Quo Vadis Ekonomi Indonesia
Oleh: Al Bara, ME,I
Setinggi apapun gunung, jika di keruk terus setiap detik walaupun menggunakan skop pasir, tentu gunung tersebut akan menjadi datar. Sebanyak apapun cadangan devisa negara tentu bisa habis jika tidak dikelola dengan baik. Begitu juga dengan 267.7 juta penduduk Indonesia akan tidak berguna jika tidak melek dengan ‘gila’nya persaingan dan peningkatan kebutuhan hidup. Kita akan menjadi mayoritas tanpa kualitas.
Keadaan kondisi ekonomi negara kita saat ini memiliki begitu banyak tanda tanya bahkan menghadirkan perdebatan data, perselisihan, inkonsistensi regulasi yang tumpang tindih, serta ‘pembunuhan’ atas ketidakadilan yang didasari modal keangkuhan serta ketidaktahuan tentang bagaimana menahkodai modal dan strategi tempur secara internal maupun global. Hanya orang yang berada pada posisi nyaman-lah yang tidak pernah bertanya: “Bagaimana masa depan negara ini, anak cucu kita, bahkan Agama kita sendiri?” Dia (yang berada di zona nyaman) itu tidak sadar, bahwa kenyamanannya itulah musuh yang sebenarnya. “Kerugian di dunia dan di akhirat. Demikian itu adalah kerugian yang nyata” (QS 22: 11).
Selanjutnya, penulis mengartikan arti dari rugi di dunia pada kutipan ayat di atas dari sisi ekonomi. Menurut penulis, bahwa kita hanya sebatas menjadi penonton disaat negara luar mampu mengambil peran dalam agenda persaingan dagang atau yang kita pahami dengan istilah perang dagang. Sekarang ini, perang yang banyak kita tonton di dunia adalah perang dagang yang berlangsung antara Amerika Serikat dengan China. Akan tetapi, yang terpenting untuk kita perhatikan sebagai referensi kita adalah mempelajari apa-apa saja yang dijadikan modal penting dari kedua negara tersebut yang mengantarkan mereka ke level perang dunia?
Modal utama dalam perang antara kedua negara tersebut adalah keyakinan masing-masing negara bahwa mereka telah memiliki kekayaan di atas negara-negara lain. Sebagai contoh, sebut saja China. 50 tahun yang lalu, negeri tirai bambu ini sempat mengalami kemerosotan dahsyat. Apalagi sejak kematian pemimpin Partai Komunis Republik China, Mao Zedong, sekaligus mengakhiri satu dekade panjang kerusuhan sosial dan politik yang dialami China. Hal ini berdampak kepada ekonomi yang tercatat mengalami kontraksi minus 1,6% pada tahun 1976.
Akan tetapi, para pemimpin mereka (China) tidak menyerah sampai disitu. Berbagai cara dilakukan dalam usaha membangun sinergisitas dengan masyarakatnya sendiri. Menariknya lagi, masyarakat mereka juga sadar. Mereka bisa memprediksi jika tidak segera bangkit dari keterpurukan, maka kemungkinan chaos di masyarakat yang disebabkan berbagai persoalan tak bisa dihindari. Mereka pun berusaha bangkit dan terus melakukan upaya perbaikan yang detail.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah mereka adalah Reformasi Ekonomi. Seiring kebijakan agenda reformasi ekonomi berjalan, perekonomian perlahan mengalami pertumbuhan pada tingkat tahunan yang rata-rata 9,4% antara tahun 1978 sampai 2018. Bahkan negara terkaya nomor dua di dunia, yaitu Jepang mampu disalip oleh China. Sekarang ini China menempati posisi nomor dua dunia meskipun catatan dari UBS saat ini China mengalami kontraksi yang buruk. Pemicunya tentu dari tamu jahat, virus corona.
Pada sektor industri, China menerapkan kebijakan-kebijakan tertentu guna menghadapi ancaman pengangguran di masa pandemi Covid-19 dengan cara menstabilkan pekerjaan. Selain itu, pemerintah China juga memberikan penekanan khusus kepada para lulusan baru dan para pekerja migran. Ada 290 juta orang di China yang termasuk pekerja migran, dan mereka termasuk kategori orang yang paling rentan terhadap penularan karena mereka sering melakukan perjalanan dari daerah pedesaan ke kota-kota untuk melakukan pekerjaan konstruksi, manufaktur, atau layanan yang akan sulit ditemukan selama sejumlah kota di China di beberapa bulan yang lalu. Penularan yang terjadi di antara mereka tentunya berpengaruh kepada kinerja. Katakan saja hari ini satu orang positif terinfeksi, besok seluruh pekerja akan diperiksa atau mungkin diliburkan. Hanya sekitar 80 juta pekerja migran yang telah kembali bekerja pada pertengahan Februari 2020.
