Lamongan, InfoMu.co – Masjid dalam pandangan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir tidak sekadar sebagai tempat ibadah khusus, melainkan juga sebagai tempat membangun peradaban bangsa.
Oleh karena itu, masjid tidak boleh dengan serta merta anti dengan kebudayaan. Haedar menjelaskan, kebudayaan yang Ia maksud adalah sistem pengetahuan kolektif yang dasar orientasi nilai Islam.
Selain itu, kebudayaan yang ada di kehidupan umat Islam juga berkaitan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan baik itu ibadah khusus dan umum. Misalnya budaya yang melekat di orang yang melaksanakan ibadah salat adalah model busananya.
“Peci kita ini kebudayaan, mau pakai atau tidak, tidak urusan. Sebenarnya bapak-ibu sekalian mau salat pakai peci atau tidak, itu tidak masalah. Bahkan mau khutbah juga tidak apa-apa,” ungkap Haedar.
“Akan tetapi, pengetahuan kolektif kita dan perasaan bersama kita, bahwa itu melekat dengan keislaman itulah kebudayaan,” imbuhnya.
Guru Besar Sosiologi ini menjelaskan, jika kebudayaan tersebut ingin ‘naik kelas’ maka kebudayaan tersebut harus menjadi peradaban. Kebudayaan yang baik untuk menjadi suatu peradaban adalah yang memiliki etika utama.
Sebagaimana perintah diutusnya Rasulullah Muhammad SAW di muka bumi, bahwa beliau ditugaskan untuk memperbaiki akhlak – etika umat manusia. “Nabi hadir untuk menciptakan peradaban tinggi, supaya kebudayaan naik,” kata Haedar.
Maka keberagamaan umat Islam memiliki konsekuensi untuk lebih meluas, supaya dapat memberi pencerahan bagi seluruh alam. Dalam diksi Muhammadiyah, Islam adalah agama yang mencerahkan kehidupan.
Iman dan takwa yang dimiliki oleh warga Muhammadiyah tidak dikotomis – memisahkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Muhammadiyah memandang dunia adalah tempat berjuang dan mengumpulkan bekal untuk kehidupan di akhirat kelak. (muhammadiyah.or.id)