau sepenuh hati akan menjalankan perintah konstitusi khususnya Pasal 33. Tentu dengan mengeluarkan perppu. Bila demikian, tak perlu menunggu putusan MK, saya yakin bila itu menjadi pilihan presiden maka terimakasih kita atas keberanian beliau.
Penulis : Dr. Abdul Hakim Siagian, SH., M.Hum. & Fitria Longgom Siagian, SH.