Angka tersebut menyisakan sekitar 110 juta pekerja migran yang belum bisa kembali bekerja. Artinya, pengangguran juga meningkat. Informasi terkini menyebutkan bahwa pemerintah China mendesak mahasiswanya untuk bergabung dengan tentara, serta memerintahkan seluruh perguruan tinggi negeri untuk memperluas program gelar lanjutan mereka. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi jumlah pencari kerja, dan semuanya masih dalam proses.
Demikian berapa pokok ide yang bisa penulis paparkan sebagai pengingat kembali bagaimana cara China untuk bangkit dari keterpurukan. Modalnya adalah pemimpin yang berani dan masyarakat yang mudah diatur serta memiliki sikap membuka diri dari negara lain untuk melakukan hubungan bisnis dengan prinsip ‘tidak peduli kucing itu hitam atau putih, yang penting mampu menangkap tikus’. Itulah yang membuat negara berkembang mampu naik kelas menjadi negara maju dan berani melawan tantangan negeri Paman Sam yang di pimpin oleh seorang narsisisme, Donald Trump.
Secara imajinatif, perseteruan antara keduanya menjadi semacam dialog bagi penulis. “Saya naikkan tarif impor”, kata Trump dengan arogan. “It’s okay”, kata Xi Jinping seakan telah menyiapkan sesuatu. Tak lama setelahnya, berita perang dagang antara kedua negara adidaya itu meredup sementara akibat Covid-19.
Melihat semangat serta keberanian China, apakah kita harus takut, tunduk, serta rela mereka menguasai pasar bisnis kita secara terus-menerus? Baiknya tidak perlu. Meskipun memiliki produktivitas yang tinggi, tetap saja China membanjiri pasar dengan produk hasil copy-paste produk orang lain. Sedangkan Amerika lebih piawai menciptakan produk yang inovatif ditambah wewenang untuk mendikte dan mengunci negara lain melalui perantara PBB (hak veto). Posisi kita hanya sebatas mengamati dan mempelajari keunggulan dari keduanya untuk diformulasikan sebagai sebuah terobosan yang aplikatif.
Kembali sedikit ke sejarah kita, Indonesia. Negara ini pernah dijajah selama tiga setengah abad. Tentu itu waktu yang sangat lama. Mengapa kita bisa begitu lama dijajah? Tak lain karena kita minim pengetahuan dan menuruti kebodohan. Lantas bagaimana bisa bebas dan merdeka? Kemerdekaan itu juga tidak terlepas dari kontribusi Amerika. Tahun 1945 adalah awal kemerdekaan kita. Apakah dengan merdeka dari penjajahan, kita merdeka dari sisi ekonomi?, Tidak. Kita harus membayar kerugian yang ditinggalkan para penjajah yang mengklaim modal mereka yang terpakai untuk pembangunan infrastruktur dan batasan-batasan wilayah.
Setelah kita aman dari hutang penjajah, kita memasuki babak baru yaitu gejolak politik akibat deflasi keuangan yang disebabkan nilai tukar baht Thailand terhadap Dolar Amerika. Penurunan nilai kurs menyebabkan nilai utang luar negeri Indonesia yang sebelumnya sudah jatuh tempo menjadi membengkak. Jatuhnya nilai kurs baht selanjutnya berkontraksi di seluruh kawasan Asia Tenggara, termasuklah Indonesia.
Disaat itu pula negara kita tidak memiliki persediaan “mantel dan payung hujan” ekonomi ditambah lagi beban nepotisme. Akibatnya terjadilah gejolak politik dan chaos antara pemerintah dan rakyat yang membuat negara harus membuka bon kepada IMF sebesar 138 Miliar USD yang hampir separuhnya adalah utang swasta sebesar 72,5 miliar USD. Dua pertiga utang tersebut adalah utang jangka pendek. Utang jangka pendek yang harus dibayarkan sebesar 20 Miliar USD. Sedangkan cadangan devisa negara saat itu hanya tersisa 14,4 Miliar USD.
Bagaimana dengan kondisi sekarang ini? Apakah kita masih aman dari ancaman utang akibat dari ketidakpastian global? Melihat ambang batas Undang-Undang yang mencapai 60% dari PDB, utang Indonesia saat ini masih berada jauh di bawah batas tersebut. Posisi utang Pemerintah per akhir Januari 2020 berada di angka Rp 4.817,55 triliun, dengan asumsi PDB per kapita akhir Januari Rp 15.944,78, maka rasio utang pemerintah terhadap PDB menjadi 30,21 persen. Angka tersebut berarti bahwa rasio posisi utang Pemerintah masih berada di bawah batas aman 60 persen, dan menunjukkan bahwa kapasitas ekonomi Indonesia secara agregat mampu menutup lebih dari 3 kali jumlah posisi utang Pemerintah.
Meski demikian, kondisi keuangan negara kita belum bisa dipastikan sudah aman untuk waktu yang akan datang. Sebab, resesi yang terjadi di Singapura hadir semacam peringatan bagi kita. Andai tidak juga mengalami peningkatan, tidak menutup kemungkinan kontraksi dari resesi di Singapura akan berimbas ke negara kita. Pada kuartal I, pertumbuhan ekonomi nasional tercatat sebesar 2.97 persen. Jika pada kuartal selanjutnya mengalami minus, maka kita masuk kategori resesi. Tiga ujian krisis pernah kita hadapi dan kita lalui. Bahkan krisis di 2008, kita mampu menjaga kesetabilan ekonomi dengan cara melakukan efisiensi memangkas subsidi dan mengonversikan minyak tanah menjadi gas Elpiji.
Langkah Strategis
Upaya yang bisa kita lakukan dari sekarang adalah, merubah gaya hidup konsumtif menjadi produktif. Perlu juga kita ambil hikmah dari virus corona ini. Virus ini mengajarkan kita pola hidup yang positif. Mengurangi konsumsi belanja untuk produk dan barang yang tidak terlalu dibutuhkan dan memanfaatkan barang-barang lama milik kita bisa menjadi pilihan yang bijak dalam situasi seperti saat ini. Bagi sebagian orang-orang kreatif, memiliki waktu luang bisa dimanfaatkan untuk membuat berbagai macam hal yang unik dan bermanfaat.
Kemudian, langkah selanjutnya adalah memperbaiki ketahanan pangan. Pangan adalah salah satu solusi untuk meng-counter kemiskinan. Kebutuhan sembilan bahan pokok (SEMBAKO) adalah kebutuhan mutlak yang tidak bisa ditawar. Maka utamakanlah kebutuhan tersebut dengan meningkatkan produktivitas petani, nelayan, dan peternak. Bila beruntung, kita boleh mencoba memanfaatkan lahan kosong yang diterlantarkan menjadi lahan produktif.
Selain itu, pemerintah mencoba untuk bersinergi dengan lembaga-lembaga filantropi di Indonesia. Islam mengenalkan sistem sosial yang disebut infaq, sedekah, zakat dan wakaf. Pemanfaatan dana yang dikelola oleh lembaga-lembaga terkait juga harus tepat dan tidak menyalahi syari’at, hukum positif, dan norma agar pemanfaatannya kelak bukan malah menjadi sumber bencana bagi kita semua. Memang benar bila kita berada dalam situasi daruroh, hampir semuanya yang harom bisa jadi halal. Tapi, untuk menentukan status daruroh membutuhkan keleluasaan bagi siapa-siapa saja yang menguasai ilmunya untuk mendalami sebuah permasalahan yang sedang dan akan kita hadapi.
Langkah yang lain, mempersiapkan alat produksi dan instrumen secara maksimal. Dalam kondisi yang sangat berat ini, masyarakat dan pemerintah perlu bersinergi untuk mencuri kesempatan agar Indonesia menjadi raja ekspor komoditas dan produk-produk kreatif yang siap bersaing dengan negara lain. Perlu diketahui, semakin meningkat ekspor suatu negara, maka semakin kuat pula ekonominya. Dengan merubah pola konsumtif menjadi produktif, lambat laun akan mengejar ketertinggalan nilai rupiah terhadap dolar.
Kita harus mulai sadar dan segera berhemat dari sekarang karena bayangan resesi yang berkepanjangan ini membutuhkan stamina yang kuat. Maka kuatkan mental dan kreatifitas kita, dan jangan boros. Karena banyak yang memprediksi bahwa resesi ini akan sangat panjang. Analoginya, jika resesi diakibatkan oleh gejolak politik, masih sangat bisa di netralisir, serta masih mungkin untuk dibantu oleh negara sekutu.Tapi yang menjadi pemicu resesi bukan dari sistem melainkan virus yang tidak bisa kita ajak berkompromi. Selamat mencoba, Semoga bermanfaat.
Penulis : Dosen Perbankan Syariah Fakultas Agama Islam UMSU & Wk. Sek. Ekonomi dan Kewirausahaan PD Pemuda Muhammadiyah Deli Serdang