Budaya Anti Kritik, Ego Pelaku Usaha, dan Masa Depan Buruk Bisnis Indonesia
Pernahkah Anda mengalami hal yang kurang menyenangkan saat datang ke sebuah entitas bisnis—misalnya rumah makan, toko, atau layanan jasa—lalu ketika Anda coba memberikan masukan dengan baik, justru ditanggapi dengan kemarahan, nyolot, atau sikap tidak terima? Jika ya, Anda tidak sendirian. Fenomena seperti ini menjadi gejala umum dalam ekosistem usaha kita yang masih kental dengan budaya anti kritik dan ego pelaku usaha yang berlebihan. Di tengah gencarnya upaya pemerintah mendorong UMKM untuk naik kelas, go digital, hingga menembus pasar internasional (go global), banyak pelaku usaha masih terjebak pada pola pikir bahwa kritik adalah serangan. Masukan yang seharusnya menjadi alat refleksi justru dianggap sebagai penghinaan terhadap otoritas pemilik usaha. Akibatnya, bukan hanya hubungan dengan konsumen yang memburuk, tetapi juga potensi inovasi dan pertumbuhan bisnis ikut terhambat.
Ego yang Membungkam Kemajuan
Banyak pelaku usaha menjalankan bisnis bukan dengan prinsip pelayanan dan perbaikan berkelanjutan, melainkan dengan pola relasi satu arah: konsumen yang harus menyesuaikan diri. Budaya “asal laku”, mentalitas “saya yang punya usaha maka saya yang paling tahu”, serta ketakutan terhadap kritik, menciptakan tembok yang membatasi pertumbuhan. Ketika kritik dibalas dengan defensif, bukan evaluatif, maka bisnis tidak pernah belajar. Dalam jangka panjang, bisnis seperti ini akan kesulitan bertahan, apalagi berkembang.
Go Global: Antara Ambisi dan Realita
Narasi go global telah menjadi jargon yang dibanggakan. Namun data menunjukkan realitas yang berbeda. Dari 65 juta UMKM di Indonesia, hanya sekitar 1 juta yang memiliki akses ekspor, dan kontribusinya terhadap ekspor nasional stagnan di angka 17,1%. Ini jauh di bawah negara seperti Vietnam atau Thailand. Mengapa? Karena banyak pelaku usaha kita belum siap secara mental menghadapi tantangan global. Di pasar internasional, kualitas harus objektif, pelayanan harus profesional, dan masukan pasar harus ditanggapi dengan serius. Tidak ada ruang untuk ego atau sikap anti kritik.
Sementara itu, pelaku usaha yang mampu berkembang dan menembus pasar dunia adalah mereka yang memiliki sikap adaptif dan terbuka terhadap evaluasi. Mereka mendengarkan pasar, mengubah pendekatan berdasarkan masukan, dan menjadikan konsumen sebagai mitra pertumbuhan.
Kritik: Sumber Utama Inovasi
Yang paling sering diabaikan oleh pelaku usaha adalah bahwa kritik bukan hanya penilaian negatif, tetapi sumber ide inovasi yang paling autentik. Dari masukan konsumen—baik soal rasa, harga, kemasan, pelayanan, atau sistem pemesanan—terbuka peluang besar untuk memperbaiki produk, menciptakan varian baru, menyempurnakan pelayanan, dan membangun sistem yang lebih efisien. Inovasi tidak lahir dari pujian, tetapi dari keberanian menghadapi kekurangan. Oleh karena itu, pelaku usaha yang ingin naik kelas harus memiliki kepekaan terhadap kritik, bukan alergi terhadapnya.
Menuju Ekosistem Bisnis yang Rendah Hati dan Inovatif
Jika Indonesia ingin menciptakan iklim bisnis yang sehat, kompetitif, dan mampu bertahan dalam jangka panjang, maka revolusi pertama yang harus dilakukan bukan hanya pada teknologi atau digitalisasi, melainkan pada mentalitas pelaku usaha.
Budaya anti kritik harus dihentikan. Pelaku usaha perlu dibekali kesadaran bahwa Kritik adalah bahan bakar inovasi, Ego yang berlebihan adalah penghambat utama kemajuan dan Keberlanjutan bisnis bergantung pada keterbukaan terhadap perubahan. Karena pada akhirnya, yang bertahan dalam dunia usaha bukan yang paling keras kepala, tetapi yang paling siap mendengar, belajar, dan beradaptasi.
(Agus Sani, Deosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UMSU)





