Peran Hukum dalam Pilkada
Oleh: Dr. Abdul Hakim Siagian, SH., M.Hum dan Fitria Longgom Siagian, SH.
Pemilihan kepala daerah di Indonesia pada tahun 2020 digelar secara serentak untuk daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2021. Landasan konstitusional pilkada adalah Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Lebih lanjut terdapat dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah, yaitu Pasal 62 yang menyatakan ketentuan mengenai pemilihan kepala daerah diatur dengan undang-undang. Kemudian UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, dalam Pasal 1 angka 1 menjelaskan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung dan demokratis. Selanjutnya dalam Pasal 2 menyatakan Pemilihan dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Sistem pemilihan kepala daerah langsung secara serentak pada tahun 2020 merupakan yang ketiga kalinya diselenggarakan di Indonesia. Kenyataannya, Pilkada langsung ini mempunyai beberapa kelemahan diantaranya memerlukan biaya tinggi. Kontestasi politik 2020 digelar di 270 wilayah di Indonesia, meliputi sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Pendanaan kegiatan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dibebankan pada APBN dan dapat didukung melalui APBD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Ps. 166). KPU Propinsi/Kabupaten/Kota memerlukan tambahan anggaran sebesar Rp4,77 triliun berdasar surat KPU per tanggal 9 Juni 2020 sehubungan dengan adanya covid-19. KPU melaporkan biaya pilkada periode 2010–2014 mencapai Rp15 triliun meliputi biaya KPU, Panitia Pengawas Pemilu, kepolisian, calon kepala daerah, dan tim kampanye.
Tidak hanya itu, pilkada sangat rawan potensi konflik dan kekerasan. Menurut Arend Lijphart (1968), Indonesia merupakan negara yang termasuk dalam kategori centrifugal democracy, di mana perilaku elitenya sangat kompetitif. Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) disusun oleh Bawaslu dari tiga aspek utama, yaitu penyelenggaraan, kontestasi, dan partisipasi. Faktor pemicu kerawanan tinggi berupa politik uang, keberpihakan petugas penyelenggara, kontestasi antarcalon, pemenuhan hak pilih warga, netralitas PNS, penggunaan media sosial, dan penggunaan politik identitas. Berdasarkan IKP Pilkada Serentak 2018, tiga provinsi yang dikategorikan paling rawan adalah Papua, Maluku, dan Kalimantan Barat. Sementara untuk kabupaten/kota, terdapat enam daerah yang dinilai paling rawan, yakni Mimika, Paniai, Jaya Wijaya, Puncak (Papua), Konawe (Sultra), dan Timor Tengah Selatan (NTT).
Tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2020 sempat tertunda karena wabah Covid-19, kini tahapan tersebut kembali dilanjutkan. KPU resmi menjadwalkan pemungutan suara Pilkada serentak tahun 2020 pada tanggal 9 Desember 2020. Seperti yang termaktub dalam bunyi Pasal 8C Putusan KPU No 5 Tahun 2020. Jika dicermati maka pilkada serentak ini menimbulkan ancaman baru apalagi di tengah pandemi. Refleksi Pemilu 2019, total ada 894 petugas KPPS yang meninggal dunia dan 5.175 mengalami sakit. (Kompas.com). Bawaslu memetakan empat konteks potensi kerawanan Pilkada serentak 2020 dalam IKP. Bawaslu mengatakan indeks kerawanan pemilu meningkat karena pandemi Covid-19. Potensi kerawanannya pada anggaran pilkada terkait Covid-19, data terkait Covid-19, dukungan pemerintah daerah, resistensi masyarakat terhadap penyelenggaraan pilkada, dan hambatan pengawasan pemilu akibat pandemi. Pilkada langsung dapat memunculkan kluster baru covid-19. Berbagai hal yang terjadi akan berdampak pada kerugian keuangan negara yang telah dikeluarkan untuk melaksanakan pilkada langsung.
Peran hukum sangat dibutuhkan dalam penyelenggaraan pilkada ini yaitu berupa preventif dan represif. Langkah preventif adalah Pilkada dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundangan-undangan, memperketat syarat-syarat calon kepala daerah dan calon Kepala Daerah dapat didiskualifikasi jika tidak sesuati peraturan perundang-undangan. Selanjutnya langkah represif dapat berupa penindakan pelanggaran pilkada yaitu Pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilihan adalah pelanggaran terhadap etika penyelenggara Pemilihan yang berpedoman pada sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara Pemilihan diteruskan oleh Bawaslu kepada DKPP; Pelanggaran administrasi Pemilihan meliputi pelanggaran terhadap tata cara yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilihan dalam setiap tahapan Pemilihan diteruskan kepada KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota; Sengketa Pemilihan terdiri dari Sengketa antarpeserta pemilihan dan sengketa antara peserta dengan penyelenggara pemilihan diselesaikan oleh Bawaslu; dan Tindak pidana Pemilihan ditindaklanjuti oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Berdasarkan fakta yang terjadi, pelanggaran pilkada kerap diwarnai aksi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Sepanjang 2004-2019, komisi anti-rasuah telah menangani kasus korupsi 114 kepala daerah, yakni 17 gubernur, 74 bupati, dan 23 wali kota. Didominasi oleh suap dan gratifikasi. Berdasarkan data, ada 81 kasus suap dan gratifikasi selama 2004-2019. Perkara korupsi lain yang juga banyak adalah penyalahgunaan anggaran dan pengadaan barang/ jasa, masing-masing sebanyak 27 dan 13 perkara. Seharusnya, tindak pidana pemilihan juga berpedoman pada UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun jenis tindak pidana korupsi dapat dikelopokkan sebagai berikut, yaitu: kerugian negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi. Oleh karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya turut serta dilibatkan dalam mengawal pilkada.
Jika diambil dari teori sistem huku yang dikemukakan Lawrence M. Friedman, efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni: Struktur hukum (struktur of law); Substansi hukum (substance of the law); Budaya hukum (legal culture). Maka, untuk menegakkan hukum dalam pilkada dibutuhkan ketiga sistem tersebut. Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum yaitu Bawaslu, DKPP, KPU, Kepolisian, dan KPK. Substansi hukum meliputi perangkat perundang-undangan yang mengatur pilkada dengan jelas. Budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu masyarakat untuk mendorong terciptanya kualitas pilkada yang baik.
Adapun alternatif lain yang dapat dipertimbangkan mengingat kelemahan pilkada langsung yaitu dengan memberi kewenangan pada Presiden memilih kepala daerah. Sila ke-4 Pancasila yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmad kebijaksaan dalam permusyawaratan perwakilan, dilaksanakan untuk memilih Presiden secara langsung. Mengingat menteri yang memegang kekuasaan lebih besar merupakan hak prerogatif Presiden sehingga tidak menutup kemungkinan Pilkada dilakukan oleh Presiden. Hal ini dilakukan juga untuk mencapai koordinasi dan kerjasama yang baik antara Pusat dan Daerah.
Dengan demikian, mendesak Presiden mengeluarkan perppu pemilihan kepala daerah oleh Presiden. Tentu saja, Pilkada oleh Presiden harus mengedepankan hukum untuk menjamin kepastian, keadilan dan kemanfaatan serta Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) atau Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur (ABBB), berupa akuntabilitas, transparansi, dan lain-lain serta memperhatikan etika dalam masyarakat